Pabrik Ilegal Produksi Masker, Diduga karena Naiknya Permintaan akibat Wabah Covid-19
›
Pabrik Ilegal Produksi Masker,...
Iklan
Pabrik Ilegal Produksi Masker, Diduga karena Naiknya Permintaan akibat Wabah Covid-19
Berdasarkan pengakuan awal tersangka, alat dan bahan didatangkan dari China sekitar November, kemudian pabrik baru mulai aktif pada Januari.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelola sebuah gudang alat kesehatan di Pergudangan Central Cakung, Rorotan, Jakarta Utara, menyulap lantai kedua bangunan sebagai tempat produksi masker tanpa izin. Polisi menduga para pelaku ingin memanfaatkan kesempatan melonjaknya permintaan masker di masyarakat akibat wabah penyakit virus korona jenis baru (Covid-19) dengan membuat dan mengedarkan masker tak berstandar.
Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya menggerebek pabrik klandestin itu pada Kamis (27/2/2020) pukul 16.30. Barang buktinya 60 kardus dengan total 3.000 boks masker siap edar, alat-alat produksi, bahan masker, serta dus dan boks kosong.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menuturkan, berdasarkan pengakuan awal tersangka, alat dan bahan didatangkan dari China sekitar November, kemudian pabrik baru mulai aktif pada Januari.
”Hasil kasar yang kami dapatkan, dia bisa mendapatkan Rp 200 juta-Rp 250 juta dalam satu hari,” ucap Yusri saat meninjau gudang yang jadi industri masker dadakan itu, Jumat (28/2/2020).
Sebanyak 10 orang ditetapkan sebagai tersangka karena terlibat memproduksi masker ilegal. Mereka adalah penanggung jawab produksi berinisial YRH, penjaga gudang EE, serta pekerja berinisial F, DK, SL, SF, ER. Selain itu, ada D sebagai operator mesin serta S dan LF sebagai sopir.
Yusri mengatakan, pemilik fasilitas produksi ilegal masker ini, Y, belum tertangkap karena sedang di luar negeri saat penggerebekan. Polisi masih memburunya. Adapun gudang awalnya digunakan untuk menunjang bisnis alat-alat kesehatan sejak tahun 2014 dan itu sesuai izin.
Kepala Unit 5 Subdirektorat 2 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Komisaris Budi Setiadi menyebutkan, sejak masker di pasaran mulai langka dan harganya melonjak bersamaan dengan merebaknya virus korona baru, Ditresnarkoba menyelidiki kemungkinan terdapat pihak yang menimbun masker agar bisa menjual dengan harga lebih tinggi berkali-kali lipat.
Awalnya, polisi mencurigai pemesan masker di daerah Telukgong, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, sebagai penimbun. Rupanya, pemesan tersebut melakukan pengadaan masker dalam jumlah besar untuk disumbangkan ke sejumlah tempat di Indonesia. Dokumen dan nota pembelian pun lengkap.
Berbekal dokumen pembelian, tim lantas menyelidiki asal-muasal masker yang dikirimkan ke Telukgong hingga mendapatkan alamat gudang alat kesehatan yang ternyata dijadikan fasilitas produksi ilegal masker di Pergudangan Central Cakung. Ini membuktikan pelaku pembuat masker ilegal sekaligus menjualnya langsung ke masyarakat.
Berdasarkan keterangan YRH, masker tidak memiliki izin produksi, tidak sesuai standar nasional Indonesia, dan tidak dilengkapi dengan izin Kementerian Kesehatan. Dalam sehari, pabrik mampu memproduksi masker 17 kardus. Satu kardus berisi 50 boks dan satu boks berisi 50 lembar masker. ”Per boks dijual Rp 240.000,” ujar Budi.
Salah seorang tersangka, perempuan berinisial SL, mengatakan, para pekerja dibayar Rp 120.000 per hari untuk bekerja pukul 07.00-19.00. Ia mengonfirmasi bahwa kegiatan produksi masker baru dimulai pada Januari. Sebelumnya, SL bergabung sejak Oktober 2019 untuk bekerja sebagai pramukantor (office boy) sewaktu perusahaan hanya fokus pada bisnis legalnya.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 197 subsider 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan karena dengan sengaja memproduksi/mengedarkan alat kesehatan tanpa izin edar serta tidak memenuhi standar/persyaratan, khasiat, dan mutu.
Selain itu, polisi juga menggunakan Pasal 107 UU No 7/2014 tentang Perdagangan karena menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu saat langka, harganya bergejolak, atau ada hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Mereka diancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50 miliar.