Langkah Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat mengubah status Indonesia dari negara berkembang ke negara maju akan berdampak pada sejumlah industri. Sebab, fasilitas industri tersebut untuk ekspor ke AS akan hilang.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) mengubah status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju. Perubahan status itu antara lain karena produk domestik bruto atau PDB per kapita Indonesia di atas 4.000 dollar AS.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno mengatakan, hal itu akan berdampak terhadap industri yang memproduksi barang-barang yang diberikan fasilitas sistem tarif preferensial umum (GSP).
”Di antaranya, yang cukup besar, adalah (industri) perhiasan,” kata Benny lewat pesan tertulis di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Menurut Benny, pemerintah dapat menyikapi langkah AS itu melalui kebijakan fiskal terhadap industri-industri yang terdampak. ”Dengan demikian, kebijakan fiskal dapat mengompensasi besaran bea masuk produk-produk tersebut ke AS,” katanya.
Terkait GSP, Benny mengatakan, kedua belah pihak, yakni importir di AS dan eksportir di Indonesia, menikmati GSP tersebut. GSP diberikan dengan jumlah nilai tertentu untuk setahun. ”Namun, kalau penggunaannya sudah mencapai nilai dollar AS tertentu, fasilitas GSP sudah habis walaupun tahunnya belum habis (berakhir),” kata Benny.
Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengatakan, penempatan Indonesia yang tidak lagi berstatus sebagai negara berkembang akan berkaitan dengan GSP. ”GSP itu ditujukan untuk negara-negara berkembang yang bertransaksi dagang dengan AS,” katanya.
Namun, untuk industri alas kaki, menurut Firman, pencabutan status Indonesia sebagai negara berkembang oleh AS tidak berpengaruh terhadap ekspor Indonesia ke negara tersebut. Sebab, ekspor alas kaki Indonesia ke AS tidak mendapatkan GSP.
”Jadi, kami bersaing secara terbuka dengan pesaing-pesaing seperti China dan Vietnam. Industri di AS juga memproduksi sepatu olahraga. Produk sepatu dari Indonesia yang diekspor ke AS tidak mendapatkan GSP. Ketika (status Indonesia sebagai negara berkembang) itu dicabut, tidak ada pengaruhnya,” katanya.
Sebagai gambaran, Firman mengatakan, AS merupakan negara pasar besar pertama, yakni menyerap 27 persen dari total ekspor alas kaki Indonesia. Adapun secara kawasan, Uni Eropa merupakan pasar terbesar yang menyerap 33 persen total ekspor alas kaki Indonesia.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasiona Suharso Monoarfa menyebutkan, perubahan status itu akan berdampak luas. Kemudahan fasilitas ke pasar AS yang selama ini dinikmati Indonesia akan hilang.