Peta Kelenjar Timus untuk Terapi Kanker dan Autoimun
›
Peta Kelenjar Timus untuk...
Iklan
Peta Kelenjar Timus untuk Terapi Kanker dan Autoimun
Kanker diperkirakan jadi penyebab kematian nomor satu di dunia akhir abad ini. Peneliti antaruniversitas di Inggris dan Belgia memetakan jaringan kelenjar timus. Ini buka jalan pada terapi kanker dan penyakit autoimun.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Kerja sama para peneliti dari Institut Wellcome Sanger dan Universitas Newcastle, Inggris, serta Universitas Ghent, Belgia, berhasil memetakan jaringan kelenjar timus yang membuka jalan pada terapi kanker dan penyakit autoimun. Pemahaman tentang bagaimana kelenjar itu berkembang dan memproduksi sel-sel kekebalan tubuh yang disebut sel T membantu peneliti untuk membuat kelenjar timus buatan dan merekayasa sel T untuk keperluan pengobatan.
Kelenjar timus terletak di rongga dada, yakni di antara paru, di belakang tulang dada. Ukuran kelenjar timus berubah seiring usia. Pada anak-anak dan remaja, kelenjar timus lebih aktif dan ukurannya lebih besar. Memasuki usia dewasa, kelenjar ini makin mengecil dan pada usia lanjut akan menghilang menjadi jaringan lemak.
Kelenjar ini berfungsi menghasilkan sel T atau limfosit T, yakni sel darah putih yang penting untuk melawan infeksi dan penyakit. Sel-sel T kemudian beredar ke seluruh jaringan tubuh lewat darah sambil berproses menjadi matang. Sel T bertugas membunuh bakteri dan virus serta mengenali sel kanker dan menghancurkannya. Sel ini dibantu sel darah putih lain, yakni limfosit B, yang diproduksi sumsum tulang belakang. Selain memproduksi sel T, kelenjar timus juga memproduksi hormon thymosin yang bertugas menunjang kerja sel T melawan infeksi dan sel kanker. Beberapa jenis hormon, seperti insulin dan melatonin (hormon pengatur tidur), juga diproduksi kelenjar timus dalam jumlah sedikit.
Masalah yang terjadi pada pertumbuhan timus menyebabkan produksi sel T yang cacat. Akibatnya, timbul defisiensi imun yang parah (severe combined immunodeficiency/SCID), kelompok penyakit langka akibat mutasi gen yang berperan dalam pertumbuhan dan fungsi sel imun sehingga orang rentan terhadap infeksi. Hal itu juga dapat memengaruhi sel T yang mengakibatkan penyakit autoimun, seperti diabetes tipe 1.
Peta kelenjar timus yang dimuat di jurnal Science, 20 Februari 2020, mengungkapkan, sel jenis baru dan mengidentifikasi sinyal yang mengarahkan sel imun muda untuk berkembang menjadi sel T. Peta ini membantu ilmuwan memahami penyakit yang memengaruhi perkembangan sel T.
Para peneliti mengisolasi dan menganalisis sekitar 200.000 sel dari timus yang sedang berkembang, jaringan timus anak dan dewasa. Mereka mempelajari gen yang aktif pada setiap sel individu untuk mengidentifikasi sel, menemukan sel jenis baru, dan menggunakan gen tersebut sebagai penanda untuk memetakan setiap sel ke lokasi yang tepat di kelenjar timus.
”Kami menghasilkan peta timus manusia untuk memahami apa yang terjadi pada timus sehat di sepanjang usia kita, dari pertumbuhan awal hingga dewasa, dan bagaimana memberikan lingkungan ideal untuk mendukung pembentukan sel T. Hal ini memungkinkan para peneliti untuk memahami perkembangan sistem imun dalam melindungi tubuh kita,” kata Jongeun Park, peneliti dari Institut Wellcome Sanger Institute, seperti dikutip Science Daily, Kamis (20/2/2020).
Sel T terapeutik saat ini sudah dimanfaatkan untuk mengobati limfoma (kanker) sel B dan leukemia. Kesulitan utama dalam upaya ini adalah membuat subtipe sel T yang tepat.
Menurut Prof Muzlifah Haniffa dari Universitas Newcastle dan klinisi senior pada Institut Wellcome Sanger, peta timus mengungkap sinyal sel timus yang sedang berkembang, dan gen mana yang perlu diaktifkan untuk mengubah sel-sel imun muda menjadi sel T. Peta ini dapat digunakan sebagai referensi untuk merekayasa sel T di luar tubuh dengan sifat yang tepat untuk menyerang dan membunuh kanker tertentu.
Sebelumnya, para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Yale, Amerika Serikat, mendapatkan sejenis hormon dari kelenjar timus mampu memperpanjang usia tikus percobaan hingga 40 persen. Peningkatan kadar hormon yang disebut FGF21 mampu mencegah berkurangnya fungsi imun seiring pertambahan usia. Temuan yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, 11 Januari 2016, itu berguna untuk mendapatkan terapi buat meningkatkan kekebalan tubuh orang lanjut usia, mengatasi obesitas, kanker, dan diabetes tipe-2.
Seorang perawat mengumpulkan sampel darah menggunakan glucometer dalam pengecekan darah gratis pada Hari Kesehatan Dunia di Hyderabad, India, 17 April 2016. Jumlah pengidap diabetes meningkat pada orang di atas usia 35 tahun. Selain akibat gaya hidup yang salah, hal ini juga akibat mengecilnya kelenjar timus sehingga produksi hormon metabolisme untuk meningkatkan sensitivitas insulin makin berkurang.
Seiring pertambahan usia, kelenjar timus menjadi berlemak dan kehilangan kemampuan menghasilkan sel T. Tidak adanya sel T baru ini meningkatkan risiko infeksi dan kanker pada orang lanjut usia.
FGF21 adalah hormon metabolisme yang meningkatkan sensitivitas insulin. Zat ini juga diproduksi di hati sebagai hormon endokrin. Kadarnya meningkat ketika kalori dibatasi. Tujuannya, saat kadar glukosa rendah, lemak tubuh akan dibakar. Hormon ini sedang diteliti untuk mengatasi obesitas dan diabetes tipe 2.
Meningkatkan kadar FGF21 pada orang tua atau pasien kanker yang menjalani transplantasi sumsum tulang dapat menjadi strategi tambahan untuk meningkatkan produksi sel T dan meningkatkan fungsi imun.
”Kami menemukan, kadar FGF21 dalam sel epitel timus beberapa kali lipat lebih tinggi daripada di hati. Dalam timus, FGF21 berfungsi meningkatkan produksi sel T,” kata Vishwa Deep Dixit, Guru Besar Kedokteran Komparatif dan Imunobiologi Universitas Yale, yang menjadi ketua tim peneliti. ”Meningkatkan kadar FGF21 pada orang tua atau pasien kanker yang menjalani transplantasi sumsum tulang dapat menjadi strategi tambahan untuk meningkatkan produksi sel T dan meningkatkan fungsi imun.”
Peta kelenjar timus dan rekayasa peningkatan FGF21 pada timus diharapkan dapat menjaga kesehatan manusia, melawan kanker dan autoimun, serta mengurangi insiden penyakit akibat menurunnya sistem imun terkait penuaan.