Dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi, jika dua dasawarsa itu dihabiskan dalam ketidakpastian, menyangkut masa depan kehidupan keluarga.
Oleh
·2 menit baca
Kondisi tanpa kepastian dan didera kemiskinan adalah kenyataan yang dihadapi tidak kurang dari 358 keluarga eks Timor Timur yang memilih tetap menjadi warga negara Indonesia. Mereka terdiri atas sekitar seribu jiwa yang dari laporan Kompas, pekan lalu, masih menempati Kamp Tuapukan di Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (Kompas, 24-26/2/2020).
Selain di Kabupaten Kupang, kamp pengungsi bagi warga eks Timtim, provinsi ke-27 RI (waktu itu), yang kini bernama Timor Leste, juga berada di Kota Kupang serta Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, dan Timor Tengah Selatan. Sesuai data Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Provinsi NTT 2005, pengungsi dari Timtim setelah penentuan pendapat 1999 sebanyak 104.436 orang. Pada 2005, pemerintah menghapus status pengungsi untuk mereka.
Selain di NTT, sejumlah warga eks Timtim juga kembali ke Jawa, Sulawesi, dan wilayah lain di Indonesia. Mereka tinggal dan memulai hidup baru. Tak ada laporan mengenai kondisi warga eks Timtim di luar kamp pengungsian. Seperti warga di pengungsian, mereka juga kehilangan harta dan keluarga.
Dari penentuan pendapat (referendum) tanggal 30 Agustus 1999, sebanyak 94.388 orang (21,5 persen) penduduk Timtim memilih tetap bergabung dengan Indonesia dan 78,5 persen (344.580 orang) memilih merdeka. Timor Leste resmi menjadi negara merdeka pada 20 Mei 2002. Warga yang tetap memilih menjadi WNI mulai meninggalkan Timtim tahun 1999.
Sesuai laporan harian ini, setelah 20 tahun lebih, nasib warga eks Timtim di pengungsian merana. Mereka miskin, tanpa pekerjaan atau tanah. Bantuan pemerintah dan lembaga lain terhenti. Tinggal warga setempat yang membantu dengan memberi pekerjaan atau membiarkan tanahnya digarap warga eks Timtim itu. Sebagian warga eks Timtim itu meninggalkan pengungsian untuk mencari penghidupan di daerah lain.
Penghapusan status pengungsi pada 2005 semestinya tidak menghapus tanggung jawab pemerintah guna merampungkan problem hidup warga eks Timtim. Mereka itu anak-anak negeri yang masa depannya menjadi tanggung jawab negara. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memastikan mereka adalah WNI yang berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak. Mereka berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Apalagi, sebagian di antara mereka itu anak-anak.
Kondisi warga eks Timtim yang merana mengingatkan pada film yang disutradarai Riri Reza berjudul Atambua 39 Derajat Celsius. Ronaldo Bautista yang mencintai ”Merah Putih” ter- pisah dari Apolonia, istrinya yang memilih Timor Leste. Pada satu titik, Ronaldo yang ditemani Joao, anak lelakinya, me- nyadari, semestinya negara tak bisa memisahkan keluarga dan tanah kelahiran. Anak-anak negeri memerlukan perhatian dan kasih negerinya. Bukan kepedihan.