Sigir (38) tak kuasa menolak tawaran obral lahan kebun karet dengan harga Rp 4 juta per hektar. Tanpa pikir panjang, ia membeli 8 hektar dari seorang makelar dengan harapan besar akan sukses berkebun karet.
Oleh
Irma Tambunan
·4 menit baca
Sigir (38) tak kuasa menolak tawaran obral lahan kebun karet dengan harga Rp 4 juta per hektar. Tanpa pikir panjang, ia membeli 8 hektar dari seorang makelar dengan harapan besar akan sukses berkebun karet. Namun, angan meraih untung sirna. Tanaman habis dirusak kawanan gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus).
Pada malam hari, gajah kerap singgah untuk memakan tanaman karetnya di Desa Muara Kilis, Kabupaten Tebo, Jambi. Ia hampir putus asa. ”Waktu itu, saya sangat marah pada gajah-gajah itu. Saya anggap mereka perusak tanaman. Hama,” ujarnya mengenang pengalaman lima tahun silam, Rabu (19/2/2020).
Belakangan, ia baru tahu kalau hamparan lahan yang digarapnya ternyata kawasan hutan negara dan jalur jelajahan gajah. Saat wilayah itu masih berhutan lebat, gajah rutin melintas. Warga asli di sana juga menghidupi kearifan lokal untuk menghargai keberadaan gajah dan menyematkan panggilan datuk gedang kepada satwa bertubuh besar tersebut. ”Ternyata pendatang seperti kami ini yang mengganggu kehidupan gajah,” katanya,
Dalam kesadaran baru, Sigir mulai belajar hidup berdamai dengan gajah. Dari para petugas mitigasi satwa di ekosistem Bukit Tigapuluh, ia berlatih menggiring gajah keluar dari kebun hingga turut memandu translokasi gajah. Bersama warga di lima desa, yaitu Muara Kilis, Muara Sekalo, Semambu, Suo-suo, dan Pemayungan, ia membentuk jejaring.
Beranggotakan 50-an petani, jejaring saling berbagi informasi tentang keberadaan gajah yang mendekati kebun. Kisah Sigir merupakan potret sebagian kecil masyarakat yang mau berdamai dengan kehadiran gajah. Namun, dalam ekosistem Bukit Tigapuluh di perbatasan Jambi dan Riau itu, sebagian besar warga pendatang lain masih menganggap gajah sebagai hama.
Salah satu pemimpin adat suku Talang Mamak di wilayah Suo-suo, Patih Serunai, menceritakan perubahan drastis terjadi dalam 5-10 tahun terakhir. Sebelumnya, warga setempat hidup berdampingan dengan gajah. ”Kami menanam padi dan buah-buahan, tetapi tidak di hutan yang sering dilewati gajah,” jelasnya.
Konflik
Konflik manusia dan gajah makin sering terjadi saat habitat gajah menyusut. Dari analisis citra tahun 1985, habitat gajah di Bukit Tigapuluh memiliki luas 651.232 hektar, dengan tutupan hutan 95 persen. Dua dekade berikutnya, tutupan menyusut jadi 77 persen. Pada 2010, tutupan yang tersisa menjadi 49 persen, mencakup taman nasional, hutan produksi, dan sebagian kecil area penggunaan lain.
Degradasi hutan sebagian besar terjadi karena lahan yang dialokasikan pemerintah untuk kepentingan monokultur berskala besar. Yang terparah tahun 2010, pelepasan hutan seluas 61.000 ha, hampir seluas DKI Jakarta, untuk kepentingan tanaman industri bagi korporasi. Alih fungsi hutan dan perambahan liar memantik konflik manusia dan gajah. Unit Mitigasi Konflik Gajah (ECMU) Frankfurt Zoological Society (FZS) memantau 96 konflik pada 2010.
Tahun 2011 naik menjadi 130 kasus. Pantauan tiga tahun terakhir, berturut-turut 271 konflik, 346 konflik, 245 konflik. Seiring maraknya konflik, populasi gajah berkurang dari sekitar 400 ekor menjadi sekitar 140 ekor dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan catatan Badan Konservasi Dunia (IUCN), gajah sumatra kini menjadi satu-satunya subspesies gajah di dunia yang berada dalam kategori paling terpuruk. Status konservasi di titik kritis.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi Rahmad Saleh mengakui, ada tantangan berat dalam menghindari gajah sumatra dari ancaman kepunahan. Spesies yang berstatus dilindungi itu lebih banyak tinggal di habitat yang tak dilindungi. Taman Nasional Bukit Tigapuluh memang lebih aman sebagai habitat gajah, tetapi topografinya terlalu curam.
Kawanan gajah lebih nyaman menjelajah di areal landai. Untuk itu, pihaknya mengusulkan 54.000 ha di penyangga taman nasional disahkan menjadi kawasan ekosistem esensial (KEE) alias sebagai habitat satwa-satwa dilindungi. Kawasan tersebut mencakup areal masyarakat dan konsesi korporasi. Lewat KEE, keberadaan satwa, seperti gajah, harimau, dan orangutan, diyakini akan lebih terlindungi.
Tidak hanya melindungi satwa, KEE diharapkan pula sebagai cikal bakal ekowisata bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Selain satwa yang selamat, manusia pun menerima manfaat. Seluruh rencana ini hanya dapat berjalan jika pemerintah serius memberikan ruang bagi spesies tersisa. Masih ada harapan.