Pertumbuhan ekonomi yang diproyeksi melambat membuat negara-negara menghadapi risiko pelebaran defisit anggaran. Indonesia menghadapi risiko serupa.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan kontra siklus berupa pelebaran defisit anggaran ditempuh hampir semua negara di Asia, termasuk Indonesia. Pelebaran defisit tersebut untuk menstimulasi perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat dampak negatif wabah Covid-19.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings dalam laporan terbarunya menyebutkan, defisit APBN 2020 berpotensi melebar dari target 1,74 persen produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,5 persen PDB. Pelebaran defisit dipengaruhi tiga faktor utama, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi, wabah Covid-19, dan pendapatan yang lesu akibat perluasan basis pajak tidak optimal.
Fitch menekankan, penutupan pabrik di China yang berkepanjangan akibat wabah Covid-19 berdampak nyata bagi perekonomian domestik. Wabah Covid-19 akan menurunkan permintaan minyak dan harga komoditas global. Akibatnya, kinerja ekspor sumber daya alam akan terkontraksi. Hal ini akan berdampak pada penurunan pendapatan negara.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede berpendapat, potensi pelebaran defisit APBN dalam jangka pendek cenderung meningkat sejalan dengan ekspektasi perlambatan pertumbuhan ekonomi global di tengah risiko epidemi Covid-19. Meski demikian, pemerintah disarankan tetap menjaga defisit APBN di bawah level 2,5 persen PDB.
”Kebijakan fiskal yang bersifat kontra siklus masih diperlukan dalam rangka menjaga keseimbangan eksternal,” kata Josua yang dihubungi pada Kamis (27/2/2020) di Jakarta.
Pelebaran defisit akan dibarengi peningkatan utang dan pinjaman sehingga harus dilakukan secara hati-hati. Pemerintah mesti memastikan utang dan pinjaman digunakan untuk belanja produktif yang memiliki daya ungkit ekonomi besar. Dengan cara itu, Indonesia tetap bisa mempertahankan peringkat utang di level layak investasi.
Pelebaran defisit akan dibarengi peningkatan utang dan pinjaman sehingga harus dilakukan secara hati-hati.
Josua menambahkan, selain menjaga defisit anggaran tetap hati-hati, pemerintah juag perlu memastikan defisit transaksi berjalan pada level yang rendah dan terkendali. Defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan yang bisa dikelola baik secara bersamaan akan mendorong pertumbuhan ekonomi berkesinambungan.
Selain Indonesia, mengutip laporan Morgan Stanley, pelebaran defisit anggaran dilakukan banyak negara di Asia. Korea Selatan akan melebarkan defisit anggaran hingga 0,2 persen dari target awal, Taiwan 0,6 persen, Thailand 0,5 persen, Malaysia 0,7 persen, dan Singapura ke level 2,1 persen.
Dihubungi terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Arif Baharudin mengatakan, sejauh ini belum ada proyeksi besaran pelebaran defisit APBN 2020. Namun, kemungkinan besar defisit APBN 2020 memang melebar dari target 1,76 persen PDB.
”Defisit anggaran tahun 2020 diatur cukup rendah sehingga ada ruang cukup luas sampai batas maksimal 3 persen,” kata Arif.
Pada 2020, pemerintah menetapkan defisit APBN sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen PDB. Defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen PDB sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Pembatasan defisit APBN untuk mengantisipasi krisis ekonomi, seperti yang terjadi pada 1997-1998.
Dibandingkan dengan negara tetangga, pada 2018, defisit anggaran Malaysia 3,59 persen PDB, Vietnam 4,72 persen, Jepang 3,17 persen, China 4,82 persen, India 6,4 persen, dan Thailand 0,25 persen. Adapun defisit anggaran Indonesia pada 2018 sebesar 1,76 persen PDB.
Suku bunga rendah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit anggaran perlu diperlebar ketika pertumbuhan ekonomi melambat dan penerimaan pajak lesu. Jika tidak, perlambatan pertumbuhan ekonomi akan semakin dalam karena kebijakan yang ditempuh justru pro siklus.
”Kalau belanja yang dipotong karena penerimaan lesu, ekonomi akan semakin nyungsep,” ujar Sri Mulyani.
Pada era suku bunga rendah, risiko peningkatan pembiayaan akibat pelebaran defisit lebih rendah. Imbal hasil surat utang negara berdenominasi valuta asing yang diterbitkan Pemerintah RI menunjukkan tren menurun. Akibatnya, beban bunga utang bisa diperkecil.
”Pemerintah tetap mengelola utang secara hati-hati dan kredibel, tetapi bukan berarti tidak merespons ekonomi yang berubah,” ujar Sri Mulyani.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menambahkan, untuk memperkecil risiko global, porsi surat utang valas mesti dikurangi secara bertahap. Apalagi, kemampuan Indonesia untuk memperoleh valas relatif rendah, yang tecermin dalam defisit transaksi berjalan.
Pembiayaan eksternal rentan terhadap risiko nilai tukar, tidak berkelanjutan, dan tambahan utang. Idealnya, porsi pembiayaan dari surat utang negara berdenominasi rupiah mencapai 80 persen, seperti yang dilakukan Jepang.
Piter menambahkan, kontribusi domestik yang lebih besar membuat fundamen ekonomi domestik tetap kuat kendati situasi global tidak menentu. Sejauh ini, menurut dia, rasio utang Indonesia terhadap PDB relatif aman.