WNI Eks Timor Timur: Antara Asa dan Kenyataan
Warga eks Timor Timur di Nusa Tenggara Timur masih dibelit keprihatinan. Kesabaran mereka selama 20 tahun sejak pascapenentuan pendapat perlu dijawab dengan langkah konkret oleh pemerintah.
Dua dekade menjadi bagian Indonesia, nasib sebagian besar warga negara Indonesia (WNI) eks Timor Timur di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih jauh dari kata layak dan sejahtera. Beragam bantuan dan kebijakan dari pemerintah pusat maupun daerah belum mampu mengentaskan warga eks Timor Timur (Timtim) dari jerat kemiskinan.
Tak hanya akses ekonomi yang terbatas, warga eks Timor Timur juga mengalami ketidakpastian hukum atas tanah dan terbatasnya akses pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Narasi keprihatinan terhadap nasib WNI eks Timtim di NTT itu terekam dalam pemberitaan media baik cetak maupun elektronik hingga kini.
Di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, misalnya, hingga kini masih terdapat 52 keluarga atau 358 warga eks Timtim yang tinggal dan menetap dalam kondisi serba terbatas. Mereka tinggal di kamp pengungsian tersebut sejak 17 tahun lalu tanpa jaminan hidup layak dan kepastian masa depan.
Mereka juga hidup dalam ketidakpastian hukum hak atas tanah atau tidak memiliki sertifikat tanah. Masalah agraria masih menjadi persoalan klasik bagi sebagian besar WNI eks Timtim di NTT, dan belum terselesaikan hingga kini. Hak-hak mereka sebagai warga negara umumnya juga masih jauh dari yang diharapkan.
Dinamika kehidupan warga eks Timtim di Desa Oebelo tersebut juga dialami warga eks Timtin di wilayah lain di NTT, seperti di Kabupaten Belu. Kendati beragam bantuan dari pemerintah dikucurkan sejak 2002, warga eks Timtim masih berada dalam kondisi terbatas, baik menyangkut kepemilikan lahan, perumahan yang layak, maupun modal untuk berusaha.
Penanganan pengungsi
Keterbatasan warga eks Timtim di NTT tersebut tak lepas dari dinamika penanganan yang diambil pemerintah pascareferendum Timor Timur, 20 Agustus 1999. Saat itu ribuan warga Timor Timur langsung mengungsi ke Indonesia, terutama ke Timor bagian barat wilayah NTT.
Arus pengungsi melimpah ke NTT, terutama Kabupaten Belu, sejak 4 September hingga 19 Oktober 1999. Kabupaten Belu merupakan wilayah terdekat dan berbatasan langsung dengan tepi barat Timtim.
Pengungsi Timtim di NTT saat itu jumlahnya 284.000 jiwa. Mereka tersebar di 15 tempat penampungan di Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Kupang. Kehadiran para pengungsi itu tentu menambah beban sosial, ekonomi, dan keamanan bagi penduduk lokal, yang sudah hidup menderita.
Selama kurang lebih tiga tahun (1999-2002), pemerintah menangani pengungsi Timtim dengan skema emergency response, menitikberatkan pada pembagian bantuan kemanusiaan. Namun, hak-hak pengungsi tersebut berakhir pada 2002 saat Pemerintah Indonesia mengumumkan berakhirnya status pengungsi per 31 Desember 2002.
Adapun Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mendeklarasikan cessation of status (penghapusan status) pengungsi Timtim yang ada di Indonesia pada 22 Desember 2002.
Penanganan pengungsi selanjutnya dilakukan pemerintah pusat dan daerah serta dukungan lembaga dan masyarakat internasional. Ada tiga pola kebijakan nasional penanganan pengungsi Timtim saat itu, yaitu repatriasi, relokasi, dan pemberdayaan.
Repatriasi atau pemulangan kembali dilakukan untuk memberikan opsi bagi pengungsi untuk memilih menjadi WNI atau kembali menjadi warga negara Timor Leste. Saat itu repatriasi bagi pengungsi Timtim dianggap sebagai pilihan yang penuh risiko. Juga tidak menjamin pengungsi dapat hidup lebih baik di tanah asalnya.
Meski demikian, program repatriasi yang dilaksanakan sejak Juni 2001 sampai dengan 31 Desember 2005 berhasil memulangkan kembali 18.530 keluarga atau 55.421 jiwa warga pengungsi eks Timtim kembali ke Timor Leste.
