Perlu Komitmen Bersama Memajukan Taman Ismail Marzuki
›
Perlu Komitmen Bersama...
Iklan
Perlu Komitmen Bersama Memajukan Taman Ismail Marzuki
Dibutuhkan peraturan gubernur baru yang menjamin semua pihak berkomitmen bersama memajukan Taman Ismail Marzuki sebagai laboratorium, barometer, dan etalase seni, bukan tempat untuk mencari laba finansial.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polemik pengelolaan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki bisa diselesaikan dengan membuat payung hukum baru yang disepakati bersama. Aturan tersebut mesti menjamin semua pihak berkomitmen bersama memajukan TIM sebagai laboratorium, barometer, dan etalase seni, bukan tempat untuk mencari laba finansial.
Hal itu dikemukakan Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda saat memimpin rapat dengar pendapat mengenai polemik revitalisasi TIM di Jakarta, Kamis (27/2/2020). Hadir dalam rapat dengar pendapat tersebut antara lain Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, dan Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Dwi Wahyu Daryoto.
Poin yang diverifikasi Komisi X adalah Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa selama 28 tahun, TIM akan dikelola Jakpro, badan usaha milik daerah (BUMD) Pemprov DKI Jakarta. Aturan ini mencemaskan kalangan seniman karena tujuan TIM berdiri bukan untuk mencari keuntungan, melainkan sebagai pusat seni. Dikhawatirkan, Jakpro ke depan akan mengomersialkan TIM.
Kalaupun Jakpro hanya diminta mengelola sarana dan prasarana TIM saja, semestinya itu bisa dilakukan oleh dinas kebudayaan. Meskipun demikian, Komisi X mengapresiasi bahwa kurasi dan pengembangan konten TIM tetap dilakukan Dewan Kesenian Jakarta bersama komunitas seniman.
Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf mengusulkan adanya moratorium revitalisasi TIM.
”Revisi Pergub No 63 Tahun 2019 atau buat pergub baru yang terpisah untuk menjabarkan secara terperinci pola manajemen TIM. Pergub ini menjadi pegangan bagi semua pihak nanti,” kata Syaiful.
Alasan fleksibilitas
Anies menjelaskan alasan Jakpro dipilih untuk mengelola TIM karena statusnya sebagai BUMD. Apabila lembaga seni, seperti TIM, dikelola dinas ataupun satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lainnya, sistem kerjanya menjadi sangat birokratis. Apabila pengelolaan sarana dan prasarana dilakukan PT Jakpro, pendekatan yang diambil bisa fleksibel sesuai kebutuhan dan perubahan waktu tanpa perlu menunggu perubahan aturan berjenjang.
”SKPD dan BUMD itu dua tangan pemerintah daerah. Semua BUMD walaupun perusahaan bukan untuk mencari keuntungan seperti swasta. Misinya tetap untuk pelayanan publik,” kata Anies.
Menurut dia, jauh lebih mudah mendapat peningkatan pendapatan daerah dari menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan daripada membuka TIM menjadi kawasan bisnis. Pengelolaan TIM dari segi sarana dan prasarana bertujuan agar pusat kesenian ini berstandar internasional dari segi desain, keamanan, kenyamanan, dan tujuan penggunaannya.
”Pada saat yang sama, DKJ juga harus punya sistem pengembangan konten yang bermutu. Bisa menumbuhkan seniman-seniman domestik dan menarik seniman kelas dunia datang melakukan pertunjukan di TIM,” ujar Anies.
Ia juga kembali mengatakan bahwa tidak ada hotel yang dibangun di kawasan TIM. Bangunan penginapan yang dibicarakan masyarakat adalah Wisma Seni tempat para seniman bisa menginap ketika mereka melakukan pertunjukan di TIM. Hal ini agar TIM bisa menjadi suatu ekosistem seni. Jangan sampai seniman ketika selesai pertunjukan langsung bubar. Adanya wisma menjadi ruang publik mereka bisa bertemu di luar jam kerja.
Direktur Jakpro Dwi Wahyu Daryoto menambahkan, revitalisasi terus berjalan. Target bangunan yang pertama diselesaikan adalah Masjid Amir Hamzah karena direncanakan dioperasikan pada bulan Ramadhan tahun 2021.
Sarana lain yang akan ditambah adalah Graha Bakti Budaya dengan kapasitas penonton hingga 3.000 orang, perpustakaan, amfiteater di ruang terbuka hijau, dan planetarium. Kubah planetarium tetap dipertahankan karena masuk sebagai cagar budaya.
Moratorium revitalisasi
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf mengusulkan adanya moratorium revitalisasi TIM. Lama waktunya bisa dua pekan hingga satu bulan, bergantung pada keputusan DPRD DKI Jakarta. Selama moratorium itu, Pemerintah Provinsi Jakarta harus proaktif mendekati semua komunitas seniman terkait, menjelaskan duduk perkara revitalisasi, terutama soal pengelolaan.
Sementara itu, anggota Komisi X dari Fraksi PDI-P, Rano Karno, mengingatkan Anies agar merevisi definisi TIM sebagai lahan di peraturan gubernur. ”TIM itu ekosistem. Ada lahan, ada seniman, dan ada konten. Harap ubah keterangan mengenai TIM agar marwahnya tetap terjaga,” ucapnya.