Industri Tekstil Nasional Masih Rapuh, Kalah Bersaing dengan Produk Impor
›
Industri Tekstil Nasional...
Iklan
Industri Tekstil Nasional Masih Rapuh, Kalah Bersaing dengan Produk Impor
Pertumbuhan sektor tekstil dan produksi tekstil pada 2019 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain. Namun, pertumbuhan tersebut lebih didorong oleh konsumsi kain dan pakaian jadi impor.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan sektor tekstil dan produksi tekstil pada 2019 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain. Namun, pertumbuhan tersebut lebih didorong oleh konsumsi kain dan pakaian jadi impor. Adapun produsen dan penjual produk tekstil lokal tetap merana karena omzet terus menurun.
Winata Permana, pemilik toko grosir Wina Kerudung, saat ditemui, Senin (24/2/2020), di pusat tekstil Thamrin City, Jakarta Pusat, mengatakan, omzet usahanya dalam beberapa tahun terakhir terus menurun. Winata memproduksi sendiri kerudung yang dijualnya.
”Mulai awal 2019 sampai tahun ini, gelondongan kain yang kami beli bisa lama enggak dijahit menjadi kerudung karena enggak ada permintaan. Sekarang, 1.000 gulung kain yang kami pesan baru habis diproduksi menjadi kerudung setelah tiga bulan. Padahal, pada 2017, jumlah segitu bisa habis diproduksi jadi kerudung dalam seminggu,” tuturnya.
Menurut Winata, omzet penjualannya terus menurun. Beberapa tahun lalu, omzet penjualannya bisa mencapai Rp 100 juta per minggu. Sekarang, mendapatkan omzet Rp 5 juta saja sulit.
”Dulu saya punya karyawan 12 penjahit masih kurang. Sekarang, saya tinggal punya satu karyawan saja. Sebelas orang lainnya sudah dirumahkan tahun lalu,” ungkapnya.
Menurut Winata, kondisi yang sama dialami banyak produsen produk tekstil lokal. Pedagang Toko Batik Genes di Thamrin City, Yoga, mengatakan, penjualan kain batik grosir yang ia produksi dari Solo, Jawa Tengah, cenderung turun.
Beberapa tahun terakhir, menurut dia, pelanggan mulai mengurangi frekuensi berbelanja. ”Dulu sebulan bisa jual 300-400 kodi, tetapi sekarang sebulan cuma bisa jual 200 kodi,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta yang dihubungi Kompas, Senin (24/2/2020), mengatakan, fundamental industri tekstil dan produksi tekstil lokal masih sangat rapuh meskipun produk domestik brutonya cukup tinggi.
Pada triwulan III-2019, industri tekstil dan produksi tekstil tumbuh sebesar 15,35 persen, paling tinggi dibandingkan dengan sektor lain.
”Industri tekstil nasional masih sangat rapuh. Pertumbuhannya lebih didorong oleh sisi konsumsi yang didominasi produk impor,” katanya.
Impor industri tekstil dan produksi tekstil pada 2019 mencapai 9,37 miliar dollar AS. Hampir 50 persen impor berupa kain dan pakaian jadi. Tingginya impor membuat neraca perdagangan sektor tekstil dan produksi tekstil negatif.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam siaran pers pada awal bulan ini mengatakan, industri tekstil dan pakaian menjadi satu dari lima sektor manufaktur yang menjadi prioritas dalam pengembangan peta jalan Making Indonesia 4.0.
”Pemanfaatan teknologi industri 4.0 akan mendorong peningkatan produktivitas sektor industri secara lebih efisien,” katanya.
Dalam peta jalan yang ditargetkan terpenuhi pada 2030, industri tekstil dan produk tekstil di hulu dan hilir diharapkan dapat menguat, meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan domestik dan ekspor, menjadi pemimpin inovasi pakaian fungsional, serta memperbaiki daya saing.
Salah satu bentuk pelaksanaan program tersebut adalah dengan memperbarui mesin atau peralatan produksi. Pada jenis industri pakaian jadi, misalnya, masih terdapat 226.854 mesin jahit berumur lebih dari 20 tahun.
Kondisi itu membuat utilitas alat produksi terus menurun. Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) antara tahun 2013 dan 2017, utilitas mesin jahit di industri pakaian jadi turun dari 73 persen ke 57 persen.