Di mata publik, ajang balap jet darat bertenaga listrik Formula-E tidak mendesak diselenggarakan saat ini. Publik juga tidak setuju jika ajang kejuaraan Formula-E digelar dengan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta.
Formula-E salah satu ajang kejuaraan dunia yang desain mobilnya mirip Formula-1. Semangat balapan Formula-E ini sangat bagus, yakni ingin memperkenalkan teknologi listrik bagi mobil ramah lingkungan, tanpa polusi udara. Raungan suara mobil listrik juga tidak berisik seperti mobil berbahan bakar minyak (BBM), yakni bensin atau solar.
Empat bulan lagi balap mobil Formula-E akan diselenggarakan di kawasan Monas dan Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan mengadakan perhelatan adu cepat mobil bertenaga listrik ini pada 6 Juni 2020 menuai polemik dan wacana bagi masyarakat, baik di media arus utama maupun media sosial.
Polemik tersebut mulai dari persoalan penggunaan fasilitas kawasan Monas sebagai salah satu kawasan cagar budaya dan bersejarah nasional, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang besar, serta seberapa pentingnya ajang tersebut bagi masyarakat. Selain itu, isu ini juga dikaitkan dengan upaya revitalisasi kawasan Monas dengan penebangan pohon yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau yang tak luput dari kritikan aktivis lingkungan.
Jajak Pendapat Kompas periode 19-20 Februari 2020 menyimpulkan, mayoritas warga memandang kejuaraan balap mobil Formula-E bukan ajang yang mendesak. Pendapat tersebut dilontarkan baik oleh responden di Jabodetabek maupun di luar Jabodetabek. Bahkan, penolakan responden di Jabodetabek cukup besar, yakni 63,2 persen. Sementara penolakan responden di luar Jabodetabek mencapai 56,3 persen. Hanya sekitar 30 persen yang menyatakan ajang tersebut mendesak diadakan.
Penolakan tersebut tampaknya cukup wajar di tengah situasi saat ini dengan masih banyaknya peristiwa bencana alam seperti banjir di Ibu Kota. Wajar pula muncul wacana mengemuka di masyarakat jika anggaran yang cukup besar hingga mencapai Rp 1,16 triliun untuk penyelenggaraan Formula-E, akan lebih tepat untuk mengatasi problematika Ibu Kota seperti musibah banjir. Alokasi dari APBD yang sebagian dananya diperoleh dari pajak rakyat itu menjadi semacam pertaruhan, bakal untung atau rugi.
Terkait dengan anggaran yang digelontorkan untuk Formula-E, publik menyatakan tidak setuju jika penyelenggaraan ajang tersebut menggunakan APBD. Bagaimanapun, APBD adalah uang rakyat yang alokasi sebesar-besarnya adalah untuk kepentingan dan fasilitas rakyat. Tentu hal ini memberikan makna dan pesan kepada penyelenggara bahwa sebaiknya alokasi biaya utama Formula-E dari sponsorship atau swasta, bukan dari APBD.
Menggelar kejuaraan dunia memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Namun, biaya yang besar itu seharusnya dibayar dengan animo yang besar pula dari masyarakat yang menggemari kejuaraan tersebut. Indonesia tahun depan akan menggelar MotoGP 2021 di Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Empat tahun terakhir Indonesia bahkan telah menggelar dua seri dalam setiap tahun kejuaraan dunia motokros (MXGP) di Pangkal Pinang, Palembang, dan Semarang.
Tahun 2020, kejuaraan dunia Motokros akan digelar di Jakarta pada 28 Juni di Ancol, Jakarta, dan 5 Juli di Palembang. Pangsa pasar penonton dan penggemar MotoGP tahun depan dan MXGP empat tahun terakhir sudah terpetakan karena penggemar balap roda dua di Tanah Air tergolong tinggi. Hal ini diindikasikan dengan selalu penuhnya tribune penonton saat MXGP digelar.
Tingginya animo penggemar balap motor tidak terlepas dari besarnya jumlah populasi sepeda motor di Indonesia yang tercatat sebagai populasi terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, ikatan emosional pemilik kendaraan dan merek yang menjadi favorit serta menjadi fans pembalap tertentu ikut andil dalam tingginya animo balap roda dua.
Bahkan untuk penyelenggaraan MotoGP 2021, tiket pre-sale yang dijual Januari-Februari telah mencapai target. Menjadi pertanyaan kemudian, apakah animo masyarakat seantero Jabodetabek dan di luar Jabodetabek akan antusias berduyun-duyun membeli tiket Formula-E. Lalu, seberapa untung perhelatan Formula-E akan memberikan multiplier effect dari kejuaraan yang digelar di DKI Jakarta.
Banyak yang sudah tahu
Jajak pendapat ini juga merangkum suara masyarakat akan keberadaan ajang ini. Ajang Formula-E ini ternyata juga sudah banyak diketahui oleh masyarakat luas di Jabodetabek dan luar Jabodetabek. Sebanyak 63,8 persen responden Jabodetabek menyatakan pernah mendengar ajang ini akan digelar di Jakarta pada Juni nanti. Sementara 52,8 persen responden di luar Jabodetabek menyatakan hal serupa.
Angka tersebut merupakan potensi untuk menarik penonton, tetapi sepertinya rangkaian polemik Formula-E dan sejumlah bencana banjir di DKI Jakarta memberikan persepsi bahwa kejuaraan ini sebenarnya belum mendesak digelar. Masih ada upaya lain untuk mengangkat DKI Jakarta di kancah internasional selain Formula-E.
Perlu dicatat, di luar negeri penyelenggaraan Formula-E juga belum mendatangkan keuntungan bagi kota penyelenggara, bahkan selalu merugi dari tahun ke tahun. Balapan yang serinya digelar sejak 2014 ini hingga kini secara ekonomi boleh dikatakan merugi. Berbeda dengan kejuaraan MotoGP dan MXGP, yang nilai dan dampak ekonominya selalu tinggi.
Musim kompetisi tahun 2014, penyelenggaraan Formula-E mengalami kerugian Rp 95,5 miliar rupiah. Selanjutnya pada 2015, kerugian Formula-E mencapai Rp 779 miliar rupiah. Berikutnya, kerugian pada 2016 mencapai Rp 627 miliar rupiah, dan kerugian 2017 tercatat Rp 370 miliar rupiah. Artinya, Pemprov DKI Jakarta juga harus siap merugi dalam perhelatan yang direncanakan digelar selama lima musim ini. (LITBANG KOMPAS)