Berdasarkan catatan BPS, peningkatan kualitas manusia Indonesia berlanjut secara konsisten. Selama periode 2010-2019, pertumbuhan rata-rata mencapai 0,87 persen.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Peningkatan signifikan kualitas hidup masyarakat yang berhasil dicapai satu dasawarsa terakhir masih belum mampu mengikis jarak senjang kesejahteraan antarwilayah di negeri ini.
Kondisi demikian tersimpulkan dari hasil pencermatan terhadap perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), 17 Februari 2020. Berdasarkan catatan BPS, peningkatan kualitas manusia Indonesia berlanjut secara konsisten. Selama periode 2010-2019, pertumbuhan rata-rata mencapai 0,87 persen. Catatan terbaru, pada tahun 2019, IPM Indonesia mencapai 71,92, atau dapat dikategorikan ”Tinggi”.
Peningkatan signifikan kualitas hidup masyarakat berhasil dicapai satu dasawarsa terakhir.
Capaian ini jelas menggembirakan. Setidaknya, tiga indikator dasar yang digunakan sebagai acuan pengukuran, yaitu aspek kesehatan (umur harapan hidup), pendidikan (harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah), serta ekonomi (pengeluaran per kapita) setiap penduduk meningkat. Dari ketiga aspek tersebut, indikator ekonomi paling menonjol, tumbuh 2,17 persen.
Peningkatan semua indikator yang berkaitan dengan kualitas manusia tersebut sekaligus menunjukkan kualitas kesejahteraan masyarakat yang diraih dari hasil pembangunan kian membaik. Umur harapan hidup, misalnya, di negeri ini menjadi 71,34 tahun. Padahal, pada tahun 2010 mencapai 69,81. Begitu juga untuk harapan lama sekolah dari 11,29 tahun, kini menjadi 12,95 tahun. Sementara, pengeluaran per kapita menjadi Rp 11,29 juta.
Bagi pemerintahan yang berkuasa, peningkatan jelas menjadi goresan prestasi. Konfigurasi wilayah, baik dari sisi provinsi maupun kabupaten dan kota, semua menunjukkan laju perubahan yang signifikan. Apabila dikategorisasikan, pada level provinsi tidak ada lagi wilayah dengan kualitas yang tergolong ”Rendah” (skor IPM < 60). Kali ini, hanya 11 provinsi yang tergolong ”Sedang” (60-70). Dalam jumlah terbanyak, 22 provinsi, berstatus ”Tinggi” (70-80). Bahkan, terdapat pula DKI Jakarta yang tergolong ”Sangat Tinggi” (skor IPM lebih besar dari 80) atau sudah dapat disejajarkan dengan kualitas manusia di kota-kota besar mancanegara.
Dari segi pertumbuhan, beberapa provinsi tercatat sebagai yang tertinggi. Sekalipun dalam konfigurasi nasional kualitas pembangunan manusia di Papua Barat, Maluku Utara, dan NTT tergolong pada lapis bawah, tetapi pada tahun 2019 ketiga provinsi tersebut berhasil mencatatkan pertumbuhan IPM tertinggi.
Begitu pula jika dielaborasi hingga tingkat kabupaten dan kota. Menurut BPS, hanya 4,5 persen atau 23 kabupaten yang masih ”Rendah”. Dibandingkan tahun sebelumnya (26 kabupaten) menyusut. Sebaliknya, terjadi peningkatan kualitas yang signifikan pada wilayah kota dan kabupaten. Jika pada 2018 hanya 29 daerah, kini menjadi 38 (7,4 persen).
Peningkatan signifikan juga berlangsung pada kategori ”Tinggi”. Jika pada tahun lalu masih tercatat 163, kali ini menjadi 183 (35,6 persen). Peningkatan menjadi ”Tinggi” didorong peningkatan wilayah kabupaten dan kota yang sebelumnya masih berkategori ”Sedang”. Itulah mengapa, kabupaten dan kota yang berkategori ”Sedang” menyusut dari 296 menjadi 270 (52,5 persen).
Namun, capaian prestatif semacam ini menjadi serba relatif. Pasalnya, peningkatan yang dicapai dalam kurun satu dasawarsa terakhir masih menyisakan persoalan disparitas yang tidak terselesaikan.
