Penggunaan dana otonomi khusus belum optimal. Penyebabnya beragam, antara lain tata kelolanya yang belum transparan.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola dana otonomi khusus dinilai masih bermasalah dan tidak transparan. Akibatnya, penyaluran dana itu belum dapat mendorong perbaikan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Dana otonomi khusus (otsus) adalah dana bantuan hibah pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi tertentu, yakni Papua Barat, Papua, dan Aceh. Dana bantuan hibah yang diberikan pemerintah pusat juga berupa dana keistimewaan DI Yogyakarta.
Pada 2020, alokasi dana otsus dan keistimewaan Rp 22,8 triliun. Dana itu untuk Papua dan Papua Barat Rp 8,4 triliun, Aceh Rp 8,4 triliun, dana tambahan infrastruktur Rp 4,7 triliun, dan dana keistimewaan DIY Rp 1,3 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, dana otsus diberikan langsung dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi. Namun, regulasinya belum mengatur sistem pengendalian dan pengawasan anggaran optimal.
Selama ini, pemerintah daerah tidak diharuskan menyusun laporan realisasi dan output dari penggunaan dana otsus. Laporan yang disampaikan hanya berupa pertanggungjawaban APBD secara umum. Transfer dana otsus langsung masuk ke APBD tanpa dipisah.
”Hal ini mengindikasikan penggunaan dana otsus tidak dikelola dengan akuntabel dan transparan,” kata Suahasil dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Daerah RI di Jakarta, Selasa (25/2/2020).
Menurut Suahasil, penggunaan dana otsus kerap kali tidak dibarengi perencanaan dan penganggaran yang baik. Pemda belum menggunakan dana otsus untuk bidang-bidang prioritas, terutama pendidikan dan kesehatan.
Akibatnya, perbaikan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat menjadi lamban. Salah satunya tecermin dalam angka partisipasi murni sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, rata-rata lama sekolah, dan angka harapan hidup.
”Indikator-indikator kesejahteraan di Papua dan Papua Barat masih cukup menantang. Bahkan, jika disandingkan dengan daerah lain yang setara, tetapi tidak menerima otsus,” kata Suahasil.
Di Papua, rata-rata penggunaan dana otsus di bidang pendidikan 25,4 persen, sedangkan bidang kesehatan 18,7 persen. Adapun rata-rata penggunaan dana otsus di Papua Barat untuk pendidikan 25,1 persen dan kesehatan 13,4 persen.
Dana otsus rata-rata meningkat 4,3 persen per tahun pada 2015-2019. Alokasi dana otsus yang pada 2015 sebesar Rp 14,11 triliun meningkat menjadi Rp 16,8 triliun pada 2019.
Secara keseluruhan, Papua dan Papua Barat hanya sekali memenuhi belanja wajib APBD untuk pendidikan minimal 20 persen, yakni tahun 2012. Sementara, belanja wajib kesehatan minimal 10 persen selalu dipenuhi Papua sejak 2017, tetapi Papua Barat belum pernah memenuhi.
Suahasil menambahkan, pemerintah pusat akan mendesain pengelolaan dana otsus daerah. Tata kelola difokuskan pada perbaikan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat yang lebih cepat. Pengawasan dan laporan pertanggungjawaban akan dibuat lebih ketat dan realistis.
Tidak transparan
Ketua Panitia Khusus Papua DPD Filep Wamafma berpendapat, selama ini tidak ada transparansi penggunaan dana otsus oleh pemda. Hampir semua prosedur terkait otsus terkesan dirahasiakan. Kondisi ini memicu kekhawatiran jika alokasi dana otsus kembali meningkat.
”Payung hukum regulasi otsus tidak seragam. Papua menggunakan peraturan daerah khusus, sedangkan Papua Barat melalui peraturan gubernur,” kata Filep.
Anggota DPD, Eni Sumarni, menyampaikan, pembagian dana otsus ke kota/kabupaten kerap berdasarkan asas kedekatan politis atau hubungan pribadi antarpemerintah. Sistem yang tidak transparan ini dikeluhkan bupati dan wali kota.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan, penyaluran dana otsus ke Papua dan Papua Barat akan berakhir pada 2021. Namun, penghentian penyalurannya belum diputuskan karena pemerintah masih mengevaluasi sejumlah aspek, salah satunya efektivitas penyaluran dana otsus untuk kesejahteraan rakyat.
Menurut Tito, salah satu indikator efektivitas bisa dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi daerah penerima dana otsus.