Nasib Warga Tak Selancar Jalan Tol Kalimantan
Jalan tol pertama di Kalimantan menyisakan luka bagi puluhan keluarga di Kelurahan Sungai Merdeka, Kutai Kertanegara. Sebagian tol beroperasi, tetapi 57 keluarga belum mendapat ganti rugi atas penggunaan tanah mereka.
Suara Wati (44) bergetar mengisahkan penggusuran di lahannya, sambil memperlihatkan foto dan video saat lahan garapannya diratakan ekskavator. Waktu itu, 28 Januari 2019, ratusan aparat keamanan berjaga di sekitar lahan seluas 1,5 hektar yang Wati tanami pohon karet.
Alat berat merobohkan pohon-pohon karet yang berdiri di lahan itu, sementara Wati berteriak-teriak sambil menangis. ”Pak, tanggal 11 (Februari) anak saya mau bayar kuliah. Saya bayar pakai apa nanti,” katanya sambil mengentak-entakkan kaki.
Wati menanam 600 pohon karet di lahan itu. Setiap bulan, setidaknya ia berpenghasilan Rp 5 juta dari menjual getah karet. Adapun suaminya bekerja sebagai sopir di salah satu perusahaan tambang di Kutai Kartanegara dengan penghasilan Rp 4 juta per bulan.
”Anak saya masih kuliah. Setidaknya ongkosnya Rp 50.000 setiap hari. Biaya kuliah setiap semester Rp 3,5 juta. Hasil menderes pohon karet itu yang jadi tambahan untuk kuliah anak saya,” katanya ketika ditemui di rumahnya, di seberang pintu masuk Tol Balikpapan-Samarinda di Kecamatan Samboja, Minggu (9/2/2020).
Tol Balikpapan-Samarinda terdiri atas lima seksi yang merentang dari Balikpapan hingga Samarinda sepanjang 99,35 kilometer. Salah satu proyek strategis nasional itu menghabiskan biaya Rp 9,97 triliun. Seksi II hingga seksi IV diresmikan Presiden Joko Widodo pada Desember lalu dan hingga kini masih dibuka gratis.
Di pintu masuk tol di Kecamatan Samboja itulah ratusan pohon karet Wati diratakan dan tak mendapat ganti rugi hingga kini. Saat ini, lahan garapannya sudah menjadi badan jalan melingkar, sekitar 500 meter dari pintu masuk tol.
Wati kadang teringat masa-masa pohon karetnya ditumbangkan karena setiap keluar rumah pasti melihat keluar-masuk mobil dari jalan tol itu. ”Sedih kalau ingat. Saya sampai pinjam uang ke bank Rp 7,5 juta untuk biaya kuliah anak saya,” katanya.
Nasib serupa dialami Rudiah (55), warga lainnya. Lahan sekitar 2 hektar yang juga ia tanami pohon karet dan dijadikan kolam ikan sudah tak lagi bisa digarap. Setelah proses pelebaran proyek tol pada Januari lalu, ia tak bisa lagi menderes getah karet di sana.
”Waktu itu, tidak ada sosialisasi sama sekali. Tiba-tiba saja lahan yang kami tanami diratakan dengan ekskavator,” kata Rudiah.
Rudiah juga kehilangan sumber penghasilan untuk menyekolahkan anaknya. Dari menderes getah karet dan menjual ikan, setidaknya ia bisa mengumpulkan uang Rp 4 juta setiap bulan. Saat ini, Rudiah hanya mengandalkan warung kelontong miliknya yang sepi pengunjung.
”Hari ini saja saya belum bisa mengumpulkan Rp 100.000,” katanya lemas.
Kebun itu menjadi tumpuan utama penghasilan Rudiah dan suaminya. Apalagi, belum lama ini, suaminya, Mirhansyah (60), mengalami kecelakaan sehingga perlu bantuan tongkat untuk berjalan. Padahal, Rudiah dan suami masih memiliki tanggungan anak yang masih kuliah di Balikpapan. Biaya per semesternya Rp 5 juta.
”Kalau ada ganti rugi, uang itu akan saya belikan tanah lagi untuk berkebun karena kami sudah lama berkebun,” katanya.
Terdapat 57 keluarga yang bernasib sama dengan Rudiah dan Wati. Luas lahan yang belum mendapat ganti rugi sekitar 35 hektar. Mereka rata-rata memiliki surat perwatasan, sejenis surat batas hak guna lahan yang diterbitkan kelurahan pada 1970-an.
Warga lain, Yoyon Sutiono (41), mengumpulkan surat-surat hak guna lahan milik warga. Ia sudah berupaya menyampaikan keluhan warga ke DPRD Kutai Kartanegara dan setiap pejabat yang datang mengecek lokasi Tol Balikpapan-Samarinda. Namun, ganti rugi yang diharapkan warga tidak kunjung datang meski sudah setahun berlalu.
