Penghapusan kewenangan pemerintah daerah dalam perizinan sektor energi dikhawatirkan menghambat usaha masyarakat mengembangkan sumber energi terbarukan secara swadaya. Peran daerah tidak bisa diabaikan begitu saja.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha mengatakan tidak bisa mengabaikan peran pemerintah daerah dalam usaha mengembangkan pembangkit listrik. Di sektor ketenagalistrikan, sesuai isi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, wewenang daerah dalam hal perizinan dicabut dan dilimpahkan ke pusat. Rancangan itu dikhawatirkan menghambat usaha masyarakat mengembangkan sumber energi terbarukan secara swadaya.
Kendati segala perizinan ditarik ke pusat, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air Riza Husni berpendapat, pihaknya tidak bisa serta-merta mengabaikan pemerintah daerah. Investor tetap perlu berkoordinasi dengan pemerintah setempat saat hendak membangun suatu pembangkit listrik. Namun, pihaknya menyambut baik apabila pelimpahan wewenang perizinan bisa membuat segala prosesnya menjadi lebih sederhana.
”Jika menjadi lebih sederhana (birokrasi dan perizinannya), tentu akan lebih baik. Artinya, proses bisa dilakukan lebih cepat. Namun, belum tentu juga segalanya akan menjadi lebih murah (investasi yang dikeluarkan),” kata Riza, Rabu (26/2/2020), di Jakarta.
Selain mencabut wewenang daerah dalam hal perizinan, RUU Cipta Kerja juga menyebutkan bahwa penyediaan tenaga listrik yang penyelenggaraannya dilakukan pemerintah dikuasai oleh negara. Hal ini dikhawatirkan memperkecil peran dan inisiatif daerah dalam hal penyediaan tenaga listrik. Padahal, pengembangan energi terbarukan menyesuaikan dengan potensi yang ada di daerah.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, ketentuan mengenai penyelenggaraan ketenagalistrikan oleh pemerintah pusat dapat mengganjal pemanfaatan teknologi dan kesempatan masyarakat dalam usaha mereka mengembangkan sumber energi terbarukan menjadi listrik secara swadaya. Lebih jauh, ia mengkhawatirkan program pengembangan energi terbarukan di Indonesia menjadi terganggu.
”Terkait penarikan wewenang dari daerah ke pusat, berpotensi menyebabkan pemerintah daerah lepas tangan terhadap pengawasan langsung pengembangan ketenagalistrikan yang ada di daerah tersebut,” ujar Fabby.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi tentang polemik RUU Cipta Kerja di sektor pertambangan, Kepala Bidang Geologi dan Air Tanah pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemerintah Provinsi Banten Deri Dariawan mengatakan, pencabutan wewenang daerah ke pusat dikhawatirkan menimbulkan masalah baru.
Pasalnya, masih ada anggapan, sumber daya yang ada di daerah adalah milik daerah yang bersangkutan. Sementara itu, Staf Ahli Menteri ESDM Irwandy Arif meminta semua pihak bersabar menunggu aturan turunan dari RUU Cipta Kerja seandainya sudah sah menjadi undang-undang.
Dalam keterangan resmi pemerintah, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial mengatakan, RUU Cipta Kerja diharapkan dapat mengoptimalkan target investasi di sektor energi. Menurut dia, sampai 2024 terdapat nilai investasi sebesar 198 miliar dollar AS atau setara Rp 2.673 triliun yang berpotensi masuk ke Indonesia. Dari nilai tersebut, paling besar ada di sektor minyak dan gas bumi (migas) yang mencapai hampir 60 persen.
”Undang-undang sapu jagat diharapkan dapat mempercepat realisasi investasi di sektor energi. Upaya percepatan proses perizinan, penyempurnaan regulasi, atau keterbukaan data migas diharapkan bisa mewujudkan cita-cita peningkatan produksi migas dalam negeri,” ujar Ego.