Tragedi susur sungai ekstrakurikuler pramuka SMPN 1 Turi, Sleman, menewaskan 10 siswi. Prosedur dan persiapan yang baik menghindarkan kegiatan luar ruang siswa dari kefatalan.
Oleh
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Dua hari pascatragedi tewasnya 10 murid SMPN 1 Turi, Sleman, DI Yogyakarta, dalam kegiatan susur Sungai Sempor, penanggung jawab kegiatan, IYA (36), ditahan polisi. Kegiatan yang sebenarnya positif itu berakhir tragis karena kelalaian terkait prosedur, persiapan, dan alat-alat keselamatan.
Sebanyak 15 saksi diperiksa penyidik Polda DI Yogyakarta. Mereka adalah 7 pembina pramuka SMPN 1 Turi, 3 pengurus Kwartir Cabang Pramuka Sleman, 3 warga sekitar lokasi kejadian yang juga pengelola wisata di Sungai Sempor, dan 2 murid.
”Dugaan sementara ada kelalaian. Ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara,” kata Kepala Bidang Humas Polda DIY Komisaris Besar Yuliyanto, Minggu (23/2/2020).
Hingga kemarin, 10 murid meninggal, dua orang di antaranya ditemukan tim pencari pada Minggu pagi, sekitar 400 meter dari lokasi kegiatan. Keduanya adalah Yasinta Bunga (13), siswi kelas VIIB, dan Zahra Imelda (12), siswi kelas VIID.
Dengan temuan tersebut, dari total 249 peserta susur sungai ekstrakurikuler pramuka itu, 10 orang ditemukan meninggal (semuanya perempuan) dan 23 orang luka-luka.
Bupati Sleman Sri Purnomo menyatakan, untuk sementara kegiatan ekstrakurikuler di luar sekolah akan dihentikan. Pemerintah Kabupaten Sleman juga akan mengevaluasi aturan dan prosedur kegiatan ekstrakurikuler di luar sekolah.
Di Jakarta, Pelaksana Tugas Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar mengatakan, hasil investigasi penyebab tragedi susur sungai itu belum keluar.
”Kami terus berkoordinasi dengan unit pelaksana teknis (UPT) kami di Provinsi DIY sejak hari pertama kecelakaan,” katanya. Peristiwa itu jadi pelajaran mahal para pendidik agar selalu menciptakan lingkungan belajar aman dan nyaman.
Pengenalan alam
Para pihak menilai kegiatan luar ruang mengenali alam bermanfaat besar bagi anak-anak untuk mengenali lingkungan dan memupuk kepedulian sejak dini. Keselamatan peserta harus menjadi prioritas tertinggi.
”Kegiatan pengenalan alam tetap bisa dilaksanakan dengan memperhatikan keselamatan,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah DIY Biwara Yuswantana.
Selain mengecek kondisi cuaca, pengenalan alam selayaknya didahului persiapan matang. Para peserta juga mendapat materi kondisi medan, faktor risiko, dan cara menjaga keselamatan.
Para peserta juga dibekali peralatan memadai. Menurut Dudung Laksono, pengelola Outbond Sempor, lokasi musibah sebenarnya sudah kerap digunakan untuk aktivitas wisata dan outbond, termasuk susur sungai.
Aktivitas di Sempor berlangsung sejak 2004 dan pernah vakum pasca-bom Bali II tahun 2005, sebelum dibuka lagi pada 2007. Susur sungai selalu dilakukan dengan prosedur ketat, seperti maksimal 500 meter, berjalan di tepian, dan segera evakuasi saat ada tanda debit air naik. Kegiatan itu pun didukung jumlah pemandu satu berbanding lima peserta, tali pengaman, dan posko evakuasi minimal tiga titik.
Namun, saat susur sungai anak-anak itu, pihak sekolah tak berkomunikasi dengan pengelola outbond. Kepala Pusat Informasi Nasional Gerakan Pramuka Guritno mengatakan, rencana kegiatan siswa di alam bebas semestinya dikoordinasikan. Kegiatan itu bisa terselenggara atas izin para pihak terkait, mulai kepala sekolah, aparat desa, kecamatan, TNI, polisi, kwartir ranting, kwartir cabang, hingga masyarakat.
”Kecelakaan yang menimpa siswa SMPN 1 Turi tidak ada koordinasi dengan semua pihak terkait kegiatan di alam bebas. Manajemen risikonya juga tidak berjalan,” ujarnya.
Oleh karena pembina pramuka adalah guru, kata Guritno, mereka akan mendapat bantuan hukum dari Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia. (HRS/MED)