Sejak Jumat (21/2/2020) tengah malam, rakyat Afghanistan menikmati kemewahan yang jarang mereka dapatkan. Mereka bangun pagi keesokan hari tanpa diliputi waswas bakal menjadi korban ledakan bom atau serangan bunuh diri.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
Sejak Jumat (21/2/2020) tengah malam, rakyat Afghanistan menikmati kemewahan yang jarang mereka dapatkan. Mereka bangun pagi keesokan hari tanpa diliputi waswas bakal menjadi korban ledakan bom atau serangan bunuh diri. Mulai malam itu, meski hanya berlangsung tujuh hari, Amerika Serikat dan milisi Taliban menyepakati gencatan senjata.
Kesepakatan berlaku di seluruh Afghanistan dan juga mengikat pasukan pemerintahnya. Semua pihak harus ”berpuasa” dari kekerasan selama sepakan dan itu berjalan sesuai isi kesepakatan. ”Ini pagi pertama saya keluar rumah tanpa merasa waswas akan terbunuh bom atau bom bunuh diri,” ujar Habib Ullah, sopir taksi, seperti dikutip AFP.
Sebelum ini, baru sekali pascainvasi AS ke Afghanistan pada 2001, rakyat Afghanistan merasakan kemewahan rasa aman itu. Tahun 2018, saat Idul Fitri, selama tiga hari milisi Taliban dan pasukan Afghanistan gencatan senjata. Pejuang Taliban, aparat keamanan Afghanistan, dan warga biasa saling berpelukan, saling berbagi es krim, dan berswafoto bersama. Benar-benar suasana Lebaran.
Perlu diingat, gencatan senjata ini hanyalah awal sekaligus batu ujian, apakah Afghanistan bakal menikmati kedamaian lebih lama, bukan hanya sepekan.
Kali ini, guna merayakan gencatan senjata, warga Jalalabad, Provinsi Nangarhar, berkumpul dan menggelar gowes bersama, termasuk para perempuan. ”Sudah tak sabar saya menunggu hari pertama gencatan senjata itu, sama seperti menantikan Idul Fitri,” kata Samiullah, warga Kabul. Perlu diingat, gencatan senjata ini hanyalah awal sekaligus batu ujian, apakah Afghanistan bakal menikmati kedamaian lebih lama, bukan hanya sepekan.
Jika kesepakatan terjaga, proses berikutnya adalah perjanjian damai AS-Taliban pada 29 Februari 2020 di Doha, Qatar. Dalam 10 hari berikutnya diharapkan perundingan damai di Afghanistan dimulai. Jika mulus, perundingan bisa berbuah terbentuknya pemerintahan baru. Sebagai bagian kesepakatan damai dengan AS, Taliban tak akan membiarkan kelompok-kelompok teroris beroperasi di negeri itu ataupun melancarkan serangan ke AS. Pasukan AS dan asing juga ditarik dari Afghanistan secara bertahap selama 18 bulan.
Di atas kertas, semua itu mudah untuk dituliskan. Masyarakat internasional sudah terlalu sering disuguhi perundingan demi perundingan guna menghentikan konflik di Afghanistan, hanya kemudian menyaksikan berbagai upaya itu ”ambyar” seketika, seperti terjadi pada September 2019. Pandangan kritis ini disampaikan bukan sebagai sinisme atau skeptisisme terhadap upaya damai di Afghanistan. Hal ini lebih untuk mengingatkan realitas kompleks dalam konflik di negeri itu. Jalan menuju perdamaian di Afghanistan sangat terjal.
Di tubuh Taliban sendiri, tidak sedikit elemen yang lebih memilih pendekatan kekerasan, bukan damai. ”(Kelompok Taliban) Ini merupakan kelompok perlawanan yang sangat terdesentralisasi,” kata Seth Jones, penasihat senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington dan pengamat Afghanistan, kepada AP. ”Bakal banyak kesempatan bagi para komandan milisi, elemen di Taliban, jaringan Haqqani, dan kelompok lokal lain yang tak ingin melihat kesepakatan untuk melancarkan kekerasan.”
Belum lagi, andaikata nanti perundingan intra-Afghanistan digelar, siapa yang akan mewakili pemerintahan Afghanistan? Presiden Ashraf Ghani telah diumumkan sebagai pemenang, tetapi rivalnya dan Taliban menolak kemenangan Ghani. Bagaimanapun, meski rumit dan tidak mudah, proses damai Afghanistan harus terus diupayakan.
Kita, di Indonesia, yang beberapa kali berupaya menjembatani konflik di negara itu lewat jalur pertemuan para ulama Afghanistan-Pakistan-Indonesia, berharap kesepakatan damai pada 29 Februari nanti terwujud sekaligus menjadi tonggak baru menuju perdamaian di Afghanistan. Semoga.