Komunikasi terhadap masyarakat yang dilakukan pemerintah terkait pencegahan dan penanggulangan virus korona di Indonesia masih buruk.
Oleh
Susanti Agustina S
·5 menit baca
Komunikasi ke publik yang dilakukan pemerintah terkait pencegahan dan penanggulangan virus korona di Indonesia masih buruk. Alih-alih menjelaskan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus korona dan membuat masyarakat tenang, sejumlah pejabat justru membuat pernyataan kontroversial.
Virus korona tiba-tiba melumpuhkan kota Wuhan, lalu dalam waktu singkat menyebar ke bagian lain di China. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, hingga 19 Februari 2020, sudah 2.000 korban meninggal akibat virus korona di wilayah China daratan. Bahkan, korban yang terinfeksi virus korona sudah lebih dari 73.000 jiwa di dunia.
Penyebaran yang cepat dan masif ini menghadirkan ketakutan juga di masyarakat Indonesia. Namun, upaya pencegahan penyebaran virus serta penanggulangannya oleh Pemerintah Indonesia cenderung tidak transparan. Bahkan, komunikasi pejabat terkait sering kali menjadi kontroversi. Publik dibuat gamang akan kondisi sebenarnya di Indonesia.
Komunikasi pemerintah yang kurang transparan membuat publik memercayai hoaks yang terkait kasus virus korona di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, sebanyak 86 hoaks ditemukan sejak 23 Januari hingga 12 Februari 2020.
Peningkatan jumlah hoaks tersebut merupakan hasil dari identifikasi dan validasi menggunakan mesin AIS. Rata-rata temuan hoaks terkait virus korona yang diidentifikasi dan divalidasi oleh Kementerian Kominfo terdapat 4 hingga 6 hoaks setiap hari.
Temuan hoaks, disinformasi, dan kabar bohong terkait virus korona tersebar di beberapa daerah, seperti Jakarta, Depok, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Solo, Jember, Jombang, Tulungagung, Makassar, Medan, Palembang, Tarakan, Pontianak, Lombok, dan Banda Aceh.
Beragam jenis hoaks yang disebarkan misalnya pasien terinfeksi virus korona di rumah sakit ataupun tersebar lewat bandara dan tempat-tempat umum. Salah satunya adalah hoaks yang ditemukan pada 11 Februari 2020 beredar di media sosial Facebook yang menyebutkan ada tenaga kerja asing (TKA) asal China ditemukan meninggal karena virus korona pada pembangunan proyek Apartemen Meikarta, Cikarang Selatan. Padahal, TKA asal China yang meninggal itu disebabkan kecelakaan kerja, bukan karena virus korona.
Publik mempertanyakan bagaimana pemerintah menangani virus korona di Indonesia. Polemik demi polemik diikuti pernyataan yang kontroversial keluar dari pejabat terkait, yang kian menunjukkan kurangnya koordinasi serta buruknya komunikasi publik dari pemerintah.
Buruknya komunikasi
Polemik bermula akhir Januari 2020 saat penyebaran virus korona menyita perhatian publik. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso mengumumkan sedang menangani pasien terduga (suspect) korona.
Pokja Penyakit Infeksi Emerging menyampaikan, suspect telah terdeteksi oleh pemindai suhu tubuh atau thermal scanner memiliki panas di atas 38 derajat celsius. Suspect mengalami demam sejak berangkat dari China.
Namun, Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Bandara Soekarno-Hatta mengklaim, pihaknya tidak pernah menemukan penumpang yang terduga terjangkit korona.
Transparansi pemerintah juga dipertanyakan saat hendak melakukan evakuasi WNI dari Wuhan. Pemerintah merahasiakan lokasi karantina. Saat tim penjemputan berangkat ke China, pemerintah baru menyebut Natuna bakal jadi tempat karantina.
Keputusan pemerintah mengarantina 238 WNI di Kabupaten Natuna berujung aksi penolakan. Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti menyebutkan, pemilihan tempat karantina dipaksakan dan mengaku tidak diberi tahu lebih dulu.
Ketiadaan kasus virus korona di Indonesia menjadi penelitian dari peneliti Harvard. Hasilnya, ketiadaan kasus mungkin berarti virus sebenarnya telah menyebar, tetapi tak terdeteksi. Menteri Kesehatan tegas menolak hasil penemuan tersebut dan tetap memercayai kemampuan pengawasan kesehatan Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pun menegaskan, pemerintah mampu mendeteksi kemungkinan masuknya virus korona ke wilayah Indonesia karena sudah memiliki teknologi untuk mendeteksi jenis virus baru korona.
Namun, belakangan, beredar informasi, WHO meragukan kemampuan Indonesia mendeteksi penyebaran virus korona yang baru (Covid-19) karena hingga saat ini belum ada kasus virus korona yang positif di Indonesia.
Pernyataan kontroversial juga keluar dari Menteri Kesehatan (Menkes) saat mendengarkan keluhan mahalnya harga masker setelah merebaknya virus korona. Menkes justru menyalahkan warga yang membeli masker dengan menyatakan, ”Salahmu sendiri kok beli ya” (15/2/2020). Pernyataan keluar saat publik minim informasi dan berupaya melindungi diri dari serangan virus korona.
Pernyataan Menkes yang meminta publik untuk menyikapi virus korona dengan ”santai saja” tidak cukup. Publik juga membutuhkan informasi yang jelas soal pencegahan dan persiapan penanganan yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi penyebaran virus korona.
Meski pemerintah menyatakan masker hanya perlu digunakan oleh mereka yang sakit dan saat mengunjungi tempat-tempat berisiko, publik memiliki hak untuk menjaga dirinya dari ancaman virus korona. Terlebih, informasi kepada publik terkait upaya antisipasi dari pemerintah jika virus korona menyebar ke Indonesia sangat minim.
Antisipasi
Edukasi yang lemah disertai penolakan akan hasil penelitian tanpa disertai informasi antisipasi dari pemerintah memunculkan kekhawatiran di masyarakat.
Pemerintah harus menjelaskan langkah-langkah antisipasi dan penanganan apabila virus korona masuk ke Indonesia. Pemerintah juga perlu lebih cepat memperbarui informasi terkait korona karena berkejaran dengan penyebaran hoaks.
Terlebih, WHO telah mengingatkan agar Indonesia mempersiapkan kemungkinan wabah virus korona di tengah kekhawatiran belum adanya satu pun temuan kasus. WHO menginginkan agar Indonesia meningkatkan pengawasan, deteksi kasus, dan persiapan di fasilitas kesehatan yang ditunjuk apabila terjadi wabah.
Meski Indonesia telah melakukan penyaringan di perbatasan internasional dan menyiapkan rumah sakit apabila terdapat kasus yang potensial, pengawasan, deteksi, hingga persiapan fasilitas terkait apabila wabah terjadi masih harus dipersiapkan lebih matang.
Koordinasi antara pusat dan daerah juga harus lebih ditingkatkan supaya informasi yang disampaikan kepada publik tidak berbeda dan membingungkan. Sudah saatnya pemerintah memperbaiki pola kerja antarinstansi dalam menangani dan mengantisipasi krisis.
Koordinasi juga penting dalam menyediakan alat pelindung diri, rumah sakit rujukan, atau prosedur standar operasi penanganan darurat jika virus korona menyerang Indonesia. (LITBANG KOMPAS)