Bangkit dari Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual masih menjadi ancaman yang mengintai semua orang tanpa kenal waktu, tempat, dan tanpa pandang bulu. Diskursus publik diperlukan agar semakin banyak masyarakat yang berani melawan kejahatan ini.
Ada satu perjalanan yang melekat di benak karyawati swasta Jakarta, Amanda (24). Ia naik kereta rel listrik (KRL) dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Bogor pada suatu sore di 2019. Alih-alih bisa melepas lelah sejenak di kereta, ia malah berhadapan dengan pelaku pelecehan seksual.
Yang ia ingat, ada seorang laki-laki yang menggesekkan tubuhnya ke tubuh Amanda. Seorang perempuan muda di sebelah Amanda juga jadi korban.
”Aku minta bantuan ke pemuda yang sedang duduk, lalu bilang bahwa ada orang yang enggak benar. Pemuda itu langsung berdiri dan memberikan tempat duduknya untukku dan gadis di sebelahku. Kami pun aman,” kata Amanda di Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Menurut Amanda, pelaku dikucilkan oleh mayoritas penumpang setelah ia mengadu. Sang pelaku pun digiring untuk berdiri di pojok gerbong. Kode yang disampaikan Amanda ditangkap dengan cepat oleh penumpang lain karena kasus pelecehan di transportasi publik pernah terjadi berkali-kali.
Data dari PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menyebutkan, kasus pelecehan yang terjadi di KRL meningkat. Pada 2017, ada 25 kasus pelecehan yang terjadi. Seluruh kasus itu tidak dilaporkan ke polisi.
Sementara itu, kasus pelecehan meningkat menjadi 34 kasus pada 2018. Sebanyak 20 kasus di antaranya dilaporkan ke polisi dan berujung damai.
Adapun laporan pelecehan seksual pada 2017-2018 banyak terjadi di KRL relasi Bogor-Jatinegara, Bogor-Jakarta Kota, Cikarang-Jakarta Kota, dan Rangkasbitung-Tanah Abang. Semua pelaku adalah laki-laki (Kompas, 12/3/2019).
Baca juga: Kasus Pelecehan di KRL Jabodetabek Meningkat
Adapun PT Transjakarta mencatat 80 kasus pelecehan seksual terjadi pada 2018-2019. Sosialisasi prosedur 3M dilakukan kepada penumpang bila melihat pelecehan seksual. 3M adalah menegur, memisahkan korban dan pelaku, serta melapor kepada petugas (Kompas, 17/2/2020).
Menimbulkan trauma
Kisah lain dialami Lauren (24), karyawati swasta asal Jawa Tengah. Pelecehan seksual yang dialaminya saat masih duduk di bangku SMP itu meninggalkan trauma. Hal itu juga menimbulkan gejolak emosi yang baru ia alami saat beranjak dewasa.
”Kejadiannya berlangsung di lorong pasar di kotaku. Kebetulan aku sedang sendirian saat itu. Tiba-tiba, ada laki-laki berjalan ke arahku dan melakukan pelecehan,” kata Lauren.
Ia ingat betul lelaki tersebut melakukannya tanpa beban. Usai melecehkan Lauren, lelaki itu berlalu begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa. Pikiran dan tubuh Lauren seakan berhenti bekerja selama beberapa saat. Setelah itu, Lauren bergegas pulang ke rumah.
Aku jadi insecure (waswas) saat sendirian dan takut lewat tempat yang sepi. Saat dewasa, aku jadi marah dengan diri sendiri karena mendiamkan pelaku. Kenapa aku enggak teriak atau melawan. Kalau didiamkan, kan, pelaku jadi berpikir dia bisa melakukannya lagi.
Kejadian yang menimpa Lauren dipendam rapat-rapat selama lebih kurang dua tahun. Selama beberapa saat, bayang-bayang pelaku pelecehan menghantuinya hingga ke mimpi. Ia juga kerap menangis diam-diam karena karena takut ketahuan.
