Hujan lebat pada malam hingga dini hari melanda Jakarta dan sekitarnya sehingga menimbulkan banjir. Awan pemicu hujan tumbuh dengan cepat pada malam hari hingga menyulitkan untuk dilakukan modifikasi cuaca.
Oleh
M ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepekan terakhir, hujan lebat yang terjadi pada malam hingga dini hari melanda Jakarta dan sekitarnya. Awan pemicu hujan tumbuh dengan cepat pada malam hari hingga menyulitkan untuk dilakukan modifikasi cuaca.
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBTMC-BPPT) Tri Handoko Seto di Jakarta, Selasa (25/2/2020), mengatakan, hujan lebat pada malam hingga dini hari itu dipicu oleh fenomena yang menyerupai cross equatorial notherly surge (CENS) atau aliran angin kuat yang melintasi garis khatulistiwa dari Laut China Selatan menuju Teluk Jakarta.
”Jabodetabek berada dalam wilayah konvergensi (aliran massa udara) hingga meningkatkan massa udara basah di wilayah tersebut dan memicu lebat,” katanya.
Keberadaan siklon tropis Ferdinand dan Esther, yang berupa tekanan udara rendah di selatan Indonesia, turut menarik massa udara dari belahan bumi utara ke selatan menuju arah siklon tropis. Akibatnya, massa uap air yang memicu hujan makin banyak dan membuat peluang hujan lebat makin besar.
Selain peningkatan massa udara basah, pantauan angin yang terlibat langsung dalam proses pembentukan awan oleh tim BBTMC-BPPT juga menunjukkan masuknnya massa udara dari Samudra Pasifik dan mengalami pelambatan saat bertemu dengan massa udara dari Samudra Hindia. Situasi itu makin mempercepat pertumbuhan awan hujan di sekitar Jakarta.
Tri mengatakan, ciri dari fenomena mirip CENS adalah hujannya akan terjadi pada malam hingga dini hari. Ini berbeda dengan hujan yang terjadi pada siang atau sore hari yang biasanya memicu hujan lokal dan disebabkan oleh pemanasan matahari.
Fenomena mirip CENS dan siklon tropis itu memicu pembentukan awan kumulonimbus, awan pemicu hujan, yang sangat cepat pada malam, dini hari, hingga pagi. ”Awan seperti ini di luar jangkauan kemampuan armada teknologi modifikasi cuaca yang ada,” ujar Tri.
Selama ini, proses modifikasi cuaca melalui penyemaian awan hanya bisa dilakukan dari pagi hingga sore. Penyemaian awan pada malam hari sangat berisiko karena terbatasnya pandangan. Pesawat untuk mofidikasi cuaca harus terbang rendah, sekitar 10.000 kaki atau 3.000 meter. Pada ketinggian itu, di sekitar Jabodetabek masih terdapat sejumlah gunung yang lebih tinggi.
Kondisi itu membuat modifikasi cuaca pada malam hari sangat berisiko karena tim tidak bisa melihat awan akibat gelapnya situasi di luar pesawat. Dalam kondisi itu, data radar jadi andalan. Persoalannya, data yang ditampilkan radar memiliki jeda sepersekian detik dibandingkan dengan kondisi riil. Radar juga tidak bisa membedakan antara awan dan obyek keras lain, seperti gunung.
”Keselamatan penerbangan jadi prioritas utama sehingga penyemaian awan hanya bisa dilakukan saat kondisi visual memadai, yaitu sejak matahari terbit hingga terbenam,” katanya. Namun, selama fenomena mirip CENS itu terjadi, pertumbuhan awan pada siang hari tidak cukup banyak sehingga akan percuma jika dilakukan modifikasi cuaca.
Berkurangnya pertumbuhan awan pada siang hari membuat proses modifikasi cuaca yang dilakukan selama ini dikurangi. Biasanya, modifikasi cuaca yang dilakukan sejak 3 Januari 2020 itu dilakukan antara dua dan tiga sorti atau penerbangan. Namun, beberapa waktu terakhir terpaksa dikurangi hanya satu sampai dua sorti saja.
Koordinator Lapangan BBTMC-BPPT di Posko TMC Halim Perdanakusuma Dwipa W Soehoed mengatakan, pelaksanaan TMC dilakukan hingga 70-90 mil laut (Nm) atau 130-170 kilometer di barat dan barat laut Jabodetabek. Bahkan, beberapa penerbangan dilakukan hingga lebih dari 100 Nm atau lebih dari 180 km.
Penerbangan sejauh itu dilakukan untuk menjatuhkan awan hujan di lokasi tersebut, di atas laut di utara atau barat Jakarta. Awan hujan itu umumnya dijatuhkan di wilayah Kepulauan Seribu, Selat Sunda, dan sekitar Ujung Kulon, Banten. Redistribusi itu bisa mengurangi curah hujan yang berpeluang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
”Awan-awan hujan yang bergerak ke arah Jabodetabek disemai agar menjadi hujan sebelum masuk wilayah Jabodetabek,” katanya.
Operasi TMC yang dilakukan BPPT bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI AU, serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisikan (BMKG) sejak 3 Januari hingga 24 Februari 2020 sudah dilakukan sebanyak 127 penerbangan dengan total jam terbang 274 jam. Selama masa itu, jumlah total garam yang disemai lebih dari 205 ton.
BMKG pun sudah mengingatkan bahwa hujan lebat pada malam hari masih berpeluang terjadi di sekitar Jakarta hingga beberapa hari ke depan. Karena itu, masyarakat diimbau tetap waspada terhadap sejumlah dampak yang ditimbulkan dari hujan lebat itu, seperti angin kencang, genangan, jalan licin, banjir, banjir bandang, pohon tumbang, dan longsor.