Mahfud MD Minta Tak Ada Lagi Main-main di Bawah Meja
›
Mahfud MD Minta Tak Ada Lagi...
Iklan
Mahfud MD Minta Tak Ada Lagi Main-main di Bawah Meja
Sistem Database Penanganan Perkara Tindak Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi diharapkan membuat penanganan perkara pidana lebih transparan. Persoalannya, dalam penerapannya, ada sejumlah kendala. Apa saja?
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem Database Penanganan Perkara Tindak Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi diharapkan mampu membuat penanganan perkara pidana oleh aparat penegak hukum lebih transparan.
Hanya saja, sejak sistem itu dirintis tahun 2016, banyak kendala ditemui. Salah satunya, belum semua instansi memasukkan perkembangan penanganan perkara ke dalam sistem.
Sistem Database Penanganan Perkara Tindak Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) dibuat oleh Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) pada 2016.
Sejak sistem dibuat, Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, serta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diminta melaporkan penanganan perkara pidana di instansi masing-masing ke dalam sistem.
Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dalam acara sosialisasi pelaksanaan SPPT-TI, di Jakarta, Selasa (25/2/2020), mendorong agar pemanfaatan teknologi informasi tersebut terus dikembangkan.
”(Supaya) tidak main-main di bawah meja dan cepat. Sebab, kadang kala ada perkara sudah diputus, tapi masih simpang siur di bawah. Kalau berbasis teknologi informasi, tinggal klik dari komputer masing-masing, sampai mana prosesnya, vonisnya apa, hakimnya siapa,” tutur Mahfud.
Hingga 2019, sebanyak 509.350 data perkara pidana telah masuk ke dalam sistem. Sekalipun terlihat sudah banyak data perkara yang masuk, ternyata belum semuanya dimasukkan oleh instansi-instansi tersebut. Padahal, harapannya, seluruh perkara dimasukkan ke dalam sistem.
Penyebab dari persoalan ini antara lain setiap instansi telah membuat aplikasi sendiri. Penyebab lain, sarana dan prasarana belum mendukung. Selain itu, adanya ketidakseragaman bentuk untuk data masuk karena minimnya pengawasan di setiap instansi.
Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas Prahesti Pandanwangi mengatakan, selama ini tidak ada instrumen yang memadai bagi publik untuk memantau penanganan perkara pidana. Sejauh ini, kalaupun sudah ada ratusan ribu data perkara pidana yang masuk ke dalam sistem, pihaknya masih mengkaji tepat atau tidak bagi publik untuk melihatnya.
”Namun, pertanyaannya, apakah data tersebut dapat digunakan masyarakat? Kemudian, kita harus melihat kualitas datanya juga,” lanjutnya.
Dia tak menampik bahwa salah satu problem yang muncul dari penerapan sistem tersebut adalah setiap instansi telah memiliki sistem sendiri. Untuk itu, akan dibangun agar antarsistem terbangun koneksi dengan SPPT-TI.
Terkait jenis data dari setiap instansi yang tidak seragam, hal tersebut diakuinya masih menjadi problem. Tak sebatas itu, ketepatan waktu pengiriman data masih jadi persoalan. Pasalnya, seharusnya, data sudah terkirim ke sistem maksimal dalam tiga hari.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Adrianus Eliasta Meliala, menyebutkan, keinginan untuk membuat sistem yang dapat melihat proses penanganan perkara pidana dari awal hingga akhir bukan perkara mudah. Salah satu yang disorotinya adalah kemauan dari setiap instansi untuk menyerahkan datanya.
”Proyek yang dibuat sampai saat ini ada di tahap awal, yakni agar setiap pihak mau bertukar data dan saling terhubung. Masih banyak aparat yang tidak mau memasukkan data. Jangan-jangan itu mau disalahgunakan,” tuturnya.
Menurut Adrianus, kalau sistem tersebut berhasil terbentuk, dengan sendirinya sistem yang bersifat parsial yang kini dibangun oleh setiap instansi akan ditinggalkan. Ombudsman pun berjanji akan mengawal pengembangan sistem tersebut.