Teknologi ”Deepfakes” Mengintai Demokrasi Indonesia
›
Teknologi ”Deepfakes”...
Iklan
Teknologi ”Deepfakes” Mengintai Demokrasi Indonesia
Manipulasi rekaman video untuk membuat seseorang bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan atau berbicara hal tertentu yang tak pernah dikatakannya mengintai Pilkada 2020. KPU seharusnya juga mengantisipasi.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Manipulasi rekaman video untuk membuat seseorang bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan atau berbicara hal tertentu yang tidak pernah dikatakannya mengintai Pilkada 2020. Potensi dipraktikannya teknologi deepfakes dalam panggung politik Indonesia terbuka menyusul telah dipakainya teknologi itu dalam kontestasi politik di India.
Dosen hukum siber Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Awaludin Marwan, Minggu (23/2/2020), menyatakan bahwa ada kemungkinan teknologi itu akan dipakai di Indonesia. Akan tetapi, menurut Marwan, skalanya masih relatif kecil mengingat kapasitas sumber daya manusia bidang teknologi informasi di India cenderung jauh lebih besar.
Sebagaimana dikutip dari siaran streaming National Public Radio (NPR) di laman npr.org yang dipublikasikan pada Minggu (23/2/2020) atau Sabtu (22/2/2020) waktu setempat, teknologi deepfakes dipergunakan untuk kampanye dalam pemilihan Majelis Legislatif di Delhi, India. Penggunaan deepfakes dilakukan Presiden Partai Bharatiya Janata Manoj Tiwari dengan menyebarkan dua video untuk mengkritik lawan politiknya.
Penggunaan deepfakes dilakukan Presiden Partai Bharatiya Janata Manoj Tiwari dengan menyebarkan dua video untuk mengkritik lawan politiknya.
Masih dikutip dari NPR, Tiwari berbicara dalam bahasa Inggris pada salah satu video dan di video lainnya berbicara dengan dialek Hindi. Video-video itu lantas viral di aplikasi percakapan Whatsapp. Keduanya adalah video deepfakes karena menurut NPR Tiwari tidak berbicara dalam bahasa Inggris ataupun dialek tersebut.
Awaludin menyebutkan bahwa teknologi itu kembali pada penggunanya. Jika pengguna teknologi itu memiliki kecenderungan mengeksploitasi, maka yang akan dirugikan adalah warga. Hal ini terjadi jika penggunaan teknologi itu dilakukan tanpa adanya pengawasan.
Ia mengatakan misalnya orang tertentu menjadi target online profiling untuk diprofil serta dipetakan berbagai kebiasaan, preferensi, dan sebagainya. Dalam proses ini, ujar Awaludin, preferensi seseorang dikuak dengan algoritma tertentu. Lantas persepsi yang bersangkutan dipengaruhi dengan, di antaranya, pesan-pesan politik tertarget sebagaimana model deepfakes yang disebarkan lewat Whatsapp.
”Dengan teknologi itu, akhirnya tidak ada pembebasan dalam melakukan tindakan politik,” kata Awaludin.
Hal ini belum ditambah dengan bias kognitif yang dimiliki manusia dan praktik politik Machiavellian dalam perpolitikan yang mengutamakan kekuasaan. Lebih jauh Awaludin menambahkan bahwa sejumlah tokoh politik yang dipersepsikan di media sebagai orang-orang dengan kapasitas intelektual dan etika yang bagus tidak melulu berlaku sama tatkala memiliki kapasitas dalam penguasaan teknologi.
Karena itulah, lanjut Awaludin, diperlukan penyelenggara pemilu yang memahami segala hal dan konteks terkait teknologi informasi. Pada saat yang sama, ia mengatakan, kemampuan serupa juga perlu dimiliki aktivis pemantau pemilu. Penguasaaan konsep kepemimpinan digital (digital leadership) dalam hal ini menjadi sangat penting.
KPU nyatakan perang
Komisioner KPU, Viryan Azis, pada hari yang sama menyatakan bahwa saat ini KPU tidak lagi sekadar melawan ujaran kebencian atau konten hoaks seperti itu, tetapi sudah memeranginya. Hal ini menyusul relatif besarnya serangan konten hoaks yang mengarah kpada penyelenggara dan penyelenggaaraan pemilu.
”Ini buat kita (KPU) laksana perang siber,” ucap Viryan.
Hal itu berdasarkan identifikasi bersama sejumlah lembaga terkait evaluasi serangan hoaks yang terjadi selama pemilu. Selain memperkuat jajaran KPU, Viryan mengatakan, pihaknya juga akan membuat semacam panduan mengenai hoaks. Selain itu apa yang harus dilakukan terkait konten hoaks tersebut.
Respons berikutnya yang akan dilakukan KPU ialah rencana membuat peta potensi hoaks dalam pilkada serentak 2020. Viryan menyebutkan KPU juga tengah berkoordinasi dengan penyelenggara pemilu di negara lain. Tujuannya mengetahui seberapa banyak serangan hoaks saat pemilu diadakan di negara lain tersebut.
Kami siapkan peta potensi hoaks pilkada serentak 2020 yang akan (kami) sampaikan kepada publik sebelum (tahapan) kampanye. (Viryan Azis)
”Kami siapkan peta potensi hoaks pilkada serentak 2020 yang akan (kami) sampaikan kepada publik sebelum (tahapan) kampanye,” ucap Viryan.
Perkembangan teknologi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menambahkan, penyelenggara pemilu memang tidak bisa mengabaikan teknologi. Ini terutama jika dikaitkan dengan perkembangan pesat yang terjadi dalam konteks demokrasi digital.
Namun, menurut Titi, penyelenggara pemilu juga tidak boleh dikendalikan teknologi, tetapi harus bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Hal ini untuk memastikan pemilih tidak mengalami penyesatan informasi menyusul penyalahgunaan teknologi yang dilakukan. Titi mengingatkan bahwa faktor uang juga berada di balik teknologi.
Persoalan bakal muncul jika uang digelontorkan dengan akuntabilitas minim untuk memengaruhi pemilih lewat teknologi. Sebagian hal ini di antaranya muncul dalam fenomena iklan politik di media sosial dan pendengung (buzzer) politik.