Dilema Warga Bali Menanam Vetiver
Masyarakat pelosok Pulau Bali di Desa Ban, Kabupaten Karangasem, mengerti rumput vetiver kuat menahan tanah agar tidak longsor. Namun, tanaman itu ”sing dadi pis” (tidak jadi uang).
Masyarakat pelosok Pulau Bali di Desa Ban, Kabupaten Karangasem, mengerti rumput vetiver kuat menahan tanah biar tidak longsor. Tapi, sing dadi pis (tidak jadi uang). Ya, mereka berusaha memahami arti penting selamat dari bencana tanah longsor, tetapi setidaknya juga mampu memberikan nilai manfaat lain, terutama ekonomi.
”Kami memang menanam vetiver. Rumput-rumput ini subur dan daunnya tinggi lebih dari 1 meter. Tapi, beberapa tahun berjalan, kami tebas dan cabut. Beberapa masih tersisa. Kami ganti dengan rumput gajah.” Itu adalah sederetan obrolan bersahutan sekitar lima warga di Dusun Pengalusan, Desa Ban, 22 Januari 2020.
Sambil menganyam lembaran-lembaran bambu yang sudah dihaluskan menjadi wadah sayuran atau sesaji, warga bersama petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karangasem berdiskusi. Desa itu dihuni 11.000-an warga dan baru tahun 2012 mendapatkan akses jalan aspal. Lalu, mereka pun bercerita bagaimana mengenal vetiver hingga tak lagi mau menanam kembali.
Padahal, pada Januari 2019, dua orang tewas tertimbun longsor di Desa Ban. Berdasarkan catatan BPBD Karangasem, 80 persen wilayah Desa Ban dari 70 kilometer perseginya adalah rawan longsor.
Sejak 1996
Menurut mereka, rumput vetiver dikenalkan sejak 1996 oleh David J Booth, ketika itu masih berstatus warga negara Inggris. Pria yang sejak 2017 menjadi warga negara Indonesia tersebut intens mengajak warga menanam vetiver. Tanah di sekitar rumah dan pura pun tak lagi tergerus air jika hujan datang.
”David mengenalkan dan mengajarkan cara menanam vetiver,” cerita I Wayan Pontag, warga Ban.
David yang ditemui pada hari itu juga bercerita bahwa dirinya mendapatkan informasi dari temannya, seorang peneliti yang juga pemerhati lingkungan, bahwa ada Desa Ban di Bali yang tak ada di peta. Menurut temannya, tutur David, desa itu memprihatinkan. David pun pergi ke Bali dan mencarinya.
”Ya, benar tidak ada di peta. Orang juga jarang mengenal Desa Ban. Setelah beberapa minggu mencari, saya menemukannya dengan akses jalan bebatuan dan harus jalan kaki mengelilingi desa itu,” ceritanya.
Jarak Desa Ban ke pusat kota Karangasem, Amlapura, sekitar 60 kilometer atau menggunakan kendaraan memakan waktu tidak kurang dari satu jam.
Kalau dari Kota Denpasar, jarak ke Desa Ban sekitar 70 kilometer dengan rute yang berbeda. Ya, jika Anda dari Kota Denpasar ke Amplapura terlebih dahulu, perjalanan ke Desa Ban menjadi lebih dari dua jam dengan rute tidak kurang dari 100 kilometer.
Pada 1996, warga Desa Ban susah mendapatkan air. David pun membentuk Yayasan East Bali Poverty Project. Mereka gotong royong membangun saluran air bersih.
Ketika itu, pendidikan pun susah dijangkau anak-anak. ”Jalannya masih rusak. Puskesmas juga jauh saat itu,” kata David.
Rumah-rumah terbangun di lereng-lereng sekitar Gunung Agung, yang jaraknya berkisar 6 kilometer dari puncak kawah. Warga pun dikenalkan pada vetiver dan mereka menyanggupinya.
Tanaman ini dibudidayakan setelah air dapat diakses dari beberapa mata air yang ada. Rumput kuat ini membutuhkan perawatan, kecukupan sinar matahari, dan air. Pemangkasan juga penting. Menurut David, ketika itu mereka rajin merawat dan terus menanam.