Relokasi
Program kedua adalah relokasi yang dibagi menjadi resettlement atau pemukiman kembali dan transmigrasi. Program pemukiman kembali berupa bantuan untuk menempati permukiman di atas lahan pemerintah. Pengungsi eks Timor Timur yang telah mendapat rumah tinggal melalui program pemukiman kembali kemudian disebut sebagai ”warga baru”.
Sementara itu, sebagian pengungsi diberi jalan keluar oleh pemerintah dengan mengikuti program transmigrasi di luar NTT. Hanya sebagian kecil dari pengungsi yang kemudian mampu membeli atau menyewa lahan sendiri untuk membangun tempat tinggal.
Sejak tahun 1999 sampai 2005, program pemukiman kembali berhasil membangun sebanyak 17.230 unit resettlement yang ditempati 7.490 keluarga warga pengungsi eks Timtim. Di samping itu, ada 9.740 keluarga warga lokal yang mendapat bantuan rumah melalui program resettlement ini.
Adapun program transmigrasi selama lima tahun berhasil menempatkan 493 keluarga atau 1.854 jiwa warga pengungsi eks Timtim sebagai transmigran pada lokasi-lokasi transmigrasi, seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Maluku Utara.
Pemberdayaan
”Warga baru” juga mendapat bantuan program pemberdayaan, seperti pemberian dana Kelompok Usaha Bersama (Kube) dan Usaha Ekonomi Produktif, bantuan sarana dan prasarana permukiman, serta alat pertanian. Juga program pemberdayaan lainnya yang dilaksanakan pemerintah daerah, PBB, dan lembaga swadaya masyarakat.
Selain ketiga program tersebut, WNI eks Timtim di NTT juga diberi bantuan berupa lauk pauk dan beras, bantuan jaminan hidup bagi 2.510 keluarga, bantuan bahan bangunan rumah bagi 2.571 keluarga, dan bantuan terminasi bagi 2.090 keluarga.
Kehadiran ”warga baru” yang mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah dan lembaga memunculkan kecemburuan sosial pada warga lokal. Oleh karena itu, pada tahun 2006 pemerintah mengalokasikan bantuan bagi kedua kelompok masyarakat tersebut untuk meminimalkan terjadinya kecemburuan sosial dan kesan diskriminasi.
Program yang disebut bantuan Keserasian Sosial ini dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Jenis dan jumlah bantuan disediakan untuk korban bencana sosial dan bantuan untuk warga lokal. Korban bencana sosial (non-PNS/TNI/Polri) diberi bantuan Rp 4 juta per keluarga di delapan kabupaten/kota untuk 4.550 keluarga.
Sementara itu, bantuan untuk warga lokal dibagikan kepada warga di setiap desa atau kelurahan. Total dana bantuan diberikan kepada 125 kelompok masyarakat yang tersebar di delapan kabupaten/kota.
Pemerintah juga membuat kegiatan bagi warga pengungsi eks Timtim yang masih menghuni kamp di wilayah Timor Barat dengan membangun rumah bagi 5.000 keluarga. Program ini dilaksanakan pada tahun 2006 sampai 2007.
Perhatian pemerintah tidak hanya bagi warga Timor Timur yang berada di NTT. Melalui Perpres Nomor 25 Tahun 2016, pemerintah juga memberikan dana kompensasi sebesar Rp 10 juta per keluarga kepada WNI eks Timtim yang berdomisili di luar Provinsi NTT.
Pemberian kompensasi bagi 20.800 keluarga ini dilakukan dengan pendekatan pola bantuan langsung masyarakat (BLM) yang menitikberatkan pada cash transfer. Kompensasi tersebut merupakan pemberian terakhir yang bersifat ”final”, diberikan satu kali, dan tidak ada lagi tuntutan apa pun kepada pemerintah.
Legalitas tanah
Kendati selama 18 tahun beragam bantuan telah dikucurkan pemerintah, hingga saat ini kehidupan sebagian besar warga eks Timtim di NTT masih jauh dari hidup sejahtera. Mereka juga masih mengalami keadaan yang tidak menentu. Hak-hak mereka sebagai warga negara masih jauh dari terpenuhi.
