Harga Mahal Kesetiaan pada NKRI
Di tengah bayangan masa depan yang seakan tetap suram, warga pengungsi eks Timor Timur itu gigih bekerja demi sesuap nasi. Pekerjaan buruh tani mereka lakoni kendati hanya diupah Rp 30.000 per hari.
Panas terik menyengat, Lucinda da Cruz (55) dan empat perempuan sebaya cekatan menanam padi sawah di kawasan Resettlement Griya Oebelo Permai, Desa Oebelo, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Di tengah bayangan masa depan yang seakan tetap suram, warga pengungsi eks Timor Timur itu gigih bekerja demi sesuap nasi. Pekerjaan buruh tani mereka lakoni kendati hanya diupah Rp 30.000 per hari.
Sesekali mereka menegakkan kepala, lalu menyeka keringat yang mengucur deras di wajah. Jumat (21/2/2020) siang itu, Lucinda dan rekannya seperti berkejaran dengan tenggat waktu menyelesaikan borongan menanam padi di sawah seluas lebih kurang 2.000 meter persegi.
Tuntas menanam di areal itu, mereka berpeluang mengambil borongan di tempat lain. Musim tanam yang hadir dua kali dalam satu tahun jadi berkah bagi mereka. Ratusan hektar sawah di Oebelo, tepatnya di sepanjang Jalan Timor Raya, sekitar 22 kilometer dari Kota Kupang, menjadi target mereka.
”Harus selesai tanam hari ini. Pemilik sawah dari kampung sebelah minta kami secepatnya ke sana, kalau tidak akan diborong kelompok lain,” ujar Lucinda sambil berjalan cepat menuju tempat tinggalnya, tak jauh dari pinggir sawah.
Sejenak mereka rehat untuk makan siang di rumah masing-masing, untuk nantinya segera kembali ke sawah dan menyelesaikan borongan.
Begitu masuk ke rumahnya, Lucinda menuju dapur. Ruangan berukuran 3 meter x 2 meter itu berdinding tembok setinggi kurang dari satu meter, bagian atasnya disambung pelepah lontar yang dalam istilah lokal disebut bebak. Di situ tergantung keranjang dari anyaman lontar, berisi beberapa bulir beras, tak sampai sejumput.
Setelah mengambil piring di dapur, ia masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Rumah berukuran 7 meter x 6 meter itu juga berdinding tembok yang atasnya disambung bebak. Rumah tersebut bantuan dari pemerintah sekitar 13 tahun silam. Terdapat dua kamar tidur dan ruang tamu digabung ruang makan di rumah itu.
Di ruang makan tersedia bubur di dalam periuk. Itulah hidangan makan siang Lucinda bersama tiga anaknya.
”Kami masak bubur biar hasilnya lebih banyak,” ujarnya. Memasak bubur adalah cara paling efisien menekan biaya untuk beli beras. Pendapatan Lucinda hanya mengandalkan kerja sebagai buruh serabutan.
Memang ia punya penghasilan lain, yakni gaji pensiunan suaminya, Antonio da Cruz. Namun, jumlahnya jauh di bawah kebutuhan. Almarhum Antonio berkarier di TNI Angkatan Darat dengan pangkat terakhir prajurit kepala.
Harta yang mereka miliki hanyalah rumah dan lahan seluas 180 meter persegi untuk bertanam sayur, padi, dan jagung. Tanah itu dibeli setelah meminjam uang dari bank dengan menggadaikan surat keterangan pensiun suami.
Pinjaman diangsur menggunakan sebagian gaji pensiunan suami, hingga sisa yang diterima hanya Rp 400.000 per bulan. Bantuan pemerintah untuk pengungsi eks Timor Timur waktu itu hanya rumah. Mereka mengangsur pembelian tanah pada bangunan rumah itu. Begitu pula dengan lahan untuk bertani.
Menghidupi keluarganya bukanlah hal yang mudah bagi Lucinda. Beban ekonomi menyeret anak bungsunya, Anjelico da Cruz, masuk dalam geng yang sering terlibat perkelahian. Di wilayah Kabupaten Kupang sering terjadi perkelahian antargeng. Anjelico yang lahir tahun 1996 tewas pada 23 Agustus 2018 setelah diterjang peluru tajam. Kasus itu masih misterius.
Perjuangan untuk menyambung hidup juga dialami Plisiana Goncalves yang berusia lebih dari 80 tahun. Ia tinggal sekitar 230 kilometer dari Kupang, tepatnya di Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu.
Plisiana yang kini tinggal bersama seorang cucu menyambung hidup dengan menenun. Dalam sebulan ia bisa membuat dua selendang yang dijual sekitar Rp 100.000 per lembar.
Rumah Plisiana serupa rumah Lucinda, tapi kondisinya lebih parah. Sebagian besar tiang rumah bantuan bernomor urut 7 yang dibangun tahun 2008 itu dimakan rayap. Dinding tembok pada beberapa sisi sudah roboh sehingga ditambal dengan bebak, bekas karung beras, bekas karung semen, dan seng bekas.
”Dua bulan lalu ada yang bantu tambal, kalau tidak bolong semua,” katanya dalam bahasa Tetun.
Perjalanan panjang
Perjuangan warga eks Timor Timur yang memilih bergabung dengan Indonesia rata-rata harus melalui jalan terjal dan berliku. Seperti dikisahkan Lucinda, setelah kubu integrasi kalah dalam penentuan pendapat tahun 1999, ia dan keluarga memilih angkat kaki dari tanah kelahirannya di Lospalos.
Mereka menggunakan kapal laut dari Lospalos selama tiga hari hingga tiba di Pelabuhan Tenau, Kupang. Dari Tenau, mereka menempati barak pengungsi di Camplong, sebelum pindah ke Oebelo.
Selain naik kapal, sebagian besar pengungsi saat itu berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer melewati hutan. Mereka mencari titik aman di daratan Pulau Timor mulai dari Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, hingga ke luar Pulau Timor. Banyak yang bernasib seperti keluarga Lucinda dan Plisiana, atau bahkan lebih parah lagi.
”Selama 20 tahun setelah mengungsi, kebahagiaan sepertinya jauh dari kehidupan kami. Tapi, yang pasti, kami tidak menyesal memilih Indonesia. Kami tak pernah menyesal,” ujar Aderito da Cruz (36), anak sulung Lucinda.
Pilihan keluarga Lucinda dan Plisiana ini berbeda dengan sebagian warga eks Timor Timur yang akhirnya meninggalkan Indonesia dan kembali menjadi warga negara Timor Leste.
Alasannya, mereka merasa tidak diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Keluarga Lucinda dan Plisiana merupakan potret warga pengungsi eks Timor Timur yang tetap mencintai Indonesia.
Meski masa depan mereka pun masih suram, mereka tetap memilih bertahan di tengah ketidakberdayaan. Menjadi buruh serabutan dengan upah murah merupakan pilihan paling mungkin demi menyambung hidup. Mereka memilih setia kepada Merah Putih.