Dua Bulan Sudah Kita Berkalang Banjir
Banjir seakan enggan jauh-jauh dari warga Jakarta dan daerah tetangganya, seperti Bekasi dan Tangerang Raya. Tiga hari terakhir menjadi buktinya
Di Perumahan Garden City, Kota Tangerang, Banten, misalnya, belum genap dua pekan penghuninya menempati rumah yang baru dibersihkan karena banjir besar, kini harus mengungsi lagi.
Pada Selasa (25/2/2020) pagi, Zakaria (29) duduk bersama ibu-ibu lain di posko pengungsian tak jauh dari Perumahan Garden City. Sembari mengasuh anak, mereka saling berbincang sesama pengungsi. Akhir-akhir ini, banjir dan posko pengungsian seperti mengakrabi Zakaria.
Sejak awal Januari 2020, penghuni Perumahan Garden City sudah empat kali kebanjiran. Banjir terparah pada 1-10 Februari 2020 ketika perumahan terendam hingga 2 meter. ”Belum sempat berlama-lama menempati rumah, banjir lagi-lagi datang,” kata Zakaria. Kemarin, banjir juga terjadi di Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
Genangan setinggi 70 sentimeter terjadi di daerah itu. ”Setiap tahun rata-rata genangan air ada, terutama jika hujan deras turun sewaktu laut sedang pasang,” kata Ketua RW 004 Jelambar, Anto Permana (60). Banjir besar sebelum 2020 terjadi pada tahun 2015. Awal Januari lalu, banyak mobil terendam di daerah itu karena ditinggal libur pemiliknya. Kemarin, mobil-mobil sudah diselamatkan pemiliknya sebelum air masuk rumah.
Melelahkan
Bagi Zakaria, empat kali berpindah dari rumah ke pengungsian dalam dua bulan sangatlah melelahkan. Pada saat banjir mulai surut, ia bersama keluarga membutuhkan waktu seharian untuk membersihkan rumah dari sampah dan lumpur. ”Bagi yang belum pernah merasakan banjir, mungkin aktivitas ini kelihatan mudah, tetapi sebenarnya sangat melelahkan,” ujarnya.
Berkali-kali ia kehilangan barang-barang akibat banjir. Lemari pakaian, meja televisi, kasur, dan sejumlah pakaian harus dibuang karena sudah tak layak lagi. Setiap banjir, ia merugi hingga Rp 6 juta. Beda lagi dampak yang dialami Shihan (17), siswa kelas 12 SMAN 15 Tangerang. Ia tak bisa fokus belajar demi mengikuti ujian nasional bulan depan.
Banjir dua bulan terakhir merepotkan karena ia harus membersihkan rumah dan mengurus adik-adiknya. Buku-buku pelajarannya pun basah. Secara keseluruhan, banjir pada Selasa kemarin di Kota Tangerang berdampak terhadap ribuan warga di 11 kelurahan. Kelurahan Periuk paling parah dengan ketinggian air 1,5 meter yang mendampak 1.882 jiwa.
Sejak Januari 2020, Kelurahan Periuk empat kali kebanjiran. Dari semuanya itu, penyebabnya selalu karena sistem drainase buruk, sungai meluap, dan pompa penyedot air tak berfungsi. Di Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan, hujan berjam-jam mengakibatkan tanggul air jebol dan membanjiri perumahan Kampung Bulak hingga setinggi 1,5 meter.
Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tangerang Selatan meluncur ke Kampung Bulak sejak pukul 03.00. Hingga sore, mereka masih berjibaku membantu evakuasi warga. Di Jakarta, Kepala Pusat Data dan Informasi BPBD DKI Jakarta M Insaf menjelaskan, berdasar data sampai pukul 12.00, sebanyak 294 RW atau 10,74 persen dari RW di DKI terendam banjir.
RW yang terendam setinggi banjir 200 cm ada di Kelurahan Cawang. Total pengungsi sebanyak 973 keluarga atau 3.565 jiwa. Mereka mengungsi di 40 lokasi. Data BPBD Kota Bekasi, hingga Selasa pagi, sebelas kecamatan kebanjiran setinggi 30-150 cm. Area perumahan dengan ketinggian banjir 100 cm tersebar, seperti di Perumahan Jatibening Permai dan Perumahan Permata Pekayon.
Banjir merendam permukiman pukul 04.00. Sebagian warga terlambat bereaksi. ”Motor terendam, tidak bisa hidup. Saya izin enggak masuk kerja,” kata Galih (20), karyawan swasta di Perumahan Grand Prima Bintara, Bekasi Barat.
Potong gaji
Banjir juga membuat Dewi (42) tidak bisa masuk kerja. Karyawati sebuah pabrik di Kota Tangerang ini sebenarnya tetap ingin masuk kerja. Banjir membuat ia sibuk mengurus anak-anak dan rumah. Ia gundah jika banjir berlarut. Sebab, setiap kali tak masuk kerja, perusahaan akan memotong upahnya.
”Saya diberi surat keterangan (korban banjir) dari pak lurah dan saya serahkan agar diberi waktu libur mengurus rumah dan anak-anak. Pihak perusahaan tak menerima dan menganjurkan saya cuti,” ujarnya. Setiap hari ia diupah Rp 129.000. Absen tiga hari membuat ia kehilangan potensi pendapatan Rp 387.000. Jumlah yang sangat besar baginya.
Banjir juga membuat Aang, satuan pengamanan perusahaan swasta di Jakarta, memilih tidak berangkat kerja. Rumahnya di RW 007 Kelurahan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, kebanjiran setinggi 80 cm sejak pukul 05.00. Belakangan, setiap banjir, dia tak berani meninggalkan keluarga. ”Ini banjir ketujuh di tempat saya sejak awal Januari. Istri saya di rumah sendiri, sedangkan anak masih kelas III SMP dan kelas I SD, masak saya tinggal?” ucapnya.
Oleh karena banjir pula, Yulianah (36), istri Aang, hari itu gagal berjualan nasi rames. Sejak dini hari ada pemadaman listrik sehingga ia tidak bisa memasak. Ia sempat menanak nasi, tetapi belum sempat memasak lauk dan lain-lain. Nasinya itu pun tak sempat diselamatkan. ”Labu, telur, dan bumbu lain tak sempat dimasak, terendam,” ucap Yulianah, yang sudah membelanjakan Rp 500.000 untuk bahan.
Ia mengalami kerugian serupa tujuh kali banjir dalam dua bulan ini. Kerugian akibat banjir juga melanda perkeretaapian. PT KAI Daerah Operasi 1 Jakarta, misalnya, memberlakukan pembatalan tiket bagi penumpang. Senior Manager Humas PT KAI Daop 1 Jakarta Eva Chairunisa menyatakan, banjir memperlambat perjalanan kereta jarak jauh keberangkatan Stasiun Gambir, Pasar Senen, dan Jakarta Kota.
Atas keterlambatan itu, PT KAI Daop 1 memberlakukan pembatalan tiket KA atau bea pengembalian khusus bagi penumpang yang ingin membatalkan perjalanan. Hingga kini belum jelas berapa kerugian total akibat banjir dua bulan ini. Siapa mau dua bulan berkalang banjir? Tak seorang pun.
(IGA/GIO/SHR/HLN/MTK/ FRD/JOG/DNE/VAN)