RUU Ketahanan Keluarga tampil sebagai jawaban atas dua persoalan. Pertama, terdapat situasi rentan dalam keluarga di Indonesia. Kedua, belum ada aturan menyeluruh tentang keluarga. Apakah mendesak dan menjamin hak warga?
Oleh
MAHATMA CHRYSNA
·5 menit baca
Munculnya RUU Ketahanan Keluarga dalam Prolegnas prioritas menuai berbagai kritik. Berbagai kritik langsung merujuk pada pasal-pasal dalam RUU tersebut.
Selain kritik terhadap isi tiap pasal, patut dilihat pula latar belakang dan kerangka berpikir yang digunakan dalam RUU ini. Hal itu dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, sebenarnya seberapa mendesak RUU ini sehingga masuk dalam Prolegnas prioritas 2020? Apakah mampu menjamin hak-hak masyarakat sebagai warga negara?
Kerentanan keluarga
Dalam bahan narasumber yang dilampirkan dalam tahap harmonisasi 13 Februari 2020, diperlihatkan logika berpikir sehingga RUU Ketahanan Keluarga mendesak untuk diundangkan.
Di bagian awal, ditunjukkan bahwa keluarga Indonesia berada dalam kondisi yang kurang kuat atau rentan. Di sini, kerentanan keluarga dipahami sebagai ”suatu kondisi atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan atau proses-proses tertentu yang dapat memengaruhi penurunan daya kemampuan Keluarga dalam menghadapi permasalahan dan gangguan dalam menjalankan fungsinya”.
Kerentanan yang dimaksud diidentifikasi dalam enam situasi. Setiap situasi berkontribusi terhadap kerentanan yang mungkin dialami oleh sebuah keluarga.
Dalam bagian latar belakang, kondisi rentan tersebut ditampakkan dalam profil keluarga Indonesia saat ini yang tidak menggembirakan.
Profil keluarga Indonesia yang ditampilkan adalah tingginya angka kematian ibu dan bayi, sempitnya rumah yang dihuni keluarga Indonesia, penurunan angka perkawinan, kenaikan angka perceraian, kurangnya nutrisi bagi anak, hingga naiknya persentase remaja yang merokok dan melakukan seks di luar nikah.
Yang patut digarisbawahi adalah RUU Ketahanan Keluarga dibangun dengan dasar bahwa keluarga merupakan modal dan titik sentral dalam pembangunan. Oleh karena itu, ketika keluarga yang merupakan modal utama pembangunan mengalami kerentanan, diperlukan usaha untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam menghadapi permasalahan dan gangguan dalam menjalankan fungsinya.
Usaha tersebut tertuang dalam aturan menyeluruh yang mengatur keluarga. Dengan logika tersebut, kerentanan dianggap sebagai pemicu bagi RUU Ketahanan Keluarga untuk segera disahkan.
Memang benar bahwa terdapat hal-hal yang kurang menggembirakan terkait profil keluarga Indonesia yang dipaparkan oleh naskah akademis RUU Ketahanan Keluarga. Namun, dari hal tersebut tak dapat ditarik kesimpulan bahwa kerentanan terjadi pada sebagian besar atau seluruh keluarga di Indonesia.
Naskah Akademis sendiri dengan rendah hati menyadari bahwa ”kajian empiris di Indonesia masih tergolong sangat terbatas dengan jumlah responden rata-rata yang sangat kecil sehingga perlu berhati-hati dalam menarik kesimpulan untuk tingkat nasional”.
Belum ada aturan
Menurut bahan narasumber yang disebut di atas, kemendesakan bagi RUU ini muncul terutama karena ”Peraturan perundangan-undangan yang mengatur urusan keluarga masih parsial dan belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga diperlukan Undang-Undang yang mengatur Ketahanan Keluarga”.
Untuk mendukung pendapat tersebut, naskah akademis pendamping RUU ini mencoba mengevaluasi 19 UU yang di dalamnya mengatur keluarga.
Dari sisi keragaman tema, terdapat berbagai tema UU yang dievaluasi, antara lain UU tentang perkawinan, anak, pekerjaan, pornografi, ITE, sisdiknas, kependudukan, kesehatan, kementerian, kesejahteraan sosial, permukiman, hingga penyiaran.
