Wabah Covid-19 menyebabkan impor bahan baku industri, terutama dari China, terhambat. Ini bisa menyebabkan pendapatan industri berkurang, biaya produksi bertambah, dan tenaga kerja bisa dikurangi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu sumber impor bahan baku Indonesia berasal dari China yang aktivitas industrinya tengah melesu akibat wabah virus korona baru (Covid-19). Ini bisa berdampak pada kelangkaan bahan baku karena pengiriman tertunda. Dampak rambatan lainnya adalah berkurangnya pendapatan dan tambahan beban biaya industri, serta pengurangan tenaga kerja untuk sementara waktu.
Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi, Rabu (26/2/2020), mengatakan, berkurangnya bahan baku yang diproduksi China menyebabkan harga di tingkat dunia untuk barang yang sama berpotensi melonjak. ”Akibatnya, sejumlah pelaku usaha menunda impor bahan baku,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Menurut Subandi, penundaan itu bisa melemahkan industri karena pelaku industri akan mengurangi volume produksi. Pengurangan volume produksi akan berdampak pada penghentian tenaga kerja secara sementara.
Jika kondisi ini berlarut-larut, gejolak inflasi akan terjadi akibat kenaikan harga jual produk. ”Kami berharap pemerintah memberikan fasilitas dalam impor bahan baku di tengah melesunya perekonomian di China akibat wabah Covid-19,” katanya.
Penundaan itu bisa melemahkan industri karena pelaku industri akan mengurangi volume produksi. Pengurangan volume produksi akan berdampak pada penghentian tenaga kerja secara sementara.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor Indonesia dari China turun sebesar 4,6 persen pada Januari 2020 dibandingkan periode sama 2018. Penurunan itu terjadi pada kelompok barang besi dan baju, yaitu 39,47 persen, bahan kimia organik (15,04 persen), barang dari besi dan baja (13,34 persen), plastik dan barang dari plastik (9,2 persen), filamen buatan (6,58 persen), serta mesin dan perlengkapan elektrik (2,8 persen).
Chairman Asosiasi Besi dan Baja Nasional (IISIA) Silmy Karim menyatakan, kelompok barang besi dan baja jenis HS72 yang diimpor berupa produk jadi. ”Penurunan impor kelompok barang HS72 berpeluang meningkatkan utilisasi industri baja nasional,” ujarnya.
Namun, Wakil Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Ismail Mandry menyebutkan, kelompok barang besi dan baja yang impornya turun dari China memuat produk skrap. Skrap merupakan bahan baku untuk membuat produk baja jadi.
Penurunan impor itu tak hanya terpukul oleh penyebaran Covid-19 di China, tetapi juga terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. Peraturan ini mewajibkan skrap yang diimpor mesti bersih dan homogen tanpa toleransi jumlah bahan ikutan (impuritas).
”Aturan tersebut tidak sesuai dengan regulasi internasional. Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan tersebut membuat pemasok dari China enggan mengimpor skrap untuk kebutuhan industri baja Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wirawasta berpendapat, penurunan impor filamen buatan dari China membuka ruang bagi benang filamen produksi lokal. Benang filamen domestik dapat menjadi substitusi bahan baku bagi industri kain dalam negeri.
Hal ini tampak dari meningkatnya permintaan benang filamen dari pelaku industri kain dalam dua minggu terakhir. ”Kenaikannya mencapai 15 persen secara bulanan,” kata Redma.
Namun, Redma khawatir apabila perindustrian filamen buatan China dapat pulih kembali akan berujung pada pelepasan stok yang selama ini menumpuk dan tertahan. Akibatnya, harga filamen buatan tersebut menjadi lebih murah dan lebih berdaya tarik bagi industri kain.
Apabila perindustrian filamen buatan China dapat pulih kembali akan berujung pada pelepasan stok yang selama ini menumpuk dan tertahan. Akibatnya, harga filamen buatan tersebut menjadi lebih murah dan lebih berdaya tarik bagi industri kain.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengemukakan, pengiriman beberapa bahan baku yang sudah masuk komitmen kontrak berpotensi mundur. Awalnya, bahan baku dari China untuk produksi alas kaki yang menarget masa Lebaran sudah harus masuk ke Indonesia akhir Maret 2020. Namun, kini pengiriman itu mundur menjadi April.
Kondisi itu membuat pelaku industri domestik mau tidak mau harus mengejar target agar peluang menggarap pasar saat Lebaran tidak terlepas. ”Kemungkinan kami akan keluar biaya overtime (upah lembur) untuk mengejar Lebaran,” katanya.
Waspadai pelemahan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pertumbuhan ekonomi global dan domestik akan terkoreksi pada triwulan I-2020. Perlemahan ekonomi akan berlanjut apabila wabah Covid-19 tak kunjung deeskalasi.
”Pemerintah kini mewaspadai dampak Covid-19 di sektor manufaktur dan harga komoditas,” ujarnya.
Perekonomian Indonesia pada triwulan I-2020 berisiko tumbuh di bawah 5 persen. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 sebesar 4,9 persen. Adapun pemerintah optimistis ekonomi tetap tumbuh berkisar 5 persen.
Sementara, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional akan terkoreksi 0,3-0,6 persen setiap pertumbuhan ekonomi China turun 1 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan memfasilitasi alternatif pasar impor bahan baku dan barang modal. Ini untuk menjaga produktivitas industri domestik guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani berpendapat, upaya mencari alternatif negara impor bahan baku selain dari China bukan perkara mudah. Jenis barang impor relatif sulit didapat dan harga yang ditawarkan lebih mahal. Di sisi lain, penjajakan dengan mitra dagang baru juga membutuhkan waktu. (CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO/KARINA ISNA IRAWAN)