Tanaman rerumputan vetiver dapat dimanfaatkan untuk merehabilitasi lahan-lahan yang rusak atau kritis. Tanaman mitigasi bencana itu juga bisa mengikat logam berat. Nah, termasuk di Desa Ban ini. David mendatangkan bibitnya dari Garut, Jawa Barat. Tak lama, hanya perlu tiga hari saja jika tanpa halangan, bibit datang.
Pakan ternak
Ketika besar, rumput ini bisa menjadi pelindung tanaman di sekitarnya dan tidak akan mengganggu karena akarnya menghunjam bumi hingga bisa mencapai lebih dari 2 meter.
Daunnya, sebenarnya, lanjut David, bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, tetapi daun yang muda dan sisakan 15 sentimeter dari permukaan tanah. Rumput ini juga bisa tumbuh di pasir pantai dengan terlebih dahulu dimasukkan ke polybag.
Rumput ini tidak memerlukan anggaran ratusan juta, kata David. Namun, secara ekonomi kalah dengan rumput gajah. Jelas Pontag, rumput gajah dengan kisaran diameter 10 sentimeter laku Rp 6.000. Mereka pun bisa panen setiap hari dan mendapatkan lebih dari Rp 50.000 per hari dengan menjual rumput gajah sebagai pakan sapi.
Nah, otomatis mereka memilih yang menguntungkan setiap hari dan perawatannya tidak susah. Lalu, kalau kembali longsor bagaimana? Kata mereka, ya, solusinya mengungsi sementara.
Jadi, soal vetiver ini, Bali pun pernah dikenalkan dan mengembangkannya di Desa Ban sejak 1996. Sekarang ini, saat kembali populer, justru menjadi dilema bagi mereka, salah satunya masyarakat di Desa Ban.
Tanaman vetiver menjadi populer sebagai obrolan kalangan penggiat mitigasi seusai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo merekomendasikan tanaman rerumputan ini kepada Presiden Joko Widodo untuk merehabilitasi lahan kritis (Kompas, 15/1/2020). Akarnya yang menghunjam lurus ke dalam ini mencapai 2 meter dan mampu mengurangi potensi erosi lahan.
Maka, dimungkinkan mampu memitigasi daerah itu dari longsor dan banjir. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia mengakui vetiver sebagai tanaman mitigasi bencana. Apalagi, kekuatan akarnya tersebut seperenam dari kekuatan kawat baja. Vetiver yang dimaksud adalah jenis tanaman yang populer bernama akar wangi atau narwastu yang berasal dari India.
Ada dua penamaan, yaitu Vetiveria zizanioides dan Chrysopogon zizanioides. Rumput ini masuk dalam famili Poaceae, ya, serumpun dengan serai atau padi.
Bernilai ekonomi
Sebenarnya, tanaman ini memiliki nilai ekonomi yang dapat diambil dari warga penanam atau yang tinggal dekat dengan budidaya ini. Hanya saja, pengambilan manfaat ekonominya tidak gampang.
Sejak mengawali penanaman sampai akarnya kuat, warga atau si pembudidaya tidak bisa membiarkan begitu saja. Ya, si rumput tetap butuh perawatan. Nah, di Garut, Jawa Barat, tanaman vetiver dibudidayakan.
Akarnya dipanen untuk bahan baku pembuatan parfum. Pemanenan akar vetiver ini membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat karena bisa diolah menjadi minyak wangi.
Namun, jika pemanenan dilakukan serampangan, hal itu justru membuat dampak positif fungsi ekologis yang diharapkan dari tumbuhan ini tak tercapai. Kepala BPBD Karangasem Ida Ketut Arimbawa ketika itu sempat mengajak kembali warga menanam rumput ini.
Menurut dia, warga sudah membuktikan sendiri manfaat untuk mitigasi bencananya.
”Ya, BPBD Karangasem perlu banyak belajar mengenai vetiver ini. Tak hanya bagaimana cara membudidayakannya, tetapi juga belajar bagaimana mengajak warga untuk mitigasi dengan cara alami. Tentunya cara alami yang mampu pula memberikan manfaat ekonomi tanpa mengurangi tujuan mitigasi bencana,” tutur Arimbawa sambil melangkah ke halaman Kantor BPBD Karangasem yang akan ditanami vetiver.