Mendagri berkomitmen memantau pengembangan serta kebijakan anggaran pemerintah daerah untuk perluasan akses perpustakaan di desa-desa. Gerakan literasi membutuhkan dukungan konkret dari pemerintah.
Oleh
Caecilia Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen memperluas akses perpustakaan ataupun ruang baca untuk publik sampai ke tingkat desa. Untuk merealisasikan komitmen itu, diharapkan fokusnya bukan semata pada kebijakan anggaran, melainkan sampai pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnivan mengatakan, semua provinsi sudah memiliki dinas perpustakaan dan kearsipan. Namun, di tingkat kabupaten/kota, dari 514 kabupaten/kota, baru 33 di antaranya memiliki dinas perpustakaan dan kearsipan. Sisanya kebanyakan memilih menggabungkan urusan perpustakaan dan kearsipan dengan dinas lain. Hal itu mengakibatkan pengelolaan perpustakaan menjadi tidak fokus dan anggarannya tidak jelas.
Di tingkat kecamatan, baru 1.658 atau 23 persen dari 7.094 kecamatan yang memiliki perpustakaan. Di tingkat desa, sudah ada 33.929 dari total 83.451 desa mempunyai ruang baca berupa perpustakaan mini ataupun bentuk lainnya.
”Kami baru berbicara kuantitas, belum kualitas perpustakaan atau ruang baca di daerah. Masyarakat Indonesia memiliki minat baca tinggi, tetapi aksesnya yang kurang. Kami akui sudah muncul sejumlah perpustakaan atau ruang baca bersifat swadaya, tetapi alangkah baiknya jika pemerintah turun tangan lebih aktif membangun akses,” ujar Tito saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Perpustakaan Nasional 2020, Selasa (25/2/2020), di Jakarta.
Dengan adanya perpustakaan ataupun ruang baca, masyarakat mendapat informasi dan wawasan yang bisa memperkaya dirinya sehingga mereka semakin berdaya.
Dia berkomitmen mendorong aparat pemerintah daerah sampai ke tingkat desa untuk menghadirkan perpustakaan ataupun ruang baca yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat asal. Mendagri berjanji mengeluarkan peraturan Mendagri yang salah satu isinya mewajibkan pemerintah daerah memiliki perpustakaan ataupun ruang baca meskipun fasilitas itu tidak termasuk infrastruktur pelayanan dasar.
Kepada pemerintah desa, Tito menyarankan agar dana desa dipakai untuk kegiatan positif, salah satunya penyediaan perpustakaan ataupun semacam ruang baca. Mengenai hal ini, menurut rencana Tito akan membuat surat edaran.
”Perpustakaan atau ruang baca menyesuaikan kebutuhan masyarakat sekitar. Tak harus megah. Buku-bukunya pun bisa mengikuti karakteristik ekonomi sosial budaya, seperti desa pesisir butuh buku-buku kelautan,” katanya.
Dengan adanya perpustakaan ataupun ruang baca, Tito berharap masyarakat mendapat informasi dan wawasan yang bisa memperkaya dirinya sehingga mereka semakin berdaya. Dia berkomitmen ikut memantau pengembangan serta kebijakan anggaran pemerintah daerah untuk kebutuhan tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perpustakaan dan kearsipan termasuk urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Urusan ini dikelola oleh dinas setingkat eselon dua.
Kepala Biro Hukum dan Perencanaan Perpustakaan Nasional Joko Santoso menjelaskan, Rakornas Perpustakaan Nasional tahun 2020 menjadi forum diskusi antara kementerian/lembaga dan pengelola perpustakaan di seluruh Indonesia. Dari hasil diskusi diharapkan muncul gagasan mengoordinasikan pengelolaan perpustakaan, mulai dari bentuk perpustakaan umum, khusus, sekolah, sampai milik pemerintah daerah.
Sebagai contoh perpustakaan sekolah. Dari data tahun 2018, sebanyak 46 persen dari total 164.610 adalah perpustakaan sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai program gerakan literasi sekolah. Joko memandang alangkah tepat jika program itu disinergikan dengan pengelolaan perpustakaan nasional.
”Idealnya jumlah buku di perpustakaan sekolah dua kali lebih banyak dari jumlah siswa. Namun, kenyataannya tidak demikian. Ditambah lagi, pustakawan dijabat oleh guru mata pelajaran tertentu,” ujarnya.
Contoh lain yang Joko sampaikan adalah gagasan transformasi desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Strategi ini perlu disinergikan dengan pengembangan tata kelola perpustakaan atau ruang baca di tingkat desa.
Persoalan
Joko mengatakan, dari total 164.610 perpustakaan di seluruh Indonesia, tidak semuanya memiliki kualitas ideal. Dia memperkirakan hanya 19,48 persen.
Ketua Umum Ikatan Pustakawan Indonesia Syamsul Bahri menyebutkan lima permasalahan utama yang dihadapi perpustakaan di Indonesia. Permasalahan pertama adalah ketimpangan jumlah pustakawan dan perpustakaan. Jumlah pustakawan mencapai 3.596 orang, sedangkan perpustakaan 164.610 unit. Kedua, dari total pustakawan 3.596 orang, baru 1.074 orang mengantongi sertifikat kompetensi.
Persoalan ketiga, yaitu belum semua pustakawan dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi. Masih ada pustakawan hanya menunggu pengunjung datang. Kebanyakan di antara mereka kurang aktif berinovasi layanan dan kegiatan agar perpustakaan berkembang menjadi rujukan meneliti dan membantu institusi pendidikan.
Permasalahan keempat terletak pada pimpinan perpustakaan yang belum sadar pentingnya pengembangan kompetensi pustakawan. Persoalan terakhir yaitu implementasi peraturan serta standar tenaga perpustakaan belum optimal.
Syamsul mengatakan, pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) telah memuat pentingnya pengembangan kompetensi bagi ASN pustakawan minimal 20 jam setahun, tetapi realitasnya tidak demikian.
”Dari sisi pustakawan, mereka perlu didorong agar mengubah paradigma peran dari penyedia informasi menjadi pencipta pengetahuan, baik dalam pendidikan maupun penelitian,” ujarnya.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalimantan Selatan Nurliani Dardie menceritakan, waktu operasional perpustakaan provinsi masih mengikuti jam kerja kantor setiap Senin-Jumat. Pada Sabtu-Minggu, waktu operasional dari pukul 09.00 hingga 13.00. Ini salah satunya dipengaruhi oleh lokasi gedung perpustakaan jauh dari kelompok permukiman warga.
”Dengan kondisi lokasi gedung perpustakaan seperti itu, kami berusaha mengubah paradigma menunggu menjadi mendekatkan diri ke pengunjung. Kami mengembangkan perpustakaan keliling. Selain itu, kami membuat aneka program, seperti seminar bersama institusi pendidikan dan pameran buku,” ujarnya.