Dari sisi tahun penerbitan UU, dievaluasi UU mulai dari tahun 1974, yakni UU Perkawinan, hingga yang terbaru UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Evaluasi terhadap berbagai UU tersebut dilakukan dengan kacamata keluarga. Hasilnya, 19 UU tersebut dianggap belum mencukupi. Oleh karena itu, RUU Ketahanan Keluarga akan melengkapinya.
Naskah akademis tersebut menyarankan bahwa ”berdasarkan latar belakang permasalahan, diperlukan upaya kenegaraan untuk membuat regulasi yang kokoh dengan sasaran spesifik tentang ketahanan keluarga”.
Terhadap logika berpikir tersebut, dapat ditanyakan, apakah karena belum ada RUU Ketahanan Keluarga kemudian menuntut agar RUU Ketahanan Keluarga sesegera mungkin diadakan?
Jalan masih panjang
Dari paparan di atas, RUU Ketahanan Keluarga berangkat dari pendapat bahwa keluarga merupakan modal dan titik sentral pembangunan. Lantas, ketahanan keluarga merupakan pilar utama mewujudkan ketahanan nasional.
Ketahanan keluarga diperlukan karena terjadi pergeseran nilai luhur budaya bangsa dan tatanan keluarga yang membuat keluarga menjadi rentan. Dalam situasi tersebut, diperlukan sebuah aturan yang menyeluruh yang berpihak pada kepentingan keluarga dan memberikan perlindungan kepada keluarga.
Argumentasi di atas belum berhasil menunjukkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga perlu segera dibahas dan disahkan. Alasan adanya kerentanan keluarga dan belum adanya aturan belum menjadi unsur yang mendesak bagi eksistensi RUU ini.
Belum lagi bila melihat pasal demi pasal yang menjadi perwujudan dari logika berpikir yang muncul dalam naskah akademik RUU ini.
Berbagai kritik yang telah muncul menunjukkan bahwa walaupun terdapat berbagai situasi rentan yang coba ditunjukkan, jawaban yang dimunculkan lewat RUU ini pada beberapa hal malah bertentangan, bahkan terkesan menjadi kemunduran atas usaha yang selama ini telah dilakukan.
Dengan demikian, sebelum memasuki persoalan kesesuaian antara tujuan luhur dalam naskah akademik dan perwujudannya dalam pasal-pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga, RUU ini perlu lebih menunjukkan kemendesakan untuk dibahas dan segera disahkan.
Hal tersebut perlu diupayakan mengingat kemendesakan menjadi salah satu unsur penting bagi Badan Legislasi DPR untuk memasukkan sebuah RUU dalam Prolegnas prioritas 2020.
Faktanya, RUU ini sudah masuk dalam Prolegnas prioritas dalam tahap penyusunan, yakni harmonisasi. Dalam tahap ini, baru dilakukan penjelasan pengusul RUU tentang Ketahanan Keluarga. Jalan RUU Ketahanan Keluarga untuk disahkan menjadi UU masih panjang.
Dalam tahap penyusunan pun masih perlu persetujuan rapat paripurna sebelum diusulkan sebagai RUU usulan DPR. Selanjutnya, masih terdapat dua tingkat pembahasan sebelum ditetapkan sebagai UU.
Jika RUU Ketahanan Keluarga tak mampu menyuguhkan dimensi kemendesakan, Tata Tertib DPR memberikan kesempatan untuk merumuskan ulang sebelum ditetapkan sebagai RUU usulan DPR dalam Rapat Paripurna DPR.
Tata Tertib DPR memang tidak mengharuskan untuk mengundang masyarakat dengan penggunaan istilah ”dapat mengundang masyarakat”. Namun, mengingat banyaknya kritik terhadap RUU tersebut, DPR perlu mengundang masyarakat untuk ikut memberikan masukan terhadap RUU Ketahanan Keluarga.
Dengan demikian, masyarakat sendiri dapat menyuarakan, apakah aturan yang akan diberlakukan benar-benar mendesak dan mampu menjamin hak-haknya sebagai warna negara. (LITBANG KOMPAS)