Rakyat di Antara Resesi Ekonomi, Korupsi, dan Janji Jokowi
Investasi perlu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, upaya itu jangan menegasikan hak-hak pekerja. Di sisi lain, regulasi ketenagakerjaan bukan yang utama menjadi penghambat investasi, tapi justru korupsi.
Investasi memang perlu didorong demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun,upaya itu tidak seharusnya menegasikan hak-hak pekerja. Di sisi lain, regulasi ketenagakerjaan bukan yang utama menjadi penghambat investasi, tetapi justru korupsi.
”Saya ngomong apa adanya. Saya sudah enggak ada beban apa-apa,” ujar Presiden Joko Widodo di hadapan para pengusaha yang tergabung dalam pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Istana Merdeka, Jakarta. Saat itu, 13 Juni 2019, selang beberapa pekan setelah Presiden Joko Widodo diumumkan sebagai pemenang Pemilihan Umum 2019.
Suasana saat itu sedang diwarnai ketidakpastian politik pasca-pengumuman pemilu dan proses sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, dinamika perang dagang antara Amerika Serikat dan China masih membayangi perekonomian.
Pekan itu, Presiden sampai dua kali mengundang perwakilan asosiasi pengusaha ke Istana. Pertama, pada 11 Juni 2019, Presiden mengundang pengusaha dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Pertemuan kedua dilanjutkan dengan pengurus Apindo dan Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) pada 13 Juni 2019.
Dalam kedua pertemuan itu, Presiden mengatakan, pemerintah siap melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan perekonomian Indonesia di tengah konflik dagang AS-China yang memengaruhi kondisi ekonomi global. Untuk itu, Presiden pun meminta pengusaha tidak ragu memberi masukan pada pemerintah.
Di hadapan para pengusaha, Presiden menyebut dunia usaha menjadi prioritas pada periode kedua pemerintahannya. Ia berjanji mengevaluasi regulasi yang dianggap menghambat perkembangan dunia usaha. Tidak hanya itu, Presiden juga berjanji akan mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) jika situasi mendesak (Kompas, 14/6/2019).
Berdasarkan catatan Kompas, kalangan pengusaha punya kontribusi besar mengantarkan Presiden Jokowi kembali menjabat untuk kedua kali. Sumbangan dari pengusaha menjadi sumber penting pendanaan Jokowi-Ma’ruf Amin saat Pemilu 2019.
Laporan final penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin menunjukkan, jumlah penerimaan dana kampanye sebanyak Rp 606 miliar. Sumbangan paling banyak diterima dari 40 perusahaan (badan usaha nonpemerintah), yakni sebesar 41,8 persen atau Rp 253,9 miliar. Selain itu, sumbangan dari 17 kelompok senilai Rp 215 miliar juga didominasi dari kumpulan pengusaha.
Bendahara TKN Jokowi-Amin, Wahyu Sakti Trenggono, pada Mei 2019, mengatakan, pengusaha antusias menyumbang untuk kampanye Jokowi-Amin karena menilai Jokowi selama ini mampu menjaga ekosistem kebebasan berusaha.
Saat ditanyakan apakah potensi sumbangan yang dominan dari pengusaha itu berpotensi memengaruhi kebijakan pemerintah di kemudian hari, Trenggono tidak menampik. Ia mengatakan, para pengusaha memang berharap, kebijakan Jokowi-Amin semakin berpihak pada ekosistem berusaha.
”Ya pasti (memengaruhi kebijakan pemerintah), dong, tetapi memengaruhi dalam arti positif, untuk kemajuan rakyat,” katanya saat itu.
Delapan bulan berlalu sejak pertemuan di Istana, pemerintah pun menepati janjinya membuat terobosan regulasi bagi dunia usaha. Di tengah ancaman dampak resesi ekonomi global dan wabah virus korona baru (Covid-19), pemerintah mengeluarkan dua regulasi sapu jagat (omnibus law) demi memperlancar investasi.
