Calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah makin banyak muncul sejak fenomena ini menyeruak pada Pilkada 2015. Tudingan pragmatisme partai politik di balik fenomena calon tunggal di pilkada menimbulkan polemik seputar calon tunggal di pilkada.
Pilkada 2020, yang akan berlangsung secara serentak pada 23 September 2020 di 270 daerah di Indonesia, akan memilih 9 gubernur, 224 bupati, dan 37 wali kota. Komisi Pemilihan Umum di 270 daerah itu belum mengumumkan nama calon kepala daerah yang akan berlaga. Nama sosok atau tokoh yang akan maju saat ini sedang digodok partai politik. Calon tunggal termasuk salah satu produk pilkada serentak sejak 2015.
Munculnya calon tunggal ini sebagai konsekuensi tingginya ambang batas pencalonan partai politik, atau gabungan parpol. Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah menyebutkan, ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan calon jika memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD, atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
Ambang batas ini terlampau besar dan menjadi syarat yang berat bagi sebagian besar parpol yang hanya memiliki sedikit kursi di DPRD. Di kebanyakan DPRD, kursi parlemen daerah terbagi dalam jumlah kecil-kecil di sejumlah parpol. Dengan demikian, ambang batas minimal pencalonan kepala daerah menjadi penghalang bagi mereka untuk mengusung calon lain tatkala partai penguasa kursi DPRD sudah mengajukan nama calon.
Contoh menonjol adalah Kabupaten Boyolali. Penguasaan kursi oleh PDI-P di DPRD Boyolali periode 2019-2024 hasil Pemilu Legislatif 2019 mencapai 77 persen. Dari total 45 kursi DPRD, 35 kursi diraih PDI-P, Golkar 4 kursi, PKS 3 kursi, PKB 2 kursi, Gerindra 1 kursi.
Artinya, untuk mencalonkan kepala daerah di pilkada, butuh minimal sembilan kursi DRPD. Praktis, parpol selain PDI-P harus berkoalisi secara bulat jika ingin mengajukan calon melawan calon PDI-P.
Dalam praktiknya, upaya ini sulit dilakukan karena perbedaan kepentingan setiap parpol. Terlebih dalam kenyataannya, partai-partai penguasa DPRD biasanya sudah jauh-jauh hari mengantisipasi hal ini dengan berkoalisi bersama parpol-parpol yang berpotensi ”menjegal” dengan mengajukan/mengusung calon nama kepala daerah.
Dalam kasus Pilkada Boyolali, misalnya, cukup dengan mengajak Golkar berkoalisi, tertutup sudah peluang parpol lain mengajukan nama sendiri di pilkada. Konsekuensi logis dari situasi ini, jika tak mau kalah, mau tidak mau partai papan tengah ke bawah ini harus ikut mengusung calon supaya bisa berpartisipasi dan ikut menang pilkada.
Pilihan mengusung calon tandingan sudah tertutup lantaran syarat minimal ambang batas tak terpenuhi. Apalagi, dalam praktiknya, partai-partai papan tengah ke bawah dengan modal kursi pas-pasan ini sudah tentu tidak akan dilirik para calon karena dianggap memiliki modal politik yang lemah.
Simbiosis politik
Saat ini, ajang kontestasi pilkada merupakan ajang unjuk kekuatan pamor ketokohan dan pengaruh dari nama seseorang. Pamor yang kuat dari sebuah nama tentu akan mengundang parpol untuk meminang calon, dalam perhelatan pilkada. Tentu saja nama itu biasanya lebih banyak muncul dari kalangan politisi parpol juga, baik di tingkat daerah/lokal maupun nasional.
Calon-calon kepala daerah dengan popularitas tinggi biasanya juga memiliki modal sosial yang kuat di daerahnya. Modal sosial ini bisa berbasis pada sosok calonnya sendiri, seperti sifat personal, pergaulan sosial, dan hubungan kekerabatan dengan tokoh lokal.
Selain sosok, kualitas personal, seperti tingkat pendidikan, kedudukan sosial di masyarakat, pekerjaan, dan kekayaan juga menjadi modal sosial yang selalu menjadi latar belakang pinangan parpol.
Kolaborasi antara nama tokoh yang kuat dan penguasaan kursi DPRD oleh parpol akhirnya menjadi satu simbiosis mutualisme, yang menghadirkan ekosistem ideal bagi terbentuknya calon tunggal di pilkada. Sejak pilkada serentak pertama kali pada 2015, terekam semakin banyaknya fenomena calon tunggal dalam pilkada.
