Kapitan China dan Nyonya Bali Mengendalikan Banjir Batavia
Di zaman VOC, Kapitan China Phoa Bing Ham dan istrinya yang asal Bali membangun sejumlah kanal untuk antisipasi banjir di Batavia. Belajar dari mereka, dengan rekayasa teknik tepat, banjir di Jakarta bisa diatasi.
Pada tahun 1600-an di zaman VOC, sudah dirancang penanganan banjir dengan pembangunan kanal di kota Batavia. Perintis pembangunan kanal pertama adalah seorang swasta, yakni Kapitan China Phoa Beng Ham (1615-1665) yang membuka sejumlah jalur kanal di Batavia.
Phoa Beng Ham yang beristrikan seorang perempuan Bali menggantikan kedudukan Souw Beng Kong (1580-1644), kapitan China pertama di Batavia yang memimpin komunitas Tionghoa di kota Batavia, cikal bakal DKI Jakarta saat ini.
Saat itu, suhu udara Batavia lebih dingin 2-3 derajat celsius dibandingkan saat ini. Namun, kematian karena penyakit rawa, disebut karena ”udara jahat” dan demam yang sekarang dikenal sebagai malaria, infeksi dengue atau DBD, menjadi momok bagi seluruh penghuni Batavia.
Dalam buku Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 10, dituliskan bahwa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen harus membangun saluran air bagi kota Batavia yang memiliki topografi rawa-rawa dengan aliran 14 sungai—mirip kota Amsterdam—agar tidak terendam banjir pada musim hujan dan menjadi sarang nyamuk. Lalu lintas sungai menjadi salah satu urat nadi transportasi kota ketika itu.
Seperti di Amsterdam dan kota–kota lain di negeri Belanda yang dibangun di dataran rendah, bahkan banyak tempat berada di bawah permukaan laut, keberadaan kanal, waduk, dan rumah pompa menjadi jawaban untuk pengendalian dan antisipasi banjir.
Pengendalian air di sebuah negara dataran rendah bukan perkara main-main. Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam dalam satu kesempatan bercerita kepada Kompas, posisi pejabat nomor dua sesudah perdana menteri di Belanda adalah pejabat yang mengatur urusan air sebagai hidup mati bangsa Belanda yang tinggal di dataran rendah dan bahkan di bawah permukaan laut.
Baca juga : Warga Persoalkan Perawatan Saluran Air
Praktis kemampuan manajemen air dan pengendalian banjir itu dibawa Belanda ke negeri-negeri lain, seperti London di Inggris, Bangkok dan Ayutthaya di Thailand, di Jepang, dan Manhattan di New York, Amerika Serikat. Bahkan rekonstruksi kota New Orleans, AS, setelah dihancurkan banjir akibat topan Katrina pun melibatkan para teknisi Belanda.
Amsterdam dan Batavia
Seperti halnya Amsterdam, pengendalian banjir dan transportasi pun dilakukan dengan membangun kanal di kota Batavia. Ketika itu, ketua komunitas masyarakat China pada tahun 1648 yang dipimpin Kapitan Phoa Beng Gam memulai pembangunan sejumlah kanal penting untuk mengendalikan banjir dan transportasi.
Kapitan Phoa kemudian menggalang dana dari Gong Goan atau Kamar Dagang Tionghoa dan masyarakat Tiongkok untuk membangun saluran udara agar rawa-rawa di sekitar Batavia dapat dikeringkan. Gedung eks Gong Goan tersebut kemudian dimiliki Kapitan China Nie Hoe Kong yang dibuang VOC ke Ambon.
Selanjutnya, bangunan bersejarah tempat pengumpulan dana pembangunan Kanal Batavia tersebut dimiliki konglomerasi Kian Gwan Concern milik Oei Tiong Ham asal Semarang yang dijuluki sebagai ”Rockefeller dari Asia”. Akhirnya, kini gedung tersebut dimiliki keturunan Oei Tiong Ham, yakni Anhar Setijadibrata, yang memiliki kelompok usaha hotel dan restoran mewah Tugu.
Dari pengumpulan dana oleh pihak swasta tersebut, berhasil dibangun sejumlah kanal penting di Batavia yang mengular dari Kota Tua di kawasan Glodok, Gajah Mada, hingga Tanah Abang di selatan. Kanal-kanal tersebut mulai dari Tijger Gracht atau Kali Besar, Bing Ham Grach atau Molenvliet Kanal yang sekarang merupakan sodetan Ciliwung di antara Harmoni yang diapit Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, hingga ke arah Kota Tua serta ke perkebunan tebu dan pabrik gula di Tanah Abang yang kini menjadi saluran air di sepanjang Jalan Tanah Abang Timur.
