Penghentian Penyelidikan Tidak Perlu Dipublikasikan
›
Penghentian Penyelidikan Tidak...
Iklan
Penghentian Penyelidikan Tidak Perlu Dipublikasikan
Penghentian penyelidikan merupakan prosedur yang wajar dilakukan di KPK dan seharusnya tak perlu dipublikasikan. UU KPK mengamanatkan, publikasi dilakukan untuk penghentian penyidikan dan penuntutan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO dan RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghentian penyelidikan terhadap 36 perkara yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya tidak perlu dipublikasikan sehingga menjadi polemik di masyarakat. Penghentian penyelidikan adalah hal biasa dan menjadi bagian dari prosedur di KPK.
Sebelumnya, pada Kamis (20/2/2020), KPK menghentikan 36 perkara yang masih dalam tahap penyelidikan. Alasannya, perkara tersebut tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan (Kompas, 21/2/2020).
Penghentian penyelidikan tersebut akhirnya menjadi polemik di masyarakat. Lantas, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, penyelidikan 36 kasus yang telah dihentikan dapat dibuka kembali ketika ada laporan dari masyarakat (Kompas,22/2/2020).
Penghentian penyelidikan sesungguhnya hal yang biasa terjadi di KPK. Namun, penghentian penyelidikan tersebut tidak dipublikasikan pada kepemimpinan KPK sebelumnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, penyelidikan adalah informasi yang tertutup berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sehingga tidak perlu dipublikasikan.
”Kita tidak melihat urgensi dari pengumuman penghentian penyelidikan, selain hanya mencari sensasi,” ujar Kurnia melalui pesan singkat di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Publikasi penghentian penyelidikan akhirnya membuat masyarakat menjadi berasumsi bahwa KPK sedang mengalihkan isu karena ada tersangka berstatus daftar pencarian orang (DPO) yang belum tertangkap. Asumsi tersebut bisa muncul karena saat ini KPK terlihat tidak serius mencari buronan seperti Harun Masiku dan Nurhadi.
Berdasarkan Pasal 40 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa publikasi kepada publik oleh KPK harus dilakukan pada penghentian penyidikan dan penuntutan. Alhasil, penghentian penyelidikan tidak perlu dilakukan publikasi.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, penghentian penyelidikan pernah dilakukan KPK sebelumnya, tetapi tidak dipublikasikan. Ia tidak menyangka jika publikasi penghentian penyelidikan ini menjadi ramai dibicarakan di masyarakat.
Nawawi pun heran ketika hal tersebut menjadi lebih ramai dibicarakan masyarakat daripada informasi penyelidikan perkara yang meningkat ke arah penyidikan dalam dua bulan terakhir yang jumlahnya mencapai lebih dari 20.
Ia menjelaskan, KPK tidak ada rencana melakukan publikasi tersebut. ”Itu hanya disampaikan pimpinan ke internal ketika ada kegiatan pertemuan pimpinan dengan seluruh pegawai,” kata Nawawi.
Adapun kasus-kasus yang telah dihentikan dalam proses penyelidikan tidak dapat dipublikasikan karena tidak ditemukan alat bukti yang diselidiki. Penghentian penyelidikan berbeda dengan penghentian penyidikan yang harus dibuka kepada publik.
Bukan ukuran kinerja
Anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, mengatakan, tidak semua kasus yang diselidiki KPK bisa ditingkatkan menjadi penyidikan. Penghentian penyelidikan adalah hal biasa. Hal itu merupakan bagian dari prosedur ketika tidak cukup bukti.
Senada dengan Syamsuddin Haris, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan, hal tersebut seharusnya tidak serta-merta digunakan sebagai ukuran untuk menilai kinerja pimpinan KPK saat ini tidak baik. Sebab, berdasarkan informasi yang ia peroleh, pimpinan periode lalu juga pernah menghentikan 162 penyelidikan kasus.
”Apa masalahnya dengan itu. Itu kan baru penyelidikan. Sebab penyidikan saja bisa dihentikan dengan SP3 (surat penghentian penyidikan perkara). Jadi, kita harus membangun cara berpikir yang benar bahwa ketika ada penegak hukum melakukan penyelidikan, tidak harus berujung pada penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Penyelidikan itu kan tindakan penyelidik untuk menemukan kejadian yang dilaporkan atau diinformasikan itu merupakan tindak pidana,” katanya.
Karena tugasnya menyelidiki, ada kemungkinan penyelidik itu tidak menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan suatu tindak pidana terjadi sehingga harus diteruskan ke penyidikan. Sekalipun ditemukan bukti permulaan, peristiwa itu juga belum tentu tindak pidana.
Menurut Arsul, isu penghentian penyelidikan ini menjadi ramai di khalayak karena kepentingan tertentu untuk menjatuhkan kredibilitas pimpinan KPK saat ini. Sebab, penghentian penyelidikan oleh KPK bukan saja terjadi di periode pimpinan yang sekarang.
”Padahal, periode sebelumnya, selama 3-4 tahun, ada 162 kasus dalam tahap penyelidikan yang dihentikan, dan saat itu tidak ada yang ribut. Saya melihat ini menjadi bahan ’gorengan’ karena kebetulan ada elemen masyarakat sipil yang distrust-nya tinggi kalaupun tidak mau dibilang tidak ada kepada pimpinan KPK sehingga isu ini digunakan untuk mendegradasi pimpinan KPK yang sekarang. Kita harus tetap kritis kepada pimpinan KPK, tetapi jangan seolah-olah isu ini dipakai untuk menjatuhkan pimpinan KPK yang sekarang,” ujarnya.