Jika pada Pilkada 2015 hanya ada tiga calon tunggal, pada Pilkada 2017 muncul delapan calon tunggal. Meski banyak kritik terhadap kemunculan hanya satu calon, nyatanya langkah ini dipakai sebagai strategi jitu oleh parpol sehingga tetap tak terbendung. Akibatnya, dalam Pilkada 2018, terdapat 16 daerah dengan calon tunggal dalam pilkadanya.
Mayoritas menang
Saat ini, sejumlah daerah sudah terpotret bakal mengalami fenomena calon tunggal melalui mekanisme penguasaan kursi di parlemen. Parpol tidak segan mendorong terbentuknya calon tunggal pilkada karena, dengan demikian, kemenangan hampir pasti sudah ada di tangan.
Dari berbagai kontestasi pilkada dengan calon tunggal (27 pilkada), hampir semuanya dimenangi sang calon, bahkan ketika sang calon itu sudah menjadi tersangka dan ditangkap KPK.
Tengok saja Pilkada Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara, ketika pasangan calon tunggal Samsu Umar Abdul Samiun-La Bakry tetap memenangi pilkada dengan perolehan 55,08 persen suara. Sementara 44,9 persen suara tak dicoblos.
Artinya, sebagian besar pemilih yang datang hanya datang ke TPS untuk mencoblos nama pasangan Umar Samiun-La Bakry. Kuatnya pamor Umar Samiun sebagai tokoh masyarakat dan tokoh parpol membuat penetapan tersangka dan penahanan oleh KPK tak mengubah kemenangan Umar Samiun.
Hanya di Pilkada Makassar kotak kosong ”menang” dengan meraih 53 persen suara, sedangkan pasangan calon dari parpol, Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi, kalah dengan 46 persen suara.
Akan tetapi, patut dicatat, di balik kekalahan Munafri, ditengarai kuat ada faktor pengaruh sosok Danny Pomanto, wali kota sebelumnya, yang pencalonannya dianulir. Artinya, jika tanpa faktor pendorong yang kuat, masih ada kemungkinan kotak kosong bakal kalah.
Fenomena calon tunggal kerap dianggap sebagai bukti kegagalan partai politik membangun sistem demokrasi berbasis kompetisi. Pemilihan kepala daerah yang demokratis idealnya memang diikuti beberapa calon sebagai representasi keberagaman sosial di masyarakat.
Secara filosofis, calon tunggal mereduksi keberagaman sosial yang menjadi semangat inti dari sistem politik demokratis. Namun, secara pragmatis, calon tunggal disukai parpol karena ”menjamin” kemenangan parpol tanpa harus banyak ”berkorban” dalam ajang kompetisi.
Terserah publik
Selain soal ketentuan ambang batas, mekanisme pengambilan keputusan partai menjadi pemicu munculnya calon tunggal. Kekuasaan untuk menentukan keputusan strategis, seperti calon kepala daerah, yang berada di tangan segelintir elite partai, membuat proses perekrutan yang demokratis menjadi tak sepenuhnya demokratis. Pada akhirnya, aspirasi petinggi partailah yang akan menentukan ketimbang mekanisme yang demokratis.
Situasi ini ditambah dengan kepentingan ekonomi partai terkait mahar politik, yang harus ditanggung kandidat untuk mendapatkan dukungan partai. Sebagai konsekuensi, rekomendasi calon kepala daerah yang dikeluarkan elite parpol di tingkat pusat kerap berbeda dengan mekanisme pencalonan dari bawah yang merepresentasikan aspirasi masyarakat lokal. Para kader harus tersingkir karena tidak mampu secara finansial untuk membayar mahar.
Partai politik perlu membuka mekanisme dialog yang lebih dinamis dalam menentukan calon kepala daerah. Mekanisme ini tetap berbasis pada suara pengurus daerah yang menjadi pemilik dukungan. Partai juga harus memberi peluang sebesar-besarnya kepada kadernya yang berpotensi untuk ”dijual” kepada masyarakat di daerah.
Calon tunggal bukanlah aib meskipun kehadirannya kerap menjadi polemik. Calon tunggal bisa menjadi bahan evaluasi untuk menilai tingkat kesempurnaan mekanisme pilkada dan kiprah parpol dalam membentuk ekosistem politik yang lebih demokratis di daerah.
Jika calon tunggal semakin banyak terjadi dan terus mendominasi di berbagai pilkada, dimensi kehidupan sosial masyarakat lainnya pun bisa terkena imbas negatif dari kekuasaan yang terlampau terpusat ini.
Namun, itu semua juga terpulang kepada bagaimana karakteristik pilihan politik masyarakat di daerah dan konstituen parpol. Apakah mereka memang menghendaki warna politik dan ketokohan yang monolitik di daerahnya atau menghendaki situasi yang lebih plural secara politik. Publik juga perlu berkembang dewasa seiring dengan upaya demokratisasi parpol.
Kita tunggu saja! (Litbang Kompas)