Kemiskinan dan Rendahnya Cakupan Imunisasi di Pidie
Di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, cakupan imunisasi dasar lengkap hanya 13 persen, presentase paling rendah di Aceh. Keluarga miskin paling banyak yang tidak melakukan imunisasi karena pengetahuan yang rendah.
Di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, cakupan imunisasi dasar lengkap hanya 13 persen, presentase paling rendah di Aceh. Keluarga miskin paling banyak yang tidak melakukan imunisasi. Pengetahuan yang rendah membuat mereka menolak imunisasi.
Saidatun Nafisa (2 tahun 10 bulan) menyembunyikan muka ke pundak ibunya, Maulidar (34). Saat diajak bicara, si bungsu itu lebih sering membuang muka. Namun, Saidatun anak yang ceria. Bersama kakaknya, Haura Nagita (5), dia bermain riang di rumah berlantai tanah di Desa Pukat, Kecamatan Garut, Kabupaten Pidie.
”Keduanya tidak imunisasi lengkap, tetapi tidak pernah sakit,” kata Maulidar, Minggu, (23/2/2020).
Saidatun dan Haura hanya diimunisasi sekali usia 0-7 hari, namanya imunisasi HB 0. Itu pun dilakukan oleh bidan tanpa sepengetahuan dirinya. Setelah itu, keduanya tidak pernah mendapatkan imunisasi. Maulidar tidak mau anaknya diimunisasi, dia khawatir anaknya demam. ”Kata orang bisa kejang-kejang, lumpuh, atau meninggal,” ujar Maulidar, ibu beranak empat itu.
Maulidar, ibu rumah tangga lulusan sekolah menengah pertama, punya pengalaman buruk terkait dengan imunisasi. Anak ketiga, Raziq Aulia (9) demam tinggi setelah imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus). Maulidar panik bukan kepalang, dia tidak tahu cara menangani anak demam pascaimunisasi. Anaknya tidak mau minum obat pereda demam. ”Abeh peng mantong bloe ubat, hana manfaat (habis uang beli obat, tidak ada guna),” kata Maulidar.
Bagi Maulidar, uang Rp 20.000 untuk obat sangat bernilai. Seharusnya uang itu bisa dipakai untuk membeli lauk. Jarak depot obat dari rumahnya juga lumayan jauh. Maulidar tidak memiliki kendaraan pribadi. Jika naik ojek pergi pulang, ia harus mengeluarkan uang Rp 20.000.
Terlebih, kata Maulidar, suaminya, Jailani (46), tidak mau membantu mengurus anak saat demam. Pascakejadian itu, Maulidar tidak mau anaknya diimunisasi. Dia trauma.
Baca juga: Cakupan Imunisasi di Aceh Masih Rendah
Keluarga Maulidar tergolong prasejahtera. Rumah berdinding papan bekas dan spanduk kampanye calon anggota legislatif. Lantai tanah dan memasak menggunakan kayu bakar. Rumah darurat itu dibangun di atas bantaran sungai, tanah milik pemerintah.
Meski demikian, Maulidar sering ikut kegiatan posyandu. Alasannya, setelah ditimbang dan diukur tinggi badan, anaknya diberikan makanan bergizi, seperti bubur, susu dan telur. ”Kalau beli, kan, mahal. Untuk biaya makan saya, kami susah,” ujar Maulidar.
Maulidar pernah mendengar anak yang tidak diimunisasi rentan terkena penyakit. Namun, dia tidak percaya sebab keempat anaknya kini sehat-sehat saja meski makan seadanya. Pagi itu mereka hanya sarapan nasi putih digoreng pakai minyak dibumbui garam dan cabai.
”Biasanya saya bawa anak ke posyandu, kalau ayahnya tidak pernah, sibuk kerja,” kata Maulidar.
Sama halnya dengan Maulidar, Nurseha (35), warga Tibang, Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie, juga tidak mau anaknya diimunisasi. Dia memiliki tiga anak. Usia anak pertama 15 tahun, anak kedua 9 tahun, dan anak ketiga 20 bulan. Ketiga anak tidak mendapatkan imunisasi lengkap.
”Saya dengar ada yang lumpuh setelah imunisasi, kami takutlah,” kata Nurseha.
Kemiskinan tidak memengaruhi langsung rendahnya cakupan imunisasi. Akan tetapi, keluarga miskin cenderung tidak memiliki pengetahuan tentang imunisasi.
