Ketentuan baru tentang impor gula semakin longgar. Perlindungan terhadap industri pergulaan dalam negeri, khususnya terhadap petani tebu rakyat, dinilai semakin lemah.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan merevisi peraturan tentang ketentuan impor gula. Selain mengubah parameter nilai kemurnian gula, regulasi baru memperbolehkan swasta ikut mengimpor gula untuk stabilisasi harga di tingkat konsumen.
Regulasi baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 14 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Gula. Ketentuan itu diundangkan pada 18 Februari 2020 dan berlaku 30 hari kemudian. Aturan ini menggugurkan regulasi serupa sebelumnya, yakni Permendag No 117/2015.
Dalam regulasi baru, parameter nilai kemurnian yang berkaitan dengan warna gula diukur berdasarkan standar internasional atau IU (International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis/ICUMSA). ICUMSA untuk gula kristal mentah, misalnya, diubah dari minimal 1.200 IU di regulasi sebelumnya menjadi minimal 600 IU di regulasi baru.
Adapun ICUMSA gula kristal rafinasi diubah dari maksimal 45 IU menjadi maksimal 75 IU. Sementara ICUMSA gula kristal putih diubah dari 70-200 IU menjadi 81-200 IU.
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia Budi Hidayat saat dihubungi, Kamis (27/2/2020), khawatir gula mentah dengan ICUMSA minimal 600 IU dapat menjadi bahan baku gula yang merembes ke pasar gula konsumsi sebab secara fisik dan visual, gulanya sulit dibedakan dengan gula kristal putih.
Menurut Budi, aturan itu berpotensi memukul rantai pergulaan nasional yang berbasis tebu petani. Harga gula dari proses rafinasi lebih murah 19,6 persen dibandingkan dengan gula kristal putih dari tebu petani.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi berpendapat, nilai ICUMSA yang tinggi pada permendag lama merupakan wujud proteksi terhadap pergulaan dalam negeri. ”Kalau batas ICUMSA gula mentah yang diimpor makin kecil, risiko gula itu merembes ke pasar konsumsi makin besar,” ujarnya.
Nilai ICUMSA yang tinggi pada permendag lama merupakan wujud proteksi terhadap pergulaan dalam negeri.
Permendag No 14/2020 juga memperbolehkan importir swasta mengimpor gula kristal putih untuk stabilisasi harga nasional di tingkat konsumen, selain badan usaha milik negara (BUMN). Padahal, peraturan sebelumnya membatasi pelaksana impor gula untuk stabilisasi harga hanya BUMN. Kelonggaran itu, menurut Bayu, merupakan alarm bagi pergulaan nasional.
Gula India
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan, salah satu latar belakang lahirnya Permendag No 14/2020 adalah untuk mengakomodasi gula mentah India. Akomodasi ini merupakan ”barter” agar ekspor kelapa sawit Indonesia ke India bisa berjalan lancar.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Bernardi Dharmawan menilai, tidak ada kendala terhadap aturan itu. ”Kami melihat kebijakan ini untuk mengakomodasi gula dari India yang ICUMSA-nya sekitar 800 IU,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Nur Khabsyin melalui keterangan tertulisnya menyatakan, harga gula di tingkat konsumen kini berkisar Rp 14.000-Rp15.000 per kg. Angka itu dinilai masih tergolong wajar. Oleh karena itu, petani tebu rakyat menolak impor gula.
Berdasarkan kajian APTRI, stok awal gula kristal putih untuk konsumsi langsung tahun 2020 mencapai 1,35 juta ton. Dengan perkiraan kebutuhan gula kristal putih 1,15 juta ton selama Januari-Mei 2020, impor tidak perlu lagi.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengusulkan impor gula kristal putih 130.000 ton untuk stabilisasi harga saat Ramadhan-Lebaran 2020. Impor diperlukan karena musim giling diperkirakan mundur dari Mei menjadi Juni/Juli.