Warga Jakarta Dilanda Ketidakberdayaan Menghadapi Banjir
›
Warga Jakarta Dilanda...
Iklan
Warga Jakarta Dilanda Ketidakberdayaan Menghadapi Banjir
Banjir terjadi tujuh kali dalam dua bulan pada awal tahun 2020. Selama itu, warga tidak berdaya menghadapi dampak dari genangan. Mereka berharap bantuan dan penanganan cepat dari pemerintah.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
Hujan deras yang terjadi sejak Selasa (25/2/2020) dini hari membuat Aang tidak berangkat kerja. Rumahnya di RW 007 Kelurahan Gunung Sahari, Kemayoran, Jakarta Pusat, kebanjiran setinggi 80 sentimeter pada pukul 05.00.
Aang yang bekerja sebagai anggota satuan pengamanan (satpam) sebuah perusahaan di Jakarta Pusat tidak berani meninggalkan istri dan kedua anaknya. Pagi itu, dia bersama sejumlah tetangga mengungsi ke bangunan sekolah menengah swasta di Gunung Sahari.
Belakangan, setiap banjir, dia tidak berani meninggalkan keluarga. ”Ini sudah banjir ketujuh kali di tempat saya sejak awal Januari. Istri saya di rumah sendiri, sementara anak saya masih kelas III SMP dan kelas I SD, masak saya tinggal?” ucap Aang.
Keluarga Aang bukan hanya apes karena kebanjiran. Yulianah (36), istri Aang, pagi itu juga gagal menjual dagangan nasi rames karena tidak bisa memasak. Sejak pagi sekali, wilayahnya terkena pemadaman listrik akibat kebanjiran.
Yulianah hanya menanak nasi pagi itu, tetapi tidak sempat memasak lauk dan lain-lain. Nasi untuk dagangannya pun tidak sempat diselamatkan saat genangan.
Hari itu dia juga sudah merogoh kocek hingga Rp 500.000 untuk bahan masakan. ”Labu, telur, dan bumbu lain tidak sempat dimasak dan sudah terendam,” ucapnya. Tidak hanya hari itu, ia juga mengalami kerugian serupa selama tujuh kali banjir dalam dua bulan terakhir.
Keluarga Aang dan Yulianah hanyalah potret kecil bagaimana sebuah keluarga merugi akibat banjir. Nyatanya, sebagian besar aktivitas di Jakarta hari Selasa tidak berjalan utuh saat banjir.
Banjir turut menyebabkan aktivitas di pasar dan jalan raya terganggu. Ernawati (74), pedagang kue di Pasar Senen, Jakarta Pusat, menyampaikan, aktivitas berjualan kudapan sejak Subuh juga terganggu. Hal ini karena rumah sebagian pedagang kebanjiran. ”Saya sejak Subuh tadi sudah mau berangkat ke pasar. Tetapi, pukul 05.00, rumah saya di Jalan Bungur VII kebanjiran setinggi sekitar 50 sentimeter,” ucapnya.
Banjir pun melumpuhkan sejumlah akses jalan protokol di Jakarta. Penelusuran Kompas, sebagian ruas Jalan Gunung Sahari tergenang hingga 2 kilometer. Sementara itu, jalan lintas bawah atau underpass Senen juga tergenang banjir setinggi sekitar 30 sentimeter.
Masalah saluran
Dari sejumlah wilayah yang ditelusuri Kompas, hampir seluruh kawasan bermasalah dengan saluran air. Di lokasi wilayah rumah Aang, misalnya, hanya ada satu saluran yang menjadi tempat seluruh air bermuara. Saluran itu juga tertutup sebagian sampah plastik yang turut menggenang saat banjir.
Di Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, genangan masih tertahan di jalan raya sekitar 15 sentimeter. Sodikin (50), petugas kontrak Satuan Pelaksana Dinas Sumber Daya Air Kecamatan Kemayoran, mengatakan, delapan petugas di sana hanya bisa memantau air hingga surut. Sebab, saluran tertutup trotoar.
”Trotoar yang sudah dilebarkan kini memang sedikit mempersulit petugas kalau ingin cek saluran. Kita tidak tahu saluran itu tersumbat atau bagaimana karena harus dibuka dulu. Jadi, kami hanya memantau airnya mengalir dari tali air saja,” tutur Sodikin.
Agus Setiono (24), petugas lainnya, hari itu diinstruksikan untuk lebih banyak membantu warga saat evakuasi. ”Sebagian dari kami hanya bantu-bantu warga kalau ada yang kesulitan saat banjir. Habisnya, mau bantu apa lagi?” ungkapnya.
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali berpendapat, salah satu pemicu banjir saat ini adalah progres pembangunan gedung yang tidak sejalan dengan pembangunan sistem drainase. Selama tujuh kali terjadi banjir di Jakarta, ia menyampaikan, sistem pembuangan air tidak efektif atau tidak berfungsi dengan baik.
”Selama ini, penanganan jaringan mikro, jaringan penghubung, dan jaringan makro drainase tidak berfungsi efektif ketika hujan. Banyak sedimen dan material lainnya di drainase. Seharusnya diantisipasi sebelum musim hujan dan terus dipantau. Jangan sudah musim hujan baru dibersihkan. Begitu pula dengan kesiapan pompa air,” ujar Firdaus.
Pernyataan Firdaus juga sejalan dengan sejumlah temuan Kompas di beberapa saluran. Bak kontrol yang terbuka di salah satu trotoar Jalan Gunung Sahari menunjukkan saluran tertutup endapan bercampur sampah. Kondisi ini juga ditemukan di kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan.
Elkana Catur H dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Perencanaan DKI Jakarta menilai, selain curah hujan tinggi, penyebab banjir juga karena faktor penyempitan dan pendangkalan 13 sungai serta daerah resapan yang berubah menjadi bangunan rumah atau perkantoran. ”Jika genangan lebih dari 30 sentimeter dan lebih dari dua jam genangannya belum surut, ada yang salah dari drainase. Ini seharusnya menjadi perhatian Pemprov DKI dan revitalisasi harus dilakukan,” ujar Elkana.
Terkait sejumlah penyebab tersebut, Tim Advokasi Banjir Jakarta sejak Januari lalu terus mengumpulkan laporan dari warga terkait gugatan permasalahan banjir. Azaz Tigor Nainggolan, perwakilan dari Tim Advokasi Banjir Jakarta, mengatakan, warga saat ini menuntut kejelasan prosedur penanganan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap masalah banjir.
Dalam sesi wawancara dengan Kompas TV, 23 Februari 2020, Azaz menduga ada permasalahan dalam tata kelola drainase serta sistem peringatan awal sebelum terjadi banjir. ”Apabila memang ada masalah terkait drainase, semestinya harus dibereskan, dikomunikasikan kepada warga. Saya melihat budaya informasi dan membangun kesadaran warga untuk menjaga drainase dari Pemprov DKI saja tidak ada,” kata Azaz.