Pertarungan keras antarcalon serta politik identitas di masyarakat berpotensi menjadi penyebab kerawanan gangguan keamanan di sejumlah daerah di Sulawesi Utara selama Pilkada 2020.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pertarungan keras antarcalon serta politik identitas di masyarakat berpotensi menjadi penyebab kerawanan gangguan keamanan di sejumlah daerah di Sulawesi Utara selama Pemilihan Kepala Daerah 2020. Meski begitu, kepolisian akan mengamankan semua wilayah yang menyelenggarakan pilkada tanpa pandang bulu.
Sulawesi Utara menempati peringkat kedua dari sembilan daerah yang ditetapkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai daerah rawan dengan nilai 38,09 pada akhir Januari 2020 lalu. Sulut bertengger di antara Sulawesi Tengah (55,72) dan Kalimantan Selatan (37,12).
Kerawanan tersebut meliputi risiko terjadinya beberapa hal, seperti pelanggaran dalam proses pemilu, bencana alam, hingga kriminalitas. Polri juga menetapkan Tomohon dan Bitung sebagai dua daerah di Sulut yang proses pilkadanya rawan gangguan.
Penetapan Tomohon sebagai daerah rawan cukup mengejutkan.
Analis politik Tumbelaka Academy Center, Taufik Tumbelaka, Senin (24/2/2020), mengatakan, penetapan Tomohon sebagai daerah rawan cukup mengejutkan. Sebab, selama beberapa periode terakhir, pilkada di Tomohon berjalan cenderung lancar tanpa gangguan, terutama konflik horizontal.
”Secara tradisional, Tomohon adalah daerah basis Partai Golkar. Wakil Wali Kota Syerly Adelyn Sompotan akan maju lagi sebagai calon wali kota. Tetapi, yang harus diperhatikan, Tomohon adalah pusat GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) sehingga bisa saja ada mobilisasi di tingkat masyarakat akar rumput,” katanya.
Sebaliknya, Taufik menilai wajar penetapan Bitung sebagai daerah rawan. Sebab, pasangan petahana Wali Kota Maximilian Lomban dan Wakil Wali Kota Maurits Mantiri akan pecah kongsi untuk bersaing di pilkada tahun ini. Persaingan dapat memanas karena Max berasal dari Partai Nasdem, sedangkan Maurits dari PDI-P.
”Di level nasional, dua partai itu sedang tidak mesra. Di sisi lain, Bitung adalah kota yang sangat plural secara kesukuan dan agama. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) bisa berpengaruh sekali dan sulit diredam,” kata Taufik.
Sementara itu, Minahasa Utara juga disebut rawan karena persaingan antara Nasdem dan PDI-P. Taufik mengatakan, Bupati Vonnie Anneke Panambunan yang akan mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulut akan bertindak sebagai vote getter (penarik suara) bagi Shintia Gelly Rumumpe, anaknya, yang akan maju sebagai bupati lewat Nasdem.
Potensi kerawanan akan menjadi kenyataan apabila elite tidak bisa menahan diri dalam konfrontasi politik.
Di lain pihak, Gubernur Olly Dondokambey, awal Januari lalu, telah menyatakan Bitung dan Minahasa Utara sebagai daerah yang harus dimenangi PDI-P bersama Manado. Kemenangan PDI-P di tiga wilayah itu disebutnya dapat memastikan dirinya melenggang ke periode kedua.
Menurut Taufik, potensi kerawanan akan menjadi kenyataan apabila elite tidak bisa menahan diri dalam konfrontasi politik. Sangat penting bagi para calon untuk menjaga etika politik dalam proses pilkada. ”Selain itu, semoga ada lebih dari dua calon agar polarisasi politik tidak terlalu kuat,” katanya.
Sementara itu, Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Sulut Jemmy Kumendong mengatakan, masyarakat tidak harus terlalu khawatir soal kerawanan penyelenggaraan pilkada di Sulut. Sebab, Sulut hampir tidak pernah mengalami kerusuhan pascapilkada.
”Tentu, dalam prosesnya, banyak riak-riak. Perang urat saraf antarcalon dan antarpendukung sudah biasa. Tetapi, setelah proses pilkada selesai, keadaan pasti kembali kondusif,” kata Jemmy.
Kendati begitu, kerusuhan pascapilkada sempat terjadi di Kepulauan Talaud karena bupati terpilih, Elly Lasut, dan wakilnya, Moktar Parapaga, yang memenangi Pilkada 2018 belum dilantik hingga kini. Jemmy mengatakan, itu diakibatkan masalah administratif.
Untuk mencegah kerawanan yang mungkin terjadi, kata Jemmy, Pemprov berkoordinasi dengan Polda Sulut serta penyelenggara pemilu. Pemprov akan mengucurkan dana hibah bagi aparat keamanan untuk menyokong keamanan selama gelaran Pilkada 2020.
Terkait potensi kerawanan ini, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abbast mengatakan, pihaknya menerima perkiraan kerawanan yang dibuat Polri sebagai imbauan. Namun, pengamanan pilkada di ketujuh daerah di Sulut akan sama ketat.
”Pilkada, kan, tidak hanya dilakukan di tiga daerah rawan itu. Kita tidak boleh menganggap enteng empat daerah lainnya. Jadi, pengamanan akan sama saja. Pastinya kami akan mengantisipasi kerawanan di daerah yang disebutkan Polri,” kata Jules.
Menurut Jules, ancaman selama pilkada sangat beragam, mulai dari ujaran kebencian, kampanye hitam luar jaringan ataupun dalam jaringan, ancaman terorisme, hingga kejahatan jalanan. ”Kalau satu daerah tidak aman, bagaimana kita bisa menyelenggarakan pilkada? Menyediakan rasa aman akan jadi sasaran utama kami dalam pengamanan,” katanya.
Saat ini, Polda Sulut belum menyusun rencana besar pengamanan. Jules mengatakan, rencana pengamanan akan disusun secara nasional dari Polri. Operasi yang biasanya dijalankan adalah Operasi Mantap Brata.