Kasus kejahatan terhadap anak kembali terjadi di Provinsi Aceh. Kasus tersebut memperpanjang deretan peristiwa pemerkosaan terhadap anak di Tanah Rencong.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kasus kejahatan terhadap anak kembali terjadi di Provinsi Aceh. Seorang anak perempuan berusia 13 tahun, warga Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, menjadi korban pemerkosaan RR (20), pamannya. Kasus tersebut menunjukkan perlindungan terhadap anak masih lemah.
Kepala Kepolisian Resor Kota Banda Aceh Komisaris Besar Trisno Riyanto kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (27/2/2020), mengatakan korban dan pelaku tinggal serumah. Saat rumah sepi, pelaku memerkosa korban. Hasil visum, kelamin korban mengalami luka robek.
Pemerkosaan terjadi pada Juli 2019, tetapi korban baru mengadu kepada orangtua pada 11 Februari 2020. Mendengar cerita pilu dari anaknya, orangtua korban melapor kepada polisi. Pelaku ditangkap pada 17 Februari 2020 di Meuraxa.
”Dalam banyak kasus persetubuhan terhadap anak, pelakunya adalah orang dekat. Orangtua harus lebih ketat menjaga anak,” kata Trisno.
Pelaku dijerat dengan Pasal 81 juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Kasus tersebut memperpanjang deretan peristiwa pemerkosaan terhadap anak di Tanah Rencong. Selama 2018 hingga 2020, Polresta Banda Aceh menangani 44 kasus.
RR, tersangka pemerkosaan, dihadirkan saat gelar perkara. Di hadapan wartawan dan Kepala Polresta Banda Aceh, dia menangis sesenggukan. Dia sangat menyesali perbuatannya. ”Kamu harus banyak istigfar, minta ampun kepada Allah,” kata Trisno menguatkan RR. Sementara korban kini didampingi oleh psikolog.
Sebelumnya pada 22 Januari 2020, seorang laki-laki berinisial M (39) di Aceh Besar ditangkap polisi karena memerkosa seorang anak di bawah umur 11 tahun. Kasus ini ditangani Polresta Banda Aceh. Pelaku dan korban bertetangga sehingga korban kerap bermain ke rumah pelaku. Bukan melindungi anak, M justru melakukan kejahatan terhadap korban.
Kota Banda Aceh kini sedang mempersiapkan diri menjadi kota ramah anak. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi membuat pemerintah kota harus bekerja lebih keras melindungi anak-anak dari kekerasan.
Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman mengatakan, kota ramah anak digagas untuk melindungi anak sejak dari keluarga hingga ke lingkungan masyarakat. Bukan hanya dilindungi, anak-anak juga dilibatkan dalam proses pembangunan dan pemenuhan haknya.
”Pelaku kejahatan terhadap anak harus dihukum berat agar memberikan efek jera,” kata Aminullah.
Komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh, Firdaus Nyak Idin, mengatakan pendampingan psikologis tidak berkelanjutan. Biasanya pendampingan hanya dilakukan pada masa proses hukum. Namun, setelah persidangan selesai, pendampingan berakhir. ”Dalam kasus kekerasan seksual kerap tidak didampingi sampai tuntas,” ujar Firdaus.
Pelaku kejahatan terhadap anak harus dihukum berat agar memberikan efek jera.
Menurut psikolog forensik anak dan dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh. Endang Setianingsih, pemulihan trauma bagi anak korban kekerasan sangat penting. Jika tidak dipulihkan, anak sulit menjalani tumbuh kembang dan sulit bergaul dengan lingkungannya.
”Pemulihan butuh waktu lama, bisa sampai dua tahun. Pendampingan harus sampai reintegrasi sosial,” ujar Endang.