Raja Gadungan, Bisikan Gaib, Sampai Viralnya Komentar Receh
Irasionalitas mewabah di masyarakat kita akhir-akhir ini. Mulai dari kerajaan jadi-jadian sampai komentar pejabat yang sulit diterima akal sehat. Ada apakah?
Sejak pergantian tahun, pemberitaan dalam negeri kerap diwarnai dengan pemikiran dan perilaku irasional, baik yang dilakukan warga maupun pejabat. Kecepatan internet menyebarluaskan informasi dan maraknya media sosial membuat hal-hal nyeleneh ini cepat tersiar. Lantas, pada kondisi apa seseorang dapat berpikir atau bertindak di luar logika?
Senin (17/2/2020), seorang ayah berinisial HE (38) asal Pekanbaru, Riau, menghabisi nyawa anak kandungnya yang masih berusia 3 tahun. Korban berinisial PH, meninggal karena kehabisan oksigen akibat kekerasan yang dilakukan ayahnya.
Dilansir dari Kompas.com, hingga kini polisi masih melakukan tes kejiwaan kepada pelaku. Berdasarkan keterangan sementara, HE melakukan tindakan itu lantaran mendapatkan bisikan gaib. Menurutnya, dengan membunuh anaknya maka roh jahat di dalam tubuh istrinya yang sedang sakit, dapat terbunuh pula.
Tak cukup di situ. Satu bulan yang lalu, seorang pemimpin lembaga adat di Gowa, Sulawesi Selatan, menganggap bahwa dirinya adalah nabi terakhir. Ada sekitar 50 orang yang menjadi pengikutnya.
Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan fenomena munculnya raja-raja gadungan beberapa waktu lalu, yang juga memiliki ratusan pengikut. Kini, para “aktor” tersebut mendekam di jeruji besi karena tindakannya.
Baca juga : Keraton Agung Sejagat, Sesat Sejarah Kerajaan ”Kaleng-kaleng”
Problem kejiwaan
Persoalan serupa pernah menimpa Osse Kiki (41), 12 tahun yang lalu. Saat itu, ia mengalami depresi berat usai membatalkan pesta pernikahannya. Pasca kejadian itu, Kiki mengaku kerap berhalusinasi dan terbangun dari tidurnya setiap dini hari. Di saat yang bersamaan, Kiki juga sering mendapat bisikan-bisikan yang menasbihkan dirinya adalah sosok yang dipilih oleh tuhan untuk menyelamatkan umat manusia di dunia.
Tak lama setelah itu, keluarga membawanya ke psikiater dan ia didiagnosa menderita skizofrenia afektif. Ia pun menjalani pengobatan. Kini, kondisi Kiki sudah stabil meskipun tetap mengonsumsi obat. Ia bahkan sudah menjadi pengurus Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). “Untuk kasus seperti saya ini memang biasanya adalah gejala dari gangguan kejiwaaan yakni delusi. Harus diperiksa lewat psikiater,” kata Kiki di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Baca juga : Berdaya dengan Skizofrenia
Psikolog klinis sekaligus Founder IndoPsyCare Edo Sebastian Jaya mengatakan, tidak sedikit penderita skizofrenia yang melakukan hal-hal irasional karena mendengar bisikan-bisikan sebelumnya. Bisikan tersebut adalah delusi atau waham yang merupakan gejala dari skizofrenia.
Kemudian, mereka yang tidak tahan dengan bisikan-bisikan tersebut akan meluapkannya dalam bentuk tindakan. Menurut Edo, tidak sedikit penderita skizofrenia yang mendapat bisikan bahwa mereka adalah orang pilihan tuhan, baik nabi atau raja.
“Tapi, orang-orang yang mengalami atau melakukan hal tersebut tidak melulu karena skizofrenia. Bisa juga karena gangguan lainnya,” katanya.
Untuk kasus seperti saya ini memang biasanya adalah gejala dari gangguan kejiwaaan yakni delusi. Harus diperiksa lewat psikiater.
