Penggunaan ”Influencer” yang Menjadi Pembicaraan Lagi
›
Penggunaan ”Influencer” yang...
Iklan
Penggunaan ”Influencer” yang Menjadi Pembicaraan Lagi
Pemerintah berencana menggunakan jasa pemberi pengaruh atau influencer untuk mendukung program kerjanya. Langkah ini menuai sorotan banyak pihak karena dianggap tidak lazim.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Di belantara media sosial, warganet cenderung mengikuti akun-akun yang mempunyai banyak pengikut. Informasi dari akun-akun itu kerap menjadi rujukan. Sebagian orang menyebut mereka sebagai influencer atau pembawa pengaruh wacana publik.
Kehadiran mereka semakin menjadi pembicaraan sejalan dengan konten-konten yang mereka buat. Namun, sebagian kalangan memandang kritis influencer berpotensi yang dianggap berpotensi mengelabui publik. Antara informasi dan iklan kian rumit dibedakan.
Sisca Ayu Rahmawati (24), warganet pengguna Instagram, rajin memantau unggahan influencer kecantikan. Sebelum membeli sebuah produk, dia menonton ulasan terkait barang itu dulu di Instagram. Jika ulasannya bagus, ia akan mempertimbangkan untuk membeli barang itu.
Ulasan dari influencer kecantikan, menurut dia, bertujuan mendapatkan informasi lebih dalam sebelum membeli barang. Dia cenderung lebih memercayai ulasan dari influencer kecantikan yang mengumumkan bahwa kontennya bukan iklan. Kata-kata dan penjelasan memikat dari influencer pun turut meyakinkannya. ”Sebelumnya aku pernah beli pembersih wajah tanpa menonton ulasan dari produk itu dulu, tetapi mukaku jadi butek,” katanya, Kamis (27/2/2020).
Setelah menonton ulasan influencer kecantikan, Sisca mencari ulasan produk itu di internet. Jika banyak warganet yang menyatakan produk itu bagus, barulah Sisca membelinya. Seorang warganet lainnya, Handriva Fauzi (27), tipikal pengguna internet yang menggandrungi isu politik. Terhitung lebih dari 10 akun selebtwit yang ia ikuti di Twitter.
Dia takjub kepada beberapa akun yang bisa menjelaskan sebuah kasus dengan sangat detail. Bahkan, informasi tersebut belum muncul di media massa. Cara menjelaskannya pun mengalir, dilengkapi bukti-bukti untuk mendukung cerita. ”Sudah seperti intel saja,” katanya.
Jika informasi yang diunggah si selebtwit juga dibagi ulang oleh warganet lain dan selebtwit lainnya, katanya, informasi itu besar kemungkinan benar. ”Tetapi, kalau hoaks, biasanya viralnya informasi itu tidak lama. Pasti nanti ada saja akun lain yang memberikan informasi tandingan dan menyatakan hal itu hoaks. Itu menariknya. Semua orang terlibat dan saling berkontribusi,” katanya.
Belakangan, pemerintah berencana menggunakan jasa influencer untuk menggenjot pariwisata yang lesu akibat virus korona. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, dari Rp 298 miliar anggaran untuk menarik minat wisatawan datang ke Indonesia, sebanyak Rp 72 miliar dialokasikan untuk influencer (Kompas.com, 25/2/2020).
Menteri Pariwisata Wishnutama kemudian mengklarifikasi anggaran Rp 72 miliar untