Dua daerah bertetangga, yakni Timor Timur dan Timur Barat, yang terbelah menjadi dua negara mendapatkan dukungan sosial-ekonomi dari dua sumber berbeda. Seperti apakah kondisi masyarakat di dua wilayah ini?
Oleh
BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO
·5 menit baca
Berpisahnya Timor Timur dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tidak langsung memengaruhi hubungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat antarkedua wilayah ini. Warga Timor Leste dan Nusa Tenggara Timur menjadi lebih berjarak dan terpisahkan oleh birokrasi antarnegara. Sementara, secara geografi, mereka berada dalam satu daratan yang sama, yakni Pulau Timor.
Tumbuh sebagai negara baru, masyarakat Timor Leste banyak mendapat dukungan dan panduan dari sejumlah negara dan lembaga donor dunia. Portugis, sebagai negara yang pernah menjajahnya, turut serta ambil bagian dalam memandu kemajuan Timor Leste.
Pelan tetapi pasti Timor Leste kian tumbuh menjadi sebuah negara yang berdaulat. Walaupun sejumlah perkembangan belum meningkat secara signifikan, setidaknya menuju ke arah yang positif.
Setali tiga uang, hal serupa terjadi bagi para warga negara Indonesia (WNI) eks Timor Timur (Timtim) yang bermukim di wilayah Indonesia. Dengan berbagai kebijakan, para WNI eks pengungsi Timtim atau kini disebut warga baru itu mendapat sejumlah fasilitas dasar untuk hidup di Indonesia. Di antaranya, bantuan hunian sementara, perumahan, lahan pertanian, dan keuangan. Setelah berpisah lebih dari 20 tahun, sejauh manakah kondisi perekonian di kedua wilayah ini?
Perekonomian
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah yang bersebelahan langsung dengan Timor Leste yang sekaligus menjadi daerah tujuan mayoritas para pengungsi pascareferendum. Apalagi secara kultur budaya kedua daerah ini memiliki keterikatan yang kuat. Jadi, NTT relatif sesuai jika digunakan sebagai parameter pembanding kemajuan masyarakat Timor Leste secara umum.
Pada 2010-2018, pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) NTT rata-rata naik sekitar 5,21 persen per tahun dengan nilai PDRB sekitar Rp 54 triliun per tahun. Kondisi demikian relatif lebih baik dibandingkan dengan Timor Leste yang perekonomiannya belum stabil.
Setiap tahun nilai Produk domestik Bruto (PDB) Timor Leste rata-rata sekitar 3,8 miliar dollar AS per tahun atau setara Rp 43 triliun. Namun, besaran PDB Timor Leste kadang-kadang naik drastis hingga 20 persen, tetapi juga bisa anjlok hingga 25 persen.
Dari sisi inflasi, kondisi NTT jauh lebih stabil daripada Timor Leste. Setiap tahun inflasi di NTT pada kurun 2010-2018 rata-rata sekitar 5 persen. Bahkan, sejak 2016-2018 inflasi terus mengecil hingga kisaran 3 persen. Hal ini menunjukkan jika harga-harga di NTT terkendali dan terjangkau untuk semua kalangan masyarakat.
Berbeda halnya dengan Timor Leste yang cenderung mengalami turbulensi inflasi yang besar. Suatu ketika bisa melonjak hingga di atas 20 persen, tetapi sesekali waktu bisa turun hingga 30 persen. Hal ini mengindikasikan jika instrumen moneter dan fiskal belum bekerja dan bersinergi secara optimal di Timor Leste.
Kondisi ini dapat menyebabkan masalah serius di masyarakat karena barang tiba-tiba melonjak sangat mahal sehingga merugikan pembeli. Selain itu, dapat juga tiba-tiba harga barang anjlok tajam yang dapat merugikan pedagang.
Meskipun kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi belum relatif stabil, Timor Leste memiliki tingkat pendapatan per kapita lebih tinggi daripada masyarakat NTT. Menurut data Bank Dunia, PDB per kapita Timor Leste sekitar 3.300 dollar AS per tahun atau Rp 47 juta setahun.
Jika dihitung bulanan, nilai hampir Rp 4 juta per kapita. Nominal ini jomplang jauh dengan masyarakat NTT yang nilai PDRB per kapitanya sekitar Rp 13 juta per tahun atau sekitar Rp 1 jutaan sebulan.
Meskipun demikian, penghasilan yang relatif kecil ini relatif cukup tertolong dengan kondisi inflasi daerah yang terkontrol relatif rendah. Berbeda dengan Timor Leste yang tiba-tiba inflasinya dapat melonjak drastis sehingga dapat memicu ketidakpastian pasar.
Timor Leste cenderung mengalami turbulensi inflasi yang besar. Suatu ketika bisa melonjak hingga di atas 20 persen, tetapi sesekali waktu bisa turun hingga 30 persen.
Kemiskinan
Apabila melihat dari data tren pertumbuhan ekonomi dan inflasi, NTT terlihat lebih baik daripada Timor Leste secara umum. Namun, jika ditelisik lebih dalam lagi di skala nasional Indonesia, kondisi NTT sebenarnya relatif tidak begitu menggembirakan.
Provinsi NTT merupakan daerah dengan angka kemiskinan terbesar kedua terbanyak di Indonesia setelah Provinsi Papua. Angka penduduk miskin di NTT pada tahun lalu mencapai sekitar 20 persen dari total jumlah penduduknya. Artinya, satu dari lima penduduk NTT kondisinya miskin.
Kemiskinan tersebut tersebar relatif merata di seluruh wilayah NTT. Dari 22 kabupaten/kota di NTT, ada sekitar 13 daerah yang jumlah kemiskinannya di atas 20 persen dari total penduduk daerah bersangkutan.
Hanya satu daerah yang jumlah kemiskinannya di bawah 10 persen, yakni Kota Kupang yang merupakan pusat ibu kota provinsi NTT. Hal ini mengindikasikan jika kemajuan ekonomi hanya terkumpul di daerah perkotaan. Kian menjauhi pusat kota, kemiskinan di NTT kian tampak nyata.
Ironisnya, kemiskinan di wilayah NTT itu relatif stabil tinggi, tidak ada perubahan menjadi lebih baik. Selalu tinggi setiap saat. Pada 2010-2019, jumlah kemiskinan rata-rata relatif stabil di angka 21 persen penduduk per tahunnya. Koefisien gini yang menggambarkan ketimpangan pendapatan juga relatif stabil di besaran 0,35.
Hal ini mengindikasikan jika perekonomian di NTT relatif stagnan. Tidak banyak investasi besar yang masuk sehingga industrialisasi tidak berkembang dan tidak memberikan tambahan ruang pekerjaan.
Sektor pertanian pun yang menjadi andalan NTT juga tidak mampu memberikan penghasilan yang memadai bagi para petaninya. Akibatnya, NTT tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Kemiskinan tetap menjadi bagian hidup sehari-hari.
Kondisi demikian terjadi secara umum di wilayah NTT, tidak terkecuali bagi masyarakat yang merupakan WNI eks Timtim. Tentu saja hal demikian menciptakan situasi dilematis bagi ”warga baru” ini.
Dari 22 kabupaten/kota di NTT, ada sekitar 13 daerah yang jumlah kemiskinannya di atas 20 persen dari total penduduk daerah bersangkutan.
Di tanah baru mereka di NKRI, kondisi mereka terkurung dalam kemiskinan, jauh dari sanak saudara atau kampung halaman yang berada di Timor Leste. Belum lagi adanya kasus kepemilikan lahan yang kadang masih bersengketa dengan tanah adat masyarakat NTT. Bahkan, sebagian dari mereka masih ada yang tinggal di kamp pengungsian yang berupa hunian semipermanen. Sungguh ironis.
Di sisi lain, repatriasi ke Timor Leste belum tentu juga akan memperbaiki kondisi perekonomian mereka. Kondisi ekonomi makro Timor Leste yang relatif berfluktuatif membuat jalan hidup relatif penuh tekanan dan ketidakpastian harga barang kebutuhan.
Bahkan, tingkat kemiskinan di daerah pedesaan di Timor Leste pada 2014 mencapai lebih dari 40 persen. Boleh jadi, hingga kini pun kondisi semacam itu juga tak beranjak membaik.
Oleh karena itu, perlu peranan aktif baik dari pemerintah pusat maupun daerah, serta lembaga swadaya masyarakat, guna membantu meningkatkan kondisi sosial ekonomi para WNI eks Timtim ini, terutama bagi para ”warga baru” yang kondisinya benar-benar masih memerlukan banyak perhatian dan pertolongan.
Namun, yang tidak kalah penting yaitu upaya pemerintah untuk menumbuhkan perekonomian NTT secara umum. Pemerintah seharusnya memetakan sekaligus menumbuhkan berbagai peluang investasi yang dapat membuka lapangan kerja baru di NTT. (LITBANG KOMPAS)