Gangguan lain yang dimaksud Edo yakni adalah bipolar parah, depresi parah, atau pengaruh narkoba terutama bagi para pengguna narkoba amfetamin. Setidaknya ada 270 jenis penyakit kejiwaan yang mampu memicu perilaku irasional.
“Termasuk phobia. Orang yang mengalami phobia akan berperilaku tak wajar,” katanya.
Menurut Edo, faktor risiko yang mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang adalah keturunan, lingkungan, dan sosial. Faktor lingkungan dapat dipengaruhi oleh polusi, kuman, dan kontaminasi zat radioaktif. Sementara itu, masalah hidup bisa saja memicu gangguan kejiwaan asalkan terjadi selama berkali-kali dan beragam.
Baca juga : Sosialisasi Sejarah Cegah Modus Keraton Agung Sejagat Berulang
Tidak berdaya
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Kristi Poerwandari menduga, secara umum, cukup banyak orang yang cenderung menghayati ketidakberdayaan akibat berbagai persoalan hidup saat ini. Ketidakberdayaan dan rasa tidak mampu mengendalikan situasi tersebut dapat memicu cara berpikir yang tidak rasional.
Misalnya, seorang istri yang mendapati suaminya selingkuh. Berbagai cara dilakukan istri agar suami meninggalkan selingkuhannya, namun seringkali gagal. Hal ini dapat menyebabkan sang istri berpikir suaminya sudah “diguna-guna”. “Saat orang tidak berdaya dan kehilangan kendali atas kehidupannya, mereka bisa lari pada hal-hal yang irasional,” katanya.
Terkait kasus psikologi yang menyebabkan korban tewas, psikolog Kasandra Putranto mengatakan, pada dasarnya korban tewas dalam kasus pembunuhan harus melalui pemeriksaan mendalam berupa otopsi psikologi. Otopsi psikologi dilakukan terhadap orang-orang terdekat korban untuk mengetahui profil psikologis korban semasa hidupnya.
Setelah itu, baru dilakukan metode criminal profiling untuk mengetahui profil psikologis pelaku yang memiliki motif untuk menghabisi nyawa korban. Hal ini harus dilakukan melalui pemeriksaan psikologis mendalam. Jika ada indikasi bisikan gaib dari pelaku, maka akan dibuktikan secara mendalam. “Dugaan skizofrenia harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan yang valid dan sesuai dengan standar prosedur yang berlaku,” ujarnya.
Komentar receh
Fenomena irasional lain yang mencuat di masyarakat kita saat ini adalah beredarnya pendapat pejabat yang dirasa kurang masuk akal. Sebut saja komentar tentang perempuan yang bisa hamil apabila berenang di kolam yang juga ada laki-lakinya. Jejaring internet dan media sosial membuat komentar ini menyebar bak cendawan di musim penghujan.
Praktisi Humas dari London School of Public Relation (LSPR) Jakarta Rizka Septiana mengatakan, saat ini masyarakat cenderung menyukai informasi yang sifatnya ringan dan receh. Apalagi jika informasi tersebut memberikan ruang bagi mereka untuk berkomentar negatif.
Baca juga : Refleksi terhadap Keraton Abal-abal
Hal ini membuka peluang bagi informasi yang bernada sensasional untuk mencuat di media sosial ketimbang informasi yang berbobot. “Mungkin karena masyarakat juga sudah lelah dengan rutinitas mereka sehari-hari jadi cenderung cari informasi yang receh,” katanya.
Karyawan swasta, Canggih Bhakti P beranggapan, informasi irasional banyak digemari karena orang-orang masih mempercayai hal-hal yang berbau mistis. Ia merasa, penyebaran informasi destruktif di media sosial saat ini sama cepatnya dengan informasi yang konstruktif.
Sekarang, orang-orang di sekitarnya leluasa menyebarluaskan informasi apapun yang mereka terima tanpa disaring terlebih dulu. “Selama ini kita dikampanyekan untuk fokus pada larangan menyebar berita hoaks dan ujaran kebencian, padahal hal-hal tidak mendidik juga perlu dibatasi,” katanya.
Kondisi saat ini menuntut kita untuk selalu waspada saat berucap atau bertingkah laku.