Regulasi itu adalah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Untuk menyusun RUU Cipta Kerja itu, pengusaha kembali dimintai masukan. Pada Oktober 2019, setelah pidato pertama Presiden tentang omnibus law, Ketua Kadin Indonesia Rosan P Roeslani diminta mengumpulkan lebih dari 40 asosiasi bisnis untuk memberi masukan terhadap draf RUU buatan pemerintah.
Sumpah kerahasiaan
Satuan Tugas Omnibus Law Cipta Kerja pun dibentuk dan bekerja di bawah sumpah kerahasiaan dengan Rosan sebagai ketua. Unsur akademisi dan pemerintah ikut terlibat di dalamnya.
Atas inisiatif sendiri, Rosan juga ikut menggandeng Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Saat itu, baru ada puluhan pasal yang tercantum dalam draf mentah yang disusun pemerintah.
”Dinamikanya sangat tinggi karena masukan dari pemerintah masih berubah, ada kementerian yang baru memberi masukan di saat-saat terakhir,” kata Rosan saat berkunjung ke Redaksi Kompas, Kamis (20/2/2020).
Baca juga: Ini Pengakuan Tim Satuan Tugas Omnibus Law yang Dipimpin Rosan Roeslani
Rosan mengatakan, masukan yang muncul di saat-saat terakhir itu, salah satunya, terkait kluster isu ketenagakerjaan. Pada 16 Januari 2020, saat draf RUU awalnya hendak diserahkan ke DPR, belum ada bab tentang ketenagakerjaan. ”Oleh karena itu, masukan resmi kami tidak ada yang terkait dengan tenaga kerja. Mereka (pemerintah) mengatakan akan meng-handle sendiri,” kata Rosan.
Pemerintah, kata Rosan, dengan dibantu masukan dari pengusaha dan beberapa akademisi, pada dasarnya punya tujuan baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. RUU Cipta Kerja diharapkan meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja, dan menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Namun, RUU itu dinilai condong pada kepentingan pengusaha atau investasi ketimbang hak, perlindungan, dan kesejahteraan pekerja. Pelaku usaha tidak hanya diuntungkan oleh RUU Cipta Kerja, tetapi juga oleh RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Baca juga: Buruh Siapkan RUU Cipta Kerja Tandingan
Lewat RUU sapu jagat itu, pengusaha mendapat fasilitas dan insentif pajak baru berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan menjadi 20 persen, tambahan penurunan tarif PPh badan untuk perusahaan terbuka 3 persen, penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri, serta penyesuaian tarif PPh atas bunga. Penghasilan tertentu dari luar negeri, termasuk dividen, juga tidak dikenai PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia.
Pengusaha yang terkena pajak juga mendapat relaksasi hak pengkreditan pajak masukan. Di atas itu semua, berbagai sanksi hukuman pidana untuk pengusaha juga dihapus. RUU Cipta Kerja juga melonggarkan perizinan, syarat investasi, dan memberi kemudahan bagi pelaku usaha di berbagai sektor strategis, seperti pertambangan dan energi.
Sementara, buruh kehilangan sejumlah hak. Dari segi kesejahteraan dan daya beli, formula upah minimum berubah dengan meniadakan inflasi dan hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi daerah. Hal itu dikhawatirkan bisa berpengaruh pada standar upah yang lebih rendah.
Sejumlah komponen pesangon dan uang pengganti saat pemutusan hubungan kerja (PHK) juga berkurang. Pemerintah menawarkan kompensasi program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP)–yang salah satunya mencakup pemberian uang tunai (cash benefit) kepada pekerja yang dipecat. Namun, uang itu pun ternyata bersumber dari iuran pekerja.
Dari segi daya tawar buruh dan perlindungan hukum, beberapa hak buruh juga dibuat kabur. Sebut saja penghapusan hak buruh untuk mengajukan permohonan PHK ke pengadilan jika merasa dirugikan perusahaan. Demikian juga hak buruh untuk menggugat perusahaan ke pengadilan jika buruh tidak setuju di-PHK.