Pada periode yang sama, dibangun tiga kanal utama kota Amsterdam, yakni Kanal Herengracht, Prinsengracht, dan Keizersgracht, yang sekarang masih digunakan dalam pengendalian air, transportasi, dan pariwisata Amsterdam.
Pembangunan kanal di Batavia itu berlangsung semasa gubernur jenderal VOC dijabat Cornelis van der Lijn, Carel Reyniersz, dan Joan Maetsuycker.
Baca juga : Kebanjiran, 3.565 Warga DKI Jakarta Mengungsi
Pembangunan saluran pun dimulai dari wilayah depan yang sekarang dikenal sebagai perempatan Harmoni ke arah Jalan Alaydrus ke Gang Ketapang. Akhirnya rawa-rawa berhasil dikeringkan dan tanah ini cocok untuk bertani dan kanal yang ada menjadi lalu lintas perahu dan rakit.
Lalu lintas berubah bergantung pada musim sehingga saat kemarau panjang tiba, lalu lintas air menjadi sulit dan perdagangan yang membutuhkan lalu lintas sungai ikut kesulitan. Kapitan Phoa kembali memutar otak dan menjelajahi daerah Ommelanden—tembok luar kota Batavia ke arah selatan.
Phoa Bing Ham pergi ke arah Pejambon dan mendapati bagian alur Ciliwung yang lebar dan deras. Dibangunlah kanal terhubung wilayah Pejambon, kelak menjadi Benteng Frederik Hendrik yang sekarang dibangun menjadi Masjid Istiqlal ke Jalan Veteran dan Harmoni. Atas jasanya, Kompeni memberikan hadiah wilayah Tanah Abang kepada Kapitan China Phoa Beng Gam.
Banyak lio—tempat membangun batu bata dan genteng—dibangun di sepanjang Tanah Abang hingga Kota. Alhasil, lokasi ini dikenal sebagai Krukut Lio dan Pekapuran. Dia juga membangun rumah sakit untuk masyarakat Tionghoa di Pejagalan dekat Jalan Roa Malaka dewasa ini, sedangkan VOC membangun pabrik mesiu di kawasan Lindeteves.
Gamelan peresmian kanal
Peresmian Kanal Harimau atau Tijger Gracht berlangsung meriah. Gamelan Harimau dan replika kapal dari kayu jati dengan bentuk kepala harimau di haluan dipajang dalam peresmian di hadapan gubernur jenderal VOC.
Ketika Kapitan Phoa meninggal tahun 1665, proyek-proyek pembangunan kanal untuk pengendalian banjir dan transportasi tersebut diteruskan oleh istrinya, seorang perempuan Bali yang namanya dilupakan sejarah.
Kondisi alam kota Batavia di dataran rendah dan kini mengalami turunnya permukaan tanah dapat diantisipasi dengan rekayasa teknik pembangunan bendungan, kanal, polder, dan rumah pompa yang terintegrasi seperti di kota-kota besar dunia lainnya.
Direktur Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) Shinichi Yamanaka yang ditemui penulis, Senin (24/2/2020), mengatakan, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait rekayasa teknik pengendalian banjir tersebut.
Dalam kesempatan lain, sesepuh alumni Delft Technical University, Belanda, Sawarendro, menerangkan, keberadaan kanal, polder, dan rumah pompa yang saling terintegrasi di bawah manajemen yang baik dapat menjawab persoalan ancaman banjir.
Keberadaan proyek Ijsel Meer, yakni tanggul laut Isjel di Belanda—berbatasan dengan Laut Utara yang ganas ombaknya—yang dibangun pascabanjir besar di Belanda tahun 1957 membuktikan bahwa teknik pengairan, tanggul, reklamasi, dan jejaring saluran air serta rumah pompa yang dikelola dengan baik dapat mengantisipasi ancaman banjir.
Belajar dari kerja keras Kapitan China Phoa Bing Ham dan istrinya yang berasal dari Bali, teknik dan antisipasi banjir yang dilakukan dengan cermat dapat menyelamatkan Jakarta. Kota Jakarta tidak dibangun awalnya dengan model Belanda, negeri yang sepertiga wilayahnya di bawah permukaan laut.