Epidemi Covid-19 diproyeksikan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Proyeksi ini membuat investor mengalihkan dana ke instrumen yang lebih aman, yakni dollar AS. IHSG melorot.
Oleh
DIM/KRN/NTA/RAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Epidemi Covid-19 tak hanya berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menyeret Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG. Pada penutupan perdagangan, Kamis (27/2/2020), IHSG anjlok ke posisi 5.535,694 atau level terendah sejak 16 Maret 2017.
IHSG melorot 2,69 persen, melanjutkan pelemahan 1,7 persen pada Rabu. Sejak awal 2020, IHSG anjlok 12,13 persen atau terdalam dibandingkan dengan pasar saham di ASEAN.
Dalam dua hari, Rabu-Kamis, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 2,75 triliun. Akibatnya, sejak awal tahun, investor asing membukukan jual bersih Rp 4,706 triliun.
Sejak awal 2020, IHSG anjlok 12,13 persen atau terdalam dibandingkan dengan pasar saham di ASEAN.
Adapun nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Kamis, melemah ke Rp 14.018 per dollar AS. Nilai tukar kembali menembus Rp 14.000-an per dollar AS setelah meninggalkan level itu sejak 19 Desember 2019.
Kondisi IHSG itu di luar dugaan pelaku pasar sebab pada awal tahun, aliran dana investor asing ke pasar modal di Tanah Air cukup deras karena sentimen positif di dalam negeri.
”Harus diakui, penyebaran virus korona tipe baru membuat investor berbondong-bondong keluar dari pasar saham menuju safe haven. Fenomena ini terjadi secara global,” ujar Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan.
Pelemahan juga terjadi secara regional dan global. Investor mencermati dampak epidemi Covid-19 yang akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Alfred menilai, kondisi eksternal itu diperparah dengan sentimen positif dari internal yang terbatas. Pemerintah disarankan menenangkan pasar melalui insentif ekonomi.
Defisit
Mengantisipasi potensi pelemahan ekonomi akibat wabah Covid-19, sejumlah negara, termasuk Indonesia, memperlebar defisit anggaran. Langkah ini untuk menstimulasi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings dalam laporan terbarunya menyebutkan, defisit APBN 2020 berpotensi melebar dari target 1,74 persen produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,5 persen PDB. Pelebaran defisit dipengaruhi tiga faktor utama, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi, wabah Covid-19, dan pendapatan yang lesu akibat perluasan basis pajak tidak optimal.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menyarankan pemerintah tetap menjaga defisit APBN di bawah level 2,5 persen PDB. ”Kebijakan fiskal yang bersifat kontra siklus masih diperlukan dalam rangka menjaga keseimbangan eksternal,” kata Josua, Kamis.
Pelebaran defisit akan dibarengi peningkatan utang dan pinjaman sehingga harus dilakukan secara hati-hati. Pemerintah mesti memastikan utang dan pinjaman digunakan untuk belanja produktif yang memiliki daya ungkit ekonomi besar.
Mengutip laporan Morgan Stanley, pelebaran defisit anggaran dilakukan hampir semua negara-negara di Asia. Korea Selatan akan melebarkan defisit anggaran hingga 0,2 persen dari target awal, Taiwan 0,6 persen, Thailand 0,5 persen, Malaysia 0,7 persen, dan Singapura ke level 2,1 persen.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Arif Baharudin mengatakan, kemungkinan defisit APBN 2020 melebar dari target 1,76 persen PDB.
Sementara Presiden Joko Widodo dalam acara Indonesia Digital Economy Summit, Kamis, menyebutkan, potensi ekonomi digital bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ekonomi digital di Indonesia diperkirakan 133 miliar dollar AS atau Rp 1.877 triliun pada 2025.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat membuka Kongres Umat Islam Indonesia VII di Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Rabu malam, menyampaikan, pemerintah memperkuat industri halal dan ekonomi syariah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.