”Aku jadi insecure (waswas) saat sendirian dan takut lewat tempat yang sepi. Saat dewasa, aku jadi marah dengan diri sendiri karena mendiamkan pelaku. Kenapa aku enggak teriak atau melawan. Kalau didiamkan, kan, pelaku jadi berpikir bahwa dia bisa melakukannya lagi ke orang lain,” kata Lauren.
Menurut Lauren, sikap diamnya terjadi karena ia tidak tahu caranya menghadapi pelecehan. Ia menyesali minimnya diskursus publik soal pelecehan seksual di masa lampau. Ia berharap agar isu ini semakin sering dibicarakan. Dengan itu, semakin banyak pula orang yang teredukasi tentang ancaman pelecehan.
Baca juga: Sang Pemangsa Seksual
Psikolog Tika Bisono mengatakan, pada umumnya, korban pelecehan seksual yang terdiam sedang mengalami shock. Setelah itu, mereka menyangkal kejadian yang baru saja menimpanya.
”Mereka menghindar agar tidak terasa seperti habis mengalami pelecehan seksual dan ingin melupakannya. Ketika korban marah, itulah masa ketika mereka menyadari realitas yang terjadi. Di saat itu pula mereka sudah bisa berpikir rasional,” kata Tika.
Ia mendorong korban untuk segera mencari pertolongan. Sebab, korban perlu didampingi ketika menumpahkan emosinya dan untuk menghadapi traumanya. Korban juga perlu didampingi untuk memahami, mencerna, dan menerjemahkan kejadian yang dialami.
Jika tidak mencari pertolongan, korban dikhawatirkan akan mengalami trauma. Trauma tersebut akan merusak tatanan tubuh dan jiwa dan menurunkan kualitas hidup sang korban.
Gerakan publik
Ada beberapa gerakan internasional yang menjadi suntikan keberanian bagi para korban pelecehan seksual. Salah satu yang ramai dibicarakan publik beberapa tahun silam adalah tagar #MeToo.
Organisasi Me Too diinisiasi oleh Tarana Burke pada 2006. Pada 2017, gerakan ini menjadi masif setelah adanya aduan kekerasan seksual yang dilakukan oleh produser Hollywood, Harvey Weinstein. Gerakan ini populer di media sosial dengan tagar #MeToo.
Tagar ini mendorong orang-orang, khususnya korban pelecehan seksual, untuk berani. Mereka pun tergerak untuk maju dan melaporkan pelecehan yang mereka alami. Mengutip BBC, kini, Harevy Weinstein dinyatakan bersalah atas tuduhan pemerkosaan tingkat tiga dan tindakan seksual kriminal tingkat satu.
Sementara itu, di Indonesia, gerakan anti-kekerasan seksual belum menjadi puncak pikiran (top of mind) masyarakat maupun pemerintah. Sejumlah kampanye telah digaungkan, tetapi masyarakat merasa gerakan tersebut belum menyentuh setiap lapis masyarakat.
”Sosialisasi untuk menyikapi pelecehan seksual masih sangat minim di Indonesia. Prosedur pelaporan ke pihak berwajib pun membingungkan,” kata Tika.
Menurut Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan 2018 oleh Komnas Perempuan, kekerasan yang paling menonjol terjadi di ranah KDRT/RP (kekerasan dalam rumah tangga/ranah pribadi) dengan angka 71 persen atau 9.637 kasus. Dari data itu, tidak sedikit yang mengalami kekerasan seksual.
Sementara itu, ada 3.915 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik atau komunitas. Kasus yang terjadi adalah pencabulan (1.136 kasus), pemerkosaan (762 kasus), pelecehan seksual (394 kasus), dan persetubuhan (156 kasus).
Kendati demikian, isu pelecehan seksual dan cara menyikapinya perlahan menjadi diskursus publik di media sosial. Beberapa akun menceritakan pengalamannya dan warganet lain memberi dukungan moral. Ada pula yang memberi informasi tentang layanan pengaduan.
Salah satu korban pelecehan, Lauren, berharap, isu ini bisa terus dibicarakan sehingga kesadaran publik meningkat. Ia berharap agar pengalamannya di masa lalu tidak perlu terjadi lagi kepada orang lain.