”Kami diminta untuk ke pengadilan, tetapi kami tidak mengerti. Nanti kami malah mengeluarkan biaya juga,” kata Yoyon.
Selain itu, warga berpendapat, seharusnya tidak perlu ke pengadilan. Sebab, saat pembebasan lahan tahap satu dan dua, penggarap lahan di sana mendapat ganti rugi berdasarkan tanaman yang mereka rawat.
”Sebelum pelebaran proyek tol, warga lain yang lahan garapannya terdampak memang mendapat ganti rugi. Namun, kami yang terdampak pelebaran terakhir sampai sekarang belum dapat apa-apa,” ujar Yoyon.
Pada mulanya, lahan yang terdampak proyek tol itu lebarnya 60 meter. Namun, pada Januari 2019 terjadi pelebaran proyek sekitar 40 meter pada kiri dan kanan jalan. Lahan yang terdampak pelebaran itu memanjang sekitar 3 kilometer dari pintu masuk Tol Balikpapan-Samarinda di Samboja.
Berdasarkan pantauan Kompas, lahan di kiri dan kanan tol itu ada yang tengah digarap dengan alat berat. Di sisi lainnya, lahan sudah rata dan ditanami rumput-rumput kecil. Adapun kebun milik Wati dan Rudiah hanya tersisa beberapa pohon saja. Akses menuju lahan itu tertutup karena pembangunan jalan tol.
Tanah warga itu memang masuk kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, kawasan konservasi yang juga digunakan untuk penelitian, budidaya flora, ilmu pengetahuan, dan rekreasi. Namun, sebagian besar warga sudah berkebun di lahan itu sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai tahura.
Status dan luas kawasan Bukit Soeharto berubah-ubah. Pada mulanya, Gubernur Kalimantan Timur mengeluarkan ketetapan bahwa hutan di sepanjang 36 kilometer di jalan Samarinda-Balikpapan adalah zona produksi dan zona pelestarian lingkungan pada 1976. Pada 1982, terbit Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 818/Kpts/Um/11/1982 tentang Penetapan Hutan Lindung Bukit Soeharto seluas 27.000 hektar.
Perluasan kawasan dan perubahan fungsi tahura terjadi lagi pada 1987 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 245/Kpts-II/1987 tentang Perubahan Status Kawasan Hutan Lindung Bukit Soeharto menjadi hutan wisata sehingga luas hutan wisata Bukit Soeharto kurang lebih 64.800 hektar.
Terakhir, pada 2004, terjadi perubahan fungsi Taman Wisata Alam Bukit Soeharto seluas 61.850 hektar menjadi tahura. Dasarnya, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004. Sejak itu, pemanfaatan tahura antara lain untuk penelitian, budidaya flora, ilmu pengetahuan, rekreasi, dan konservasi.
Pejabat baru
Persoalan ganti rugi lahan warga kian pelik karena petugas yang mengurus pengadaan lahan tol ini baru saja berganti posisi. Kepala Seksi Pengadaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kutai Kartanegara Sudjai baru dilantik pada Januari 2020.
Sebelumnya, ia mengatakan akan mengecek kembali dokumen dari pejabat sebelumnya. Ia juga berjanji akan melakukan pengecekan ke lapangan. Ketika dikonfirmasi ulang, ia belum bisa memberi jawaban pasti.
”Masalah jalan tol ini, kan, banyak. Selasa (4/2), kami sudah bertemu dengan warga di DPRD Kutai Kartanegara. Kami sedang proses,” katanya di Tenggarong saat dihubungi.
Selain itu, pejabat pembuat komitmen (PPK) lahan Tol Balikpapan-Samarinda juga baru diganti. Petugas PPK lahan Tol Balikpapan-Samarinda, Rabiyatul Adawiyah, mengatakan, pihaknya hanya melakukan proses pembayaran setelah tahapan pengadaan tanah oleh BPN selesai.
”Kalau sudah ada validasi perintah kepada kami dari BPN untuk membayar, kami baru bisa melakukan pembayaran,” katanya.
Perjalanan dari pintu masuk Tol Balikpapan-Samarinda di Samboja ke Samarinda hanya butuh waktu sekitar 40 menit. Jika melalui jalan poros, butuh waktu hampir 2 jam. Namun, waktu yang singkat itu tidak dialami warga yang menunggu kepastian ganti rugi sejak Januari 2019.
Wati dan keluarga lainnya hanya berharap ada keadilan bagi mereka. ”Kami tidak melarang ada tol. Kami cuma butuh hak kami saja,” kata Wati.