Dua dekade setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, nestapa kemiskinan masih melingkupi sebagian warga pengungsi eks Timor Timur yang memilih tetap menjadi WNI.
Oleh
Kornelis Kewa Ama/Fransiskus Pati Herin/Dionisius Reynaldo Triwibowo
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kendati status pengungsi sudah dihapus sejak 2002, banyak warga pengungsi eks Timor Timur masih tinggal di kamp pengungsian. Mereka belum mendapat rumah ataupun akses tanah yang menjadi modal untuk memperoleh penghidupan yang layak. Kemiskinan masih mendera sejak 20 tahun memilih bergabung dengan Indonesia pascapenentuan pendapat 30 Agustus 1999.
Penelusuran Kompas sepanjang pekan lalu, sebanyak 358 keluarga yang meliputi lebih dari 1.000 jiwa masih menempati Kamp Tuapukan di Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tuapukan merupakan salah satu kamp pengungsian bagi warga eks Timor Timur (Timtim) prointegrasi pascapenentuan pendapat. Mereka menempati kamp sejak 4 September 1999. Daerah itu berada sekitar 30 kilometer dari Kota Kupang.
Rumah-rumah gubuk berdinding pelepah daun lontar di kamp itu dibangun sejak 1999, di atas tanah warga asli Tuapukan. Rumah yang berukuran 9 meter x 8 meter, dengan lantai masih tanah, itu ada yang ditempati lebih dari empat keluarga.
Sebagian besar kondisi rumah di sana sudah lapuk. Sebagian besar warga eks Timtim yang masih tinggal di kamp pengungsian itu tidak mendapat pembagian bantuan rumah yang dibangun pemerintah di 13 titik.
Bantuan itu tersebar di Kabupaten Kupang, Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Malaka, dan Kota Kupang. Sebagian warga yang masih menetap di kamp itu ada juga yang sudah mendapat bantuan rumah, tetapi tidak menempatinya. Minimnya akses jalan dan ketiadaan lahan pertanian untuk menopang hidup membuat mereka memilih kembali ke kamp pengungsian agar bisa menggarap lahan milik warga setempat.
Hasil garapan dibagi 40 persen untuk pekerja dan 60 persen untuk pemilik lahan. Sebagian besar warga eks Timtim bekerja serabutan sebagai buruh tani, penjual sayur, kayu bakar, dan petani penggarap.
Harga lahan sawah di sana berkisar Rp 50.000 per meter persegi, tak terjangkau oleh mereka. ”Mau beli lahan, uang dari mana? Harga tanah mahal. Untuk makan saja susah,” ujar Marcelino Lopes (51), koordinator pengungsi eks Timtim di Kamp Tuapukan, Jumat (21/2/2020).
Sejumlah hak dasar, seperti kartu tanda penduduk, dan jaminan kesejahteraan, seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, memang sudah terpenuhi. Akan tetapi, ketiadaan akses ekonomi berupa lapangan pekerjaan ataupun lahan pertanian yang memadai membuat mereka terus terbelenggu kemiskinan secara struktural.
Minim data
Mengacu data dari Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), jumlah warga asal Timtim yang mengungsi ke wilayah Indonesia pascapenentuan pendapat 1999 diperkirakan 290.000 orang. Sementara itu, dari data Rencana Induk Penanganan Pengungsi Timtim di NTT tahun 2001, ada 284.148 pengungsi asal Timtim.
Dalam perjalanannya, sebagian dari mereka ada yang tetap menetap NTT, mengikuti program transmigrasi ke luar NTT, mengikuti repatriasi, atau memilih jadi warga Timor Leste. Kepala Seksi Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial NTT Andreas Kono mengatakan sangat sulit mendapatkan data akurat warga eks Timtim terkini.
”Pemerintah tidak melakukan pembaruan data warga eks Timtim sejak beberapa tahun terakhir. Status mereka bukan lagi pengungsi atau eks pengungsi, tetapi warga lokal NTT dengan kategori warga miskin, sama dengan penduduk lokal lain,” katanya.
Pada 2014, lembaga sosial kemanusiaan Centre for IDP’s Service (CIS) Timor bersama United Nations Human Settlements Programme (UN Habitat) mendata warga eks Timtim di wilayah NTT. Namun, tidak semua warga terdata karena Pemerintah Kabupaten Belu saat itu melarang. Pemkab khawatir, jika data terbaru dimunculkan, akan memicu warga eks Timtim menuntut hak lagi.
Pemkab Kupang mengizinkan pendataan. Hasilnya, jumlah pengungsi eks Timtim sekitar 7.350 keluarga atau 38.850 jiwa. Warga yang sudah mendapat tanah sekaligus rumah ada 752 keluarga, sudah mendapatkan hak guna bangunan 21 keluarga, sudah menempati rumah bantuan pemerintah 621 keluarga, dan sedang mengangsur tanah yang ditempati sebanyak 330 keluarga.
Warga membeli tanah, lalu rumah dibangun pemerintah. ”Data ini tidak cukup untuk mengetahui jumlah warga eks Timtim secara keseluruhan di Timor Barat. Mereka masih tersebar di Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Malaka, dan Kota Kupang. Belum lagi di kabupaten lain di NTT, seperti Alor, Sikka, dan Flores Timur,” kata Wendy Intan, Staf CIS Timor.
Transmigran
Warga eks Timtim yang mengikuti transmigrasi ke luar NTT rata-rata juga masih hidup dalam belenggu kemiskinan. Di Kalimantan Tengah, misalnya, sedikitnya ada 250 warga eks Timtim yang tersebar di Kabupaten Pulang Pisau dan Lamandau. Sebagian mendapat rumah dan lahan, sebagian lagi hanya mendapatkan rumah.
Zero de Deus (48), salah satu transmigran asal Timtim, tinggal di Desa Hanjak Maju, Pulang Pisau, sejak 2015. Ia mendapat rumah dan lahan seluas 1.500 meter persegi. Lahan yang diterima jauh dari yang dijanjikan semula, yakni 2 hektar, karena lahan yang dialokasikan ternyata terbentur sengketa tanah adat. Sementara ia juga kesulitan mengolah lahan gambut yang diterimanya.
Adapun Emanuel (56), transmigran asal Timtim lainnya, menyerah dan tak mampu lagi mengolah lahan gambut yang diterimanya. Ia pun menjual rumah dan lahan itu untuk kemudian hidup ala kadarnya dengan bekerja di perkebunan sawit dan tinggal di mes perusahaan. (KOR/FRN/IDO)