Berkembangnya politik berbasis kekayaan terlihat dari adanya gelontoran modal ke parpol. Politik berbasis kekuasaan telah membuat sistem sosial dan tingkah laku ekonomi ditentukan oleh kemenangan modal atas manusia.
Oleh
Ingki Rinaldi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Politik yang berbasiskan kekayaan diidentifikasi sebagai persoalan etika dan kekuasaan di Indonesia. Hal ini membuat sistem sosial dan tingkah laku ekonomi ditentukan oleh kemenangan modal atas manusia.
Sebagian di antara hal itu mengemuka dalam forum Kajian Etika dan Peradaban ke-16 yang diselenggarakan Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) dan Yayasan Persada Hati, Rabu (26/2/2020). Dalam acara bertajuk ”Budaya Kekuasaan Versus Etika Modern dalam Politik Indonesia” itu, sejumlah pembicara menjadi narasumber. Mereka adalah Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis-Suseno, cendekiawan Muslim Fachry Ali, dan Ketua PIEC Pipip A Rifai Hasan.
Fachry dalam paparannya menyebutkan bahwa politik berbasis kekayaan tersebut dapat ditelusuri dari modal yang masuk ke sejumlah partai politik. Hal ini terjadi tatkala terdapat sejumlah orang kaya yang membangun partai politik setelah era Orde Baru.
Menurut Fachry, sekalipun kekuasaan Orde Baru rontok, tetapi kekayaannya masih ada. Kekayaan inilah yang bermigrasi ke dunia politik. Kekayaan dalam gelontoran modal ini lantas disambut oleh asal usul sejumlah unsur struktural sebagian partai politik yang di masa Orde Baru tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi kaya.
Lebih jauh jika ditarik ke masa sebelumnya, Fachry menyebutkan bahwa asal usul kapitalisme di Indonesia adalah ketika negara di bawah rezim Orde Baru tampil. Ia merujuk pada tesis Richard Robison (Indonesia: The Rise of Capital, 1985) yang menurut dia menyebut Orde Baru sebagai pencipta kekayaan.
Caranya, imbuh Fachry, dilakukan Orde Baru dengan mengintegrasikan diri ke negara kapitalisme. Sebagian di antaranya dilakukan dengan menciptakan sejumlah undang-undang sebagaimana keinginan pemegang dana di luar negeri.
Tiga kondisi
Sementara menurut Franz Magnis, sebuah negara akan stabil dan orientasi korupsi pada kekuasaan tidak diberi ruang jika terdapat tiga kondisi yang terpenuhi. Pertama, terkait dengan struktur-struktur hukum dan kekuasaan yang rasional dan efektif guna memfasilitasi pemerintahan mewujudkan kesejehateraan atas dasar keadilan.
Selain itu, adanya kontrol terstruktur untuk mempersulit penyelewengan. Terakhir, kesadaran moral dari kelas politik mengenai pekerjaan mereka sebagai sebuah kehormatan, kebanggaan, dan panggilan.
Ia menyebutkan, jika menginginkan punya kekuasaan yang tidak eksploitatif, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Struktur-struktur terkait sejumlah hal di atas perlu dioptimalkan.
Sementara Pipip tampil membawakan makalah tentang ”Islam dan Etika Politik Modern”. Dalam paparannya, Pipip menyampaikan kajian mengenai kekuasaan dalam Islam.