Jika dicermati, konfigurasi jarak senjang antarwilayah relatif belum signifikan berubah. Wilayah-wilayah yang memang sudah tergolong tinggi kualitas manusianya mampu mempertahankan capaiannya itu secara stabil. Namun sebaliknya, wilayah-wilayah yang berada dalam kategori rendah dan sedang seolah tidak cukup mampu mengatasi ketertinggalannya. Sekalipun dalam beberapa kasus laju peningkatan IPM wilayah-wilayah ini relatif lebih besar, tetapi masih relatif kecil guna mengatasi ketertinggalan.
Gambaran paling mencolok jika membandingkan jarak senjang antarprovinsi dan antarkabupaten dan kota. Pada kelompok provinsi, misalnya, DKI Jakarta menjadi wilayah tertinggi. Sejak tahun 2010, tidak satu pun provinsi yang melampaui DKI Jakarta. Sebaliknya pada posisi terbawah, Provinsi Papua (Grafik 1). Sepuluh tahun terakhir, sekalipun terjadi peningkatan cukup signifkan di Papua, tetapi tidak mengubah konfigurasi dan tetap mendudukkan provinsi paling timur ini dalam posisi terbawah.
Jika diperbandingkan, jarak senjang DKI Jakarta dan Papua pada tahun 2010 sebesar 21,86. Dengan kondisi sebesar itu, secara kasar, diperlukan waktu 34 tahun bagi Papua mengejar IPM DKI di tahun 2010 lalu.
Bagaimanakah kondisi yang terjadi saat ini? Berdasarkan capaian IPM Papua kini sebesar 60,84, berselisih sebesar 19,92 dengan IPM DKI Jakarta. Perbedaan selisih antara DKI Jakarta dan Papua relatif mengecil memang, tetapi masih tidak terlalu signifikan. Dengan perhitungan yang sama, guna mengejar kondisi DKI pada tahun 2019 ini, bagi Papua diperlukan 31 tahun lagi.
Kota Yogyakarta tetap dalam kategori ’Sangat Tinggi’ dengan skor IPM 82,72.
Kondisi disparitas yang lebih kontras bahkan terjadi di antara kabupaten dan kota. Berdasarkan catatan BPS, Yogyakarta menjadi kota tertinggi kualitas pembangunan manusianya. Pada tahun 2019 tercatat 86,65. Satu dasawarsa lalu, kota Yogyakarta tetap dalam kategori ”Sangat Tinggi” dengan skor IPM 82,72.
Menjadi sangat senjang jika dibandingkan dengan Kabupaten Nduga, Papua, wilayah dengan catatan IPM terendah selama ini. Pada tahun 2019, IPM Nduga sebesar 30,75. Jika dibandingkan dengan kondisi sepuluh tahun lalu, kualitas pembangunan manusia Nduga memang bertumbuh. Kecepatan pertumbuhannya tergolong signifikan (Grafik 2).
Hanya saja, jika diukur jarak di antara kedua wilayah tersebut tampak sangat senjang. Pada tahun 2019 berselisih 55,9. Dengan demikian, secara kasar diperlukan sekitar 56 tahun bagi Nduga guna mengejar kondisi Yogyakarta pada tahun 2019.
Mengejar rata-rata IPM Indonesia, Nduga memerlukan 41 tahun lagi.
Kabupaten Nduga menjadi wilayah terendah dan paling senjang di negeri ini. Jika mengejar rata-rata IPM Indonesia, misalnya, Nduga masih memerlukan waktu selama 41 tahun lagi. Di dalam Provinsi Papua pun potret disparitas mencolok (Grafik 3). Membandingkan antara capaian IPM Papua dan Kabupaten Nduga sudah berselisih 30,1, atau diperlukan sekitar 27 tahun mengejar kondisi kualitas pembangunan manusia rata-rata di Papua.
Kalkulasi kasar semacam ini menunjukkan masih terlalu besar disparitas yang terpetakan di negeri ini. Selama ini, perubahan kualitas memang tidak tersangkalkan. Hanya saja, dengan gerak peningkatan yang terjadi sebesar itu, tidak lagi cukup dirasakan dalam mengatasi ketertinggalan. (Litbang Kompas)