DPRD Kota Cirebon menggelar rapat dengar pendapat terkait rusaknya situs petilasan Sultan Matangaji akibat tergerus tanah pembangunan perumahan, Senin (24/2/2020) siang. Situs Bersejarah Cirebon belum terlindungi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — DPRD Kota Cirebon menggelar rapat dengar pendapat di kantor DPRD setempat terkait rusaknya situs petilasan Sultan Matangaji akibat tergerus tanah pembangunan perumahan, Senin (24/2/2020) siang. Di tengah komitmen Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat, membangun kota kreatif berbasis budaya dan sejarah, situs bersejarah justru belum terlindungi.
Pejabat dinas terkait, perwakilan Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, serta pemerhati budaya dan sejarah Cirebon hadir dalam rapat dengar pendapat itu. Belum adanya peraturan daerah terkait cagar budaya membuat sejumlah situs berubah bentuk, bahkan rusak.
Petilasan berupa tempat pertapaan dan sumur itu berada di dekat Sungai Blok Melangse, Kelurahan Karyamulya, Kecamatan Kesambi, sekitar 7 kilometer dari Balai Kota Cirebon. Situs itu merupakan bukti perjuangan Sultan Matangaji, Sultan Sepuh V Keraton Kasepuhan Cirebon sekitar abad ke-18. Di daerah itu, Sultan Matangaji bersembunyi sekaligus menyiapkan strategi melawan penjajah.
Namun, bulan lalu, situs tersebut dikabarkan tertimbun tanah dan pohon bambu. Subekti, yang mengaku pemilik lahan, membabat bambu dan menguruk lahan tersebut. Pengurukan lahan seluas 1.700 meter persegi yang dibeli sejak 2013 itu, menurut rencana, dijual kepada pengembang PT Dua Mata Sejahtera.
Januari lalu, pengembang membayar uang muka lahan yang belum punya sertifikat itu kepada Subekti. Namun, setelah pengurukan, longsoran tanah jatuh ke sungai. Pendangkalan pun terjadi di sungai selebar 4 meter itu. Akibatnya, banjir merendam sejumlah rumah.
”Kami akan berikan bantuan kepada warga terdampak banjir. Saya enggak tahu di sana ada situs. Seharusnya, kalau keraton merasa memiliki, situsnya harus dipelihara,” ujar aparatur sipil negara Inspektorat Kota Cirebon itu dalam rapat dengar pendapat.
H Didin, pemilik PT Dua Mata Sejahtera, mengatakan, pembangunan perumahan seluas 1,2 hektar tidak merusak petilasan Sultan Matangaji yang diduga situs. ”Jaraknya dengan perumahan kami 30-50 meter. Kalau ini menjadi polemik, kami akan batalkan pembelian tanah itu,” ujarnya.
Padahal, lahan itu, menurut rencana, untuk perluasan perumahan. Saat ini, pembangunan sekitar 40 rumah komersial dihentikan sementara karena belum memiliki izin mendirikan bangunan meski bangunan dan lampu jalan sudah berdiri.
”Kami sudah mengurus izin ini sejak 2019. Sebagai pengusaha, kami butuh kecepatan. Ini menjadi bahan evaluasi kami dan pengembang lainnya untuk investasi di Cirebon,” ungkapnya.
Sekretaris Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Adin Imaduddin mengatakan, petilasan Sultan Matangaji belum termasuk dalam 51 situs bersejarah. Ini berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon terkait cagar budaya pada 2001.
”Penetapan situs harus berdasarkan penelitian dan butuh anggaran. Kami juga baru punya Tim Ahli Cagar Budaya (TCAB) tahun ini. Kami segera berkoordinasi dengan Balai Arkeologi Jabar untuk menentukan status apakah itu (Matangaji) situs atau bukan,” katanya.
Pemerhati budaya Cirebon Jajat Sudrajat menilai kerusakan Situs Matangaji menunjukkan sikap tak acuh Pemkot Cirebon melindungi situs bersejarah. ”Situs di kota seluas 37 kilometer persegi ini di atas 100 situs. Pemkot Cirebon harus keluarkan uang pemeliharaan jika mengakui semua situs itu,” ujarnya.
Budayawan Cirebon Raffan S Hasyim mengatakan, Pemkot Cirebon seharusnya tidak perlu waktu lama meneliti keberadaan situs karena keraton telah punya catatannya. Ini dibuktikan dengan kehadiran kuncen yang bertugas memelihara situs keraton. Pemkot, katanya, tinggal menugaskan ahli untuk menerjemahkan naskah kuno di keraton terkait situs itu.
Kerusakan Situs Matangaji menunjukkan sikap tak acuh Pemkot Cirebon melindungi situs bersejarah.
”Bahkan, Situs Sultan Matangaji bisa menjadi daerah penjelajahan baru wisatawan terkait Goa Sunyaragi. Karena situs ini terhubung dengan Sunyaragi. Itu sebabnya, nama daerahnya blok Melangse yang artinya air terjun. Di balik air itu, Sultan Matangaji bersembunyi dan menyimpan senjata,” ujar Raffan.
Goa Sunyaragi selama ini menjadi salah satu destinasi wisata di Cirebon. Ratusan ribu wisatawan mengunjungi goa berupa batu cadas dan karang itu setiap tahun. ”Yang lebih menarik, goa itu terhubung dengan beberapa sungai. Pengaturan airnya luar biasa karena sekaligus menjadi tempat persembunyian dari penjajah,” katanya.
Ketua Umum Kendi Pertula, kelompok pemerhati sejarah di Cirebon, Mustaqim Asteja mengatakan, sekitar 40 persen dari 51 benda cagar budaya yang ditetapkan Pemkot Cirebon pada 2001 sudah berubah bentuk dan tidak sesuai peruntukannya semula. ”Draf peraturan daerah terkait cagar budaya sudah dibuat sejak 2012. Tetapi, perdanya belum ada sampai sekarang,” kata Mustaqim yang turut menyusun draf itu.
DPRD Kota Cirebon memberikan waktu satu bulan kepada Pemkot Cirebon untuk menuntaskan masalah tersebut.
Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon Mohamad Handarujati Kalamullah mengatakan, pihaknya pernah berupaya membuat perda terkait cagar budaya. ”Namun, setelah kami konsultasi dengan Pemprov Jabar dan kementerian terkait, kota dan kabupaten tidak punya wewenang membuat perda itu karena cakupannya luas. Kami akan dorong Pemprov Jabar membuatnya,” ungkapnya.
Terkait Situs Matangaji, DPRD Kota Cirebon memberikan waktu satu bulan kepada Pemkot Cirebon untuk menuntaskan masalah tersebut. Polemik situs tersebut, katanya, tidak sesuai dengan visi Wali Kota Cirebon, yakni mewujudkan kota kreatif berbasis budaya dan sejarah.