Sutradara Yosep Anggi Noen (35) mendapat ide ”The Science of Fiction” dari Pantai Parangkusumo. Dia mengimajinasikan gumuk pasir di pantai itu sebagai lokasi ”shooting” pendaratan di Bulan.
Oleh
DENTY NASTITIE PIAWAI
·2 menit baca
Ide untuk menghasilkan karya bisa datang dari mana saja. Sutradara Yosep Anggi Noen (35) mendapat ide untuk menulis kisah The Science of Fiction dari pengalamannya jalan-jalan ke Pantai Parangkusumo, sebuah obyek wisata alam yang terletak di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Di Pantai Parangkusumo, kan, ada macam-macam tuh, ada yang pacaran, ada juga gumuk pasir. Nah, saya membayangkan bagaimana kalau ternyata gumuk pasir itu digunakan sebagai tempat shooting pendaratan di Bulan,” katanya saat peluncuran Plaza Indonesia Film Festival 2020 di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Sutradara dari film Istirahatlah Kata-Kata (2016) itu kemudian mengembangkan ide dan khayalannya menjadi sebuah riset panjang mengenai teori konspirasi pendaratan di Bulan dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada 1960-an. Setelah melewati riset, penulisan naskah, dan pengumpulan modal yang dilakukan sejak 2012, akhirnya ide yang didapatkan ketika jalan-jalan di pinggir pantai itu diejawantahkan menjadi karya film berjudul The Science of Fiction.
The Science of Fictions bercerita tentang Siman (diperankan Gunawan Maryanto), seorang pria pendiam yang tak sengaja menyaksikan shooting pendaratan di Bulan oleh para kru asing. Siman ditangkap para penjaga dan lidahnya dipotong agar tidak menyebarkan rekayasa pendaratan di Bulan. Dalam film ini, Anggi menyoroti fenomena tentang bagaimana kebohongan direproduksi dan sejauh mana kita mengimaninya sebagai kebenaran.
”Tantangan saya dalam membuat film ini ialah memikirkan bagaimana ide yang saya dapatkan pada 2012 lalu tetap kontekstual dengan situasi masa kini. Apakah konteks itu masih berlaku hingga sepuluh tahun ke depan,” kata penulis dan sutradara asal Moyudan, Sleman, ini.
The Science of Fictions menjadi salah satu film yang akan ditayangkan dalam Plaza Indonesia Film Festival 2020. Di ajang ini, film lain yang akan diputar antara lain Mountain Song (Indonesia), House of Hummingbird (Korea Selatan), Monos (Kolombia), The Lighthouse System Crasher (Jerman), dan Honeyland (Macedonia). Festival ini bekerja sama dengan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), Instituto Italiano di Cultura, dan Kinosaurus.
Untuk menyaksikan film dalam festival, menurut Anggi, penonton tidak perlu takut akan mencerna tontonan yang rumit. Penonton hanya perlu menyiapkan imajinasi untuk dapat menyaksikan cerita di layar lebar. ”Oh, jangan lupa juga bawa popcorn agar nontonnya lebih asyik,” katanya.
Anggi merupakan lulusan dari jurusan komunikasi Universitas Gadjah Mada. Ia meraih Piala Citra untuk Sutradara Terbaik (2016). Beberapa karyanya pernah ditayangkan di festival film internasional, seperti International Film Festival Rotterdam (Hujan tak jadi datang), Locarno Film Festival (Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya), dan Vancouver International Film Festival 2013 (berhasil mendapatkan Special Mention Award untuk Vakansi).