Dari penelusuran media, salah satu persoalan utama yang dihadapi WNI eks Timtim di NTT adalah hak atas tanah (sertifikat). Ratusan warga eks Timtim yang tinggal di tempat pemukiman kembali masih dihadapkan pada persoalan legalitas tanah sejak direlokasi akhir 2003 hingga saat ini.
Sebagian warga eks Timor Timur masih dihantui perasaan waswas. Hingga kini status tanah pekarangan rumah dan lahan pertanian yang digarap puluhan tahun lebih belum ada kejelasan statusnya.
Sudah sejak 2015 mereka terus memperjuangkan hak atas tanah bagi warga eks Timtim. Namun, hingga kini usaha tersebut belum menemukan titik terang. Terakhir, pada Februari tahun lalu, mereka melaporkan ”mandeknya” sertifikasi lahan tersebut kepada Ombudsman RI Perwakilan NTT.
Kegagalan pemerintah mengusahakan lahan bagi eks pengungsi tentu membawa keprihatinan baru bagi warga eks Timtim. Khususnya mereka yang masih tinggal di kamp-kamp di atas lahan milik pemerintah, lahan milik TNI AD, dan tanah milik warga lokal. Dalam perspektif ekonomi politik, ketiadaan akses terhadap tanah berhubungan erat dengan kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Kemiskinan
Dalam konteks inilah mereka tetap bergelut dalam kubangan kemiskinan akut. Kehidupan mereka menjadi sangat sulit. Bukan hanya persoalan ekonomi semata, melainkan juga persoalan kesejahteraan dengan segala turunan masalahnya, seperti rendahnya kualitas hidup, termasuk kesehatan dan pendidikan.
Kesulitan tersebut tampak semakin parah terutama pada mereka yang hingga kini masih tinggal di sejumlah lokasi pengungsian di NTT. Di lokasi tersebut bangunan tampak sangat sederhana, beratap daun gewang, dan berpelepah gewang (sejenis palem Timor), jalan tanah, dan tidak ada drainase.
Warga eks Timtim ini semakin sulit untuk menyiasati hidup terutama ketika lahan untuk bercocok tanam, yang awalnya dipinjamkan warga lokal, sudah diminta kembali oleh mereka.
Di sisi lain, mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan lain. Tidak hanya harus bersaing dengan warga lokal, keterbatasan SDM juga menjadi kendala bagi warga eks Timtim.
Kemiskinan yang mendera pengungsi, ketiadaan tanah sebagai hak milik, dan rata-rata bekerja sebagai buruh tani pada akhirnya berdampak pada banyak anak yang putus sekolah, hingga jarang mengenyam pendidikan tinggi. Anak laki-laki pengungsi menjadi buruh migran. Para perempuan pengungsi bekerja serabutan.
Padahal, bagi sebagian besar warga eks Timtim, Pemerintah Indonesia diyakini akan memberikan perlindungan dan kesejahteraan. Namun, kenyataannya, impian dan harapan mereka masih jauh panggang dari api.
Sebagai informasi, berdasarkan data Kementerian Perumahan Rakyat, 2016, sebagian besar pengungsi, yaitu 70.453 orang, tinggal di Kabupaten Belu, NTT. Disusul 11.176 orang di Timor Tengah Utara dan 11.360 orang di Kupang. Total pengungsi berjumlah 104.436 orang.
Jalan keluar
Sejumlah langkah nyata perlu dilakukan pemerintah untuk mengangkat kembali harkat dan martabat WNI eks Timor Timur. Kesulitan hidup dan kesabaran mereka selama 20 tahun sejak pascapenentuan pendapat perlu dijawab dengan langkah konkret. Salah satu dengan memulihkan akses ekonomi bagi mereka agar bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.
Soal akses tanah, pemerintah perlu mencari solusi alternatif agar warga eks Timtim mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan hak milik tanah. Hal lain yang bisa dilakukan antara lain melalui program pembangunan jalan raya, transmigrasi lokal, asistensi keterampilan, alat, dan modal usaha.
Pemberian beasiswa atau subsidi khusus untuk pendidikan anak-anak eks Timor Timur juga bisa menjadi pilihan strategis sebagai ”pembuka” jalan bagi mereka untuk meretas masa depan yang jauh lebih baik dan berkualitas. (LITBANG KOMPAS)