Kekhawatiran soal perang besar di Idlib, Suriah, bukanlah hal yang dilebih-lebihkan. Upaya keras, termasuk jalur negosiasi, harus ditempuh untuk mencegahnya.
Oleh
·2 menit baca
Seperti lorong tanpa ujung, kekerasan dan pertempuran di Suriah seakan tak berhenti. Saat pertempuran di wilayah lain mereda, seiring direbutnya wilayah itu oleh pasukan Pemerintah Suriah, didukung Rusia dan sebelumnya juga Iran, kini episentrum pertempuran beralih ke wilayah barat laut di Provinsi Idlib. Idlib merupakan benteng terakhir kelompok oposisi yang sejak awal ingin menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad.
Bagi Suriah, misi merebut Idlib—telah dimulai sejak awal 2018—harus dituntaskan. Idlib adalah wilayah terakhir dari empat lokasi dalam zona deeskalasi hasil kesepakatan Turki, Iran, dan Rusia pada 2017 yang belum dikuasai pasukan Assad kembali. Wilayah lain, yakni Ghouta timur (dekat Damaskus), Provinsi Deraa; Quneitra di selatan; serta enklave Rastan dan Talbiseh di Provinsi Homs, telah dikuasi rezim Assad.
Sejak Desember 2019, pasukan Suriah dengan dukungan Rusia melancarkan gempuran besar-besaran ke Idlib, tempat penampungan lebih dari 2,6 juta pengungsi dari wilayah lain di Suriah. Gempuran pasukan Assad itu, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memaksa sekitar 900.000 warga di Idlib mengungsi ke wilayah perbatasan Turki-Suriah.
Turki juga mengerahkan kekuatan militernya ke Idlib. Selain untuk mendukung milisi oposisi di wilayah itu, Ankara pun ingin mengamankan pos pemantauan miliknya di sekitar zona deeskalasi hasil kesepakatan tahun 2017. Sebagian besar pos pemantauan Turki itu kini berada di wilayah yang direbut pasukan Assad. Kontak senjata antara Turki dan milisi oposisi yang didukungnya melawan pasukan Suriah tak terelakkan. Hingga Rabu (26/2/2020), Ankara mengonfirmasi telah kehilangan nyawa 17 personel militernya di Idlib.
Turki tak mau kalah momentum dari Suriah. Bukan hanya tak ingin kebanjiran lebih banyak pengungsi lagi—Turki kini menampung sekitar 3,7 juta pengungsi—Ankara juga tidak ingin kehilangan cengkeramannya di Idlib melalui kelompok oposisi dukungannya agar tetap memiliki daya tawar dalam negosiasi terkait masa depan Suriah.
Harian ini, kemarin, mengingatkan ada tanda-tanda bakal terjadi perang besar di Idlib antara Turki dan Suriah jika tak ada upaya keras untuk mencegahnya. Pada awal pekan ini, PBB juga mengingatkan kemungkinan Idlib menjadi arena ”pertumpahan darah (bloodbath)”. Saat Suriah digempur oleh Turki, pastilah Rusia pasang badan. Eskalasi bisa meluas jika Ankara menyeret Amerika Serikat dalam konflik itu.
Melihat dampaknya yang amat besar bagi bencana kemanusiaan, bahaya perang besar di Idlib harus dicegah. Meja negosiasi antara Turki dan Suriah, yang menurut rencana—meski belum bisa dipastikan—juga akan diikuti Jerman dan Perancis, bakal digelar 5 Maret 2020. Hanya dengan negosiasi di meja perundingan dan bukan konfrontasi di medan pertempuran, perang besar itu bisa dihindarkan.