Pada Agustus 2018, seorang anak di Pidie mengalami lumpuh setelah imunisasi vaksin Measles Rubella (MR). Kabar anak mengalami lumpuh karena imunisasi menyebar cepat kepada warga sehingga banyak warga ketakutan mengimunisasi anaknya.
Kepala Dinas Kesehatan Aceh Hanif mengklarifikasi kasus tersebut. Hanif mengatakan, sebelum diimunisasi, korban dalam keadaan sakit. ”Tidak ada hubungan dengan imunisasi. Ini penyakit sendiri, bukan efek dari vaksin MR,” kata Hanif dalam jumpa pers pada 2018.
Intinya, Hanif membantah korban mengalami lumpuh karena imunisasi. Namun, penjelasan Hanif menyebar tidak segencar kabar dugaan lumpuh karena imunisasi. Orang-orang seperti Maulidar dan Nurseha tidak pernah baca koran dan baca berita daring. Mereka tidak menggunakan gawai dan di rumah tidak memiliki televisi. Jika sesekali nonton televisi di rumah tetangga, hanya menyaksikan drama sinetron.
Maulidar dan Nurseha adalah keluarga miskin, itu dibuktikan dengan menjadi penerima program keluarga harapan (PKH). Suami mereka bekerja serabutan, tetapi lebih lebih sering menganggur. Mereka mengakui bahwa pengetahuan tentang imunisasi rendah. ”Tidak sempat ikut sosialisasi, banyak pekerjaan di rumah,” kata Nurseha.
Pidie terendah
Kabupaten Pidie sejak 2017-2019 menjadi daerah cakupan imunisasi dasar lengkap terendah di Aceh. Pada 2017, cakupan 23 persen, 2018 cakupan 28 persen, pada 2019 cakupan hanya 13 persen. Angka cakupan provinsi juga menurun dari 61 persen pada 2018 menjadi 49 persen pada 2019.
Kepala Dinas Kesehatan Pidie Effendi mengatakan, pemerintah telah bekerja maksimal untuk mengejar cakupan imunisasi. Sosialisasi melalui bidan desa, posyandu, dan puskesmas telah dilakukan. Di samping itu, masih ada warga yang takut anaknya demam dan sebagian menganggap imunisasi haram.
Masih ada warga yang takut anaknya demam dan sebagian menganggap imunisasi haram.
Pengetahuan warga terhadap pentingnya imunisasi juga kurang. Pada kalangan keluarga miskin, pengetahuan tentang imunisasi rendah. ”Padahal, kami sering melakukan penyuluhan ke desa-desa, tetapi tidak banyak warga yang terlibat,” kata Effendi.
Baca juga: Difteri Tinggi di Aceh Dampak Rendahnya Cakupan Imunisasi
Effendi mengatakan, kemiskinan tidak memengaruhi langsung rendahnya cakupan imunisasi. Akan tetapi, keluarga miskin cenderung tidak memiliki pengetahuan tentang imunisasi. Di Pidie, dengan jumlah warga miskin 20,47 persen atau 89.000 jiwa, menjadikan Pidie sebagai kabupaten termiskin kedua di Aceh.
Pengelola Program Imunisasi Seksi Surveilans dan Imunisasi (SIM) Dinas Kesehatan Aceh Helmi menuturkan, dalam tiga tahun terakhir Aceh tidak pernah mencapai target cakupan imunisasi dasar lengkap.
Cakupan imunisasi yang rendah berdampak buruk pada kesehatan anak-anak. Mereka yang tidak memperoleh imunisasi lengkap rentan terpapar virus, seperti campak, difteri, polio, dan rubela. Padahal, penyakit tersebut dapat dicegah dengan imunisasi. ”Anak-anak yang terkena difteri, mereka yang tidak mendapatkan imunisasi,” kata Helmi.
Rendahnya cakupan imunisasi di Provinsi Aceh berdampak langsung pada tingginya angka kasus penyakit menular, difteri. Sejak 2017 hingga 2019, penderita difteri mencapai 442 orang, sebanyak 15 penderita meninggal dunia. Para penderita penyakit itu semuanya tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang Aceh Herlina Dimiati mengatakan, imunisasi sangat penting bagi anak untuk membuat tubuh kebal terhadap penyakit jangka panjang. Anak tanpa imunisasi rentan terkena penyakit tertentu. ”Anak aset bangsa, dia berhak untuk hidup sehat,” kata Herlina.
Namun, warga seperti Maulidar dan Nurseha tetap berkeyakinan anaknya tetap hidup sehat meski tanpa imunisasi.