Dalam draf RUU Cipta Kerja, buruh dengan pelanggaran ringan juga tidak perlu diberi surat peringatan tiga kali sebelum di-PHK. Pengusaha bisa langsung memecat pekerja bersangkutan. Prinsipnya, easy hire easy fire, ”mudah direkrut, mudah dipecat”.
Pengorbanan
Wakil Ketua Satgas Omnibus Law Cipta Kerja Shinta Kamdani berdalih, demi meningkatkan investasi, pengorbanan mesti dilakukan. Pengusaha ataupun buruh, ujarnya, sama-sama dikorbankan.
Misalnya, keharusan pengusaha membayar sweetener atau uang penghargaan pada karyawan yang mencapai lima kali upah. Uang pemanis itu diberikan satu kali sepanjang masa kerja. Ketentuan itu dikecualikan untuk perusahaan skala mikro dan kecil.
”Buruh berkorban, kami juga berkorban. Pengusaha disuruh memberi sweetener. Apa dampaknya itu terhadap aliran kas perusahaan? Orang sekarang saja kita lagi susah banget. Tapi, kenapa kita mau? Karena kita tahu, pada akhirnya harus saling memberi dan menerima (take and give),” kata Shinta.
Terkait kemudahan PHK, Shinta menyatakan, kemudahan PHK dibutuhkan untuk menarik investor karena selama ini, dalam hubungan industrial, pengusaha sangat sulit memecat pekerjanya.
”Dengan hubungan industrial selama ini, kita mau pecat orang itu susah setengah mati. Ketika kita bicara mau menarik investasi, tentu jadi tidak menarik, apalagi kalau kita mau membidik industri padat karya,” ujar Shinta.
Di tengah substansi RUU yang problematik itu, buruh juga tidak mendapat ruang pelibatan yang seimbang. Asosiasi buruh baru secara resmi dilibatkan untuk ikut memberi catatan pada draf RUU Cipta Kerja setelah draf dan naskah akademik diserahkan ke DPR.
Sejauh ini, Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang dibentuk pemerintah dan melibatkan buruh dan pengusaha sudah rapat sebanyak empat kali. Namun, belum ada jaminan masukan buruh akan dibawa saat pembahasan berlangsung di DPR.
Apalagi, mengingat proses politik di DPR akan berlangsung lebih kompleks karena menyangkut kepentingan sembilan partai politik yang berbeda. Satu per satu asosiasi buruh yang awalnya terlibat dalam tim tersebut pun satu per satu menarik diri.
”Kami awalnya ingin menjadi penyaring, sementara yang lain berjuang di luar (tim). Namun, ternyata tidak efektif, toh pemerintah juga tidak bisa menjamin masukan kami akan di-follow up seperti apa nanti di DPR,” kata Sekretaris Jenderal Kondeferasi Serikat Pekerja Nasional Benny Rusli.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan, keseimbangan kedua kepentingan itu diperlukan dalam konteks meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebab, kesejahteraan pekerja tidak bisa dipisahkan dari daya beli dan konsumsi rumah tangga.
Namun, ujarnya, menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan buruh itu pada kenyataannya tidak mudah untuk dilakukan. ”Sumber daya kami juga tidak cukup untuk menampung respons yang begitu banyak. Ada begitu banyak kluster isu yang semuanya sangat teknis,” katanya.
Keseimbangan kedua kepentingan itu diperlukan dalam konteks meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebab, kesejahteraan pekerja tidak bisa dipisahkan dari daya beli dan konsumsi rumah tangga.
Ia mengatakan, pemerintah membentuk tim antara buruh dan pengusaha untuk menampung masukan para buruh, khususnya terkait penyusunan rancangan peraturan turunan dari RUU Cipta Kerja.
”Mari membangun konstruksi rancangan peraturan pemerintah (PP) itu dari nol. Untuk beberapa pasal, justru poin utamanya ada di PP karena UU ini lebih banyak akan diatur di rancangan PP,” ujarnya.
