Kajian ilmiah oleh Ying Chen dari Institute of Genetics and Developmental Biology, Chinese Academy of Sciences, dan tim menyebutkan, individu dari semua ras manusia sama-sama rentan terhadap virus korona
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Virus korona baru SARS-CoV-2 telah menyebar di 33 negara hingga Senin (25/2/2020) pagi. Penyebaran wabah yang terus meluas di banyak negara ini sejalan dengan kajian terbaru yang menemukan bahwa secara genetis, semua variasi etnis atau kelompok populasi manusia di dunia ini rentan terinfeksi.
Kajian ilmiah oleh Ying Chen dari Institute of Genetics and Developmental Biology, Chinese Academy of Sciences, dan tim yang bisa diakses secara daring di preprint.org menyebutkan, individu dari semua ras manusia sama-sama rentan terhadap virus korona yang memicu radang pernapasan akut parah (SARS) ataupun korona baru, SARS-CoV-2 yang memicu Covid-19.
Chen menyebutkan, wabah virus korona yang berulang di China, yaitu SARS-CoV, pada 2002-2003 dan kerabatnya, SARS-CoV-2 yang mewabah sejak Desember 2019, telah memicu spekulasi bahwa orang Asia lebih rentan terhadap jenis virus ini. Oleh karena itu, dia dan tim menguji kemungkinan ini dengan ekspresi paru-paru ACE2, yang menyandikan reseptor entri sel SARS-CoV dan SARS-CoV-2.
”Kami menunjukkan bahwa ekspresi ACE2 tidak terpengaruh selama tumorigenesis, menunjukkan bahwa data dari lebih dari 1.000 sampel kanker paru-paru dari berbagai negara di The Cancer Genome Atlas (TCGA) dapat digunakan untuk mempelajari ekspresi ACE2 di antara orang tanpa kanker,” sebut Chen dan tim.
Secara genetis, semua variasi etnis atau kelompok populasi manusia di dunia ini rentan terinfeksi Virus korona baru SARS-CoV-2.
Dari kajian ini diketahui, orang Asia menunjukkan ekspresi ACE2 yang mirip dengan ras lain. Lebih jauh, frekuensi alel ACE2 pada orang Asia tidak menyimpang secara signifikan dibandingkan ras lain. ”Pengamatan ini menunjukkan bahwa individu dari semua ras membutuhkan tingkat perlindungan pribadi yang sama terhadap SARS-CoV ataupun SARS-CoV-2,” demikian kesimpulan kajian ini.
Dorong kesiapsiagaan
Ahli genetika populasi dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Supolo Sudoyo, yang tidak berpartisipasi dalam studi, menyebutkan, kajian Chen dan timnya ini telah menyanggah klaim kekebalan yang dipercaya sebagian orang Indonesia terhadap infeksi virus korona. Kajian ini harusnya juga bisa mendorong kesiapsiagaan semua negara.
Sebelumnya, klaim orang Indonesia kebal terhadap virus korona banyak beredar di sosial media. Spekulasi ini merebak karena belum adanya konfirmasi kasus infeksi di Indonesia, padahal sejumlah negara tetangga lain yang menerima kunjungan orang dari Wuhan, China, telah melaporkannya.
Kajian ahli epidemologi dari Harvard TH Chan School of Public Health, Amerika Serikat, Marc Lipsitch, dan tim di MedRxiv pada 5 Februari 2020, sebenarnya telah memperingatkan, tiadanya kasus infeksi korona di Indonesia kemungkinan karena adanya masalah dalam deteksi dini. Menurut kajian yang dilakukan dengan pemodelan matematika berdasarkan data intensitas kunjungan orang dari Wuhan ke Indonesia pada periode Januari sebelum penutupan penerbangan, Indonesia seharusnya sudah menemukan kasus infeksi korona.
Data terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah otoritas kesehatan dunia, virus baru korona ini telah menginfeksi 78.971 orang di 33 negara dengan korban tewas mencapai 2.468 jiwa. Iran yang baru saja menemukan adanya kasus infeksi pekan lalu telah melaporkan ada 8 korban meninggal dunia, yang merupakan jumlah kematian terbanyak di luar China.
Tingkat kematian rata-rata SARS-CoV-2 ini sejauh ini mencapai 2,3 persen. Adapun transmisi rata-ratanya sebesar 2-3 kali. Ini berarti satu orang yang terinfeksi kemungkinan bisa menularkan terhadap 2 hingga 3 orang lain.
Sejumlah otoritas kesehatan dunia menyebut, masa inkubasi virus ini berkisar 0-14 hari. Namun, laporan Pemerintah Provinsi Huebei pada 22 Februari lalu menyebut ada kasus orang yang mengalami inkubasi hingga 27 hari. Kajian yang dilaporkan di Journal of the American Medical Association (JAMA) pada 21 Februari juga menemukan ada lima kasus infeksi yang memiliki inkubasi hingga 19 hari.
Mulai Sabtu (22/2/2019), Pemerintah China memberlakukan aturan baru, seluruh pasien yang telah pulih dan keluar dari rumah sakit di China bakal dikirim ke tempat karantina dengan pengawasan medis selama 14 hari. Hal ini karena adanya temuan, orang yang telah dinyatakan sembuh ternyata masih bisa menularkan virus ini.