Gunung Rinjani, selain sangat seksi untuk aktivitas kepariwisataan, juga amat sensitif bagi masyarakat di Lombok. Rinjani menjadi kosmologi etnis Sasak, Lombok, dan Danau Segara Anak.
Oleh
Khaerul Anwar
·6 menit baca
Kawasan Gunung Rinjani di Taman Nasional Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, agaknya dara ”seksi” yang menggoda investor. Dalam dua bulan terakhir PT Indonesia Lombok Resort (ILR) menawarkan lamaran pembangunan kereta gantung bagi wisatawan untuk menikmati panorama gunung berketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu. Kemudiam PT Rinjani Glamping Indonesia (RGI) menawarkan kemah mewah (glamorous camping/glamping) untuk membangun areal perkemahan di tepi Danau Segara, Kaldera Rinjani Tua (Gunung Samalas). Sementara PT Airbus Helicopter Indonesia (AHI) berencana mengajukan izin penyelenggaraan wisata heli di Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).
Gubernur Nusa Tenggara Barat Zulkieflimansyah merespons rencana pembangunan kereta gantung itu untuk memfasilitasi wisatawan usia tua yang tidak mampu mendaki, tapi ingin menyaksikan keindahan Rinjani. Juga Pemerintah Provinsi NTB tidak bisa melarang investor yang ingin berinvestasi, apalagi PT ILR ingin memanfaatkan peluang tahun 2021 menyusul Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Kuta, Lombok, akan menjadi tuan rumah ajang bergengsi dunia, lomba MotoGP.
Menurut Zulkieflimansyah, rencana pembangunan kereta gantung diwacanakan oleh Bupati Lombok Tengah Suhaili FT lima tahun lalu meski hingga saat ini belum terwujud. Pasalnya, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan sumber daya alam, seperti sumber daya hutan, sumber daya mineral, dan sumber daya kelautan, yang semula sampai level kabupaten/kota, kini sampai ke tingkat provinsi.
Dasar hukum itulah menjadi alasan Gubernur NTB memberi jalan bagi investor kereta gantung. Namun, Zulkieflimansyah menyadari adanya sorotan publik yang menolak karena keberadaan kereta gantung mengganggu ekologi, ekosistem, serta kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan. ”Jangan sesuatu yang baru kemudian jadi polemik. Pembangunan itu ada negatif dan positifnya. Tapi, jangan lantas negatif itu ditonjolkan terus sehingga kita kehilangan gambaran dari proses pembangunan kereta gantung itu,” ujarnya kepada pers di Mataram, Lombok, Senin (27/1/2020).
Suara sumbang semakin kencang menyusul adanya tawaran dari Direktur RGI Disyon Toba dan Sales Manager Coorporate AHI Sussy Kusumawardhani. Itu terungkap dalam audiensi Kepala Balai TNGR Dedy Ashriadi, Selasa (18/2), di Kantor Balai TNGR, Mataram, NTB, yang dihadiri instansi terkait, para penyelenggara perjalanan dan porter dari Kecamatan Sembalun, Lombok Timur.
”Kami membuka keran bagi masuknya investasi dan aturan membolehkan pengelolaan TNGR oleh pengusaha. Namun, terpenting adalah aktivitas pemodal tidak mematikan usaha yang sudah ada, memperhatikan aspek ekologi, sosial dan budaya masyarakat di Lombok. Artinya, nanti antara pengusaha dan semua elemen bersinergi,” ujar Dedy.
RGI, kata Disyon Toba, mengusulkan glamping, dengan mendirikan 21 unit tenda deluxe tipe semipermanen ukuran 7 meter x 6 meter, berkapasitas dua orang yang dilengkapi kamar tidur, ruang makan, camping ground, kamar mandi, toilet camp, serta instalasi biogreen septic tank guna mengurangi pencemaran dari kotoran manusia.
Total pembangunan akomodasi dan fasilitas lainnya Rp 4,5 miliar. Ada 4 hektar lahan yang diusulkan meski 10 persen di antaranya dibangun untuk akomodasi berlokasi agak jauh dari bibir Danau Segara Anak, Kaldera Rinjani Tua (Gunung Samalas). RGI mengantongi persetujuan teknis (pertek) dari Pemerintah Kabupaten Lombok Utara dan Balai TNGR tahun 2017. Pembangunan akomodasi tidak menebang tanaman, menggali tanah. Dalam aktivitasnya, RGI menjalin kerja sama dengan para penyelenggara perjalanan dan porter. Tarif kamar dan layanan lainnya Rp 5 juta-Rp 6 juta per orang semalam.