Korupsi
Regulasi tenaga kerja sebenarnya bukan alasan utama penghambat investasi. Laporan Global Competitiveness Report 2017-2018 dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2019 terhadap pelaku bisnis memetakan, faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, disusul inefisiensi birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, dan kebijakan tidak stabil. Faktor peraturan tenaga kerja ada di urutan terbawah.
Berbagai penelitian juga menunjukkan, upaya memperbaiki iklim investasi selalu sejalan dengan langkah menekan korupsi. Namun, alih-alih menguatkan pemberantasan korupsi, pemerintah justru merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Transparency International dalam laporan Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi) 2019 yang dirilis Januari 2020 menyoroti ironi itu. Pelemahan di bidang pemberantasan korupsi itu dinilai bertentangan dengan agenda Presiden Jokowi yang tengah mendorong masuknya investasi asing demi peningkatan ekonomi.
Dadang Trisasongko dari Transparency International Indonesia (TII) mempertanyakan kualitas investasi yang hendak diincar pemerintah. Sebab, pemberantasan korupsi yang melemah dapat membuat investor khawatir dan enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
”Di negara bersih, investor korup tidak akan kerasan. Sebaliknya, hanya investor korup yang bisa bertahan hidup di negara yang korup,” kata Dadang.
Pemberantasan korupsi yang melemah dapat membuat investor khawatir dan enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
Baca juga: Pemberantasan Korupsi dan Investasi
Adapun kondisi perekonomian dunia saat ini tengah terancam pasca-merebaknya virus korona tipe baru, yang menggoyang China sebagai raksasa ekonomi dunia. Epidemi itu turut memengaruhi perekonomian Indonesia, mengingat China adalah salah satu investor terbesar serta pemasok jumlah wisatawan mancanegara terbanyak untuk Indonesia.
Di tengah ancaman resesi ekonomi global itu, menurut Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal, investasi perlu didorong demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, ia mengingatkan, upaya itu tidak seharusnya menegasikan hak-hak dan kesejahteraan pekerja.
”Investasi bukan semata-mata kuantitas, melainkan kualitas. Harus ada dampak pengganda (multiplier effect) yang dihasilkan berupa terciptanya lapangan kerja dan terwujudnya kesejahteraan rakyat,” kata Faisal.
RUU Cipta Kerja, kata Faisal, memberi banyak kemudahan pada pengusaha, tetapi di sisi lain mengabaikan hak-hak buruh. Jika ketimpangan ini terjadi dalam sebuah regulasi, tujuan meningkatkan kualitas ekonomi bisa-bisa tidak tercapai.
Badan Pusat Statistik mencatat, perekonomian Indonesia masih sangat dipengaruhi komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga, sebesar 56,82 persen. Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga itu masih sangat ditentukan oleh faktor pendapatan rumah tangga dan daya beli pekerja.
Faisal menambahkan, pertumbuhan investasi yang tidak diiringi peningkatan kesejahteraan pekerja justru bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mencari titik keseimbangan antara memudahkan iklim berusaha tanpa harus mengorbankan hak-hak buruh.
”Bisa jadi banyak investor mau masuk karena tergiur nilai tawar buruh Indonesia yang rendah. Namun, apa dampaknya untuk pertumbuhan ekonomi kalau kita hanya punya investasi banyak, tetapi kualitasnya rendah?” katanya.
Di tengah kritik dan protes terhadap RUU Cipta Kerja, Kamis (20/2/2020), Presiden Jokowi kembali membuat janji. Melalui akun resmi media sosial Twitter dan Facebook, Presiden mengatakan, pemerintah dan DPR akan terbuka menerima masukan dari berbagai pihak. Namun, ia meminta agar draf RUU Cipta Kerja dipelajari terlebih dahulu dengan saksama.
Baca juga: Presiden: DPR dan Pemerintah Terima Masukan
Janji harus ditepati agar tidak cuma berakhir sebagai pepesan kosong. Janji kemudahan berusaha bagi pengusaha yang digaungkan saat kampanye kini sudah dilunasi. Bagaimana dengan janji untuk menyejahterakan rakyat yang saat ini juga menginginkan pemberantasan korupsi berjalan baik dan benar?