Sementara Sussy Kusumawardhani menyiapkan helikopter jenis H 130 bermesin tunggal berkapasitas 7 penumpang dan satu pilot untuk berwisata ke kawasan Gunung Rinjani. Helikopter itu tidak memerlukan helipad, hanya memerlukan titik pendaratan di seputar Danau Segara Anak.
Lokasi standby heli adala di Bandara Selarang, Mataram, Desa Sembalun, Lombok Timur, dan Gili Terawangan, Lombok Utara. Sussy mengaku baru mengusulkan dan melakukan sosialisasi. Untuk mendapatkan izin kelola melalui tahapan panjang, tidak ada jaminan Kementerian Hidup dan Kehutanan menyetujui usulannya, dan belum ada regulasi helikopter masuk taman nasional.
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB Madani Mukarom menegaskan, rencana pembangunan kereta gantung oleh PT Indonesia Lombok Resort yang mengambil latar TNGR berada di luar kawasan konservasi akan membentang sepanjang 10 kilometer berlokasi di Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah. Semua lintasan yang akan dilalui kereta gantung masuk kawasan hutan lindung dan kawasan taman hutan rakyat (tahura).
Tinggi kereta gantung sekitar 60 meter di atas ketinggian pohon. Material pembangunan kereta gantung diangkut helikopter guna meminimalisasi pembukaan kawasan. Rute kereta gantung: Desa Karang Sidemen, Lombok Tengah, menuju Loteng Pelawangan Barat, Pelawangan Senaru, Danau Segara Anak, dan Pelawangan.
Reaksi masyarakat
Rencana tiga pengusaha di kawasan TNGR itu mendapat respons keras dari banyak kalangan. Yamni, dari Komunitas Lingkungan Hidup Sembalun, Lombok Timur, misalnya, mempertanyakan rencana detail perusahaan itu mengingat keberadaannya dipastikan mengganggu aktivitas pemandu dan penyelenggara perjalanan yang berjumlah 1.731 di beberapa pintu keluar masuk pendakian Gunung Rinjani, seperti Desa Senaru, Lombok Utara, dan beberapa desa di Kecamatan Sembalun. Lombok.
”Terus terang kami merasa terancam dengan kehadiran PT RGI dan heli tourism,” ujarnya.
Adapun Kuswandi Harun, kordinator penyelenggara perjalanan, mengingatkan, Gunung Rinjani, selain sangat seksi untuk aktivitas kepariwisataan, juga amat sensitif bagi masyarakat di Lombok. Rinjani menjadi kosmologi etnis Sasak, Lombok, dan Danau Segara Anak yang selain tempat ritual masyarakat, juga airnya yang mengalir melalui 54 sungai, adalah untuk air minum dan irigasi. ”Untuk kepentingan layanan, kami membawa tenda dan keperluan logistik bagi tamu yang mendaki. Kalau ada fasilitas akomodasi dari perusahaan ini, lagu mana bagian kami,” ujar Kuswandi Harun.
Kajian geologis
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia NTB Kusnadi mengatakan, pembangunan kereta gantung, glamping dan wisata heli mesti merujuk aspek geologi, kajian geoteknik, feasibility study/FS dan detailedengineering design/DED. Ini karena Gunung Rinjani adalah gunung api muda, terbentuk sekitar 10.000 tahun lalu, kemiringan perbukitan sekitarnya 40 derajat-90 derajat.
Material prioklastik letusannya (pasir) masih lepas meski ada batuan lava (keras) yang bisa digunakan memasang tiang pancang kereta gantung. Karena Rinjani berpotensi sebagai sumber gempa, tiang pancang kereta gantung harus tahan gempa bermagnetudo 7,5-8. Di selatan Rinjani (bagian tengah Lombok) disinyalir ada sesar baru. ”Untuk memastikan aktif-tidaknya sesar itu, ataukah sesar itu diaktifkan gempa Lombok Juli-Agustus 2018, ada tidaknya pergeseran tahunan zona sesar baru itu, perlu dipasang alat GPS geodetik,” kata Kusnadi.
Begitu pun area glamping harus melalui kajian mengingat lokasi pembangunannya di seputar Danau Segara Anak, termasuk zona inti. ”Saat ini kawasan Rinjani pun berstatus waspada, apalagi Gunung Baru Jari, di kawah Gunung Rinjani masih aktif dan kerap erupsi,” tutur Kuswandi. Oleh sebab itu, semua kajian FS dan DED harus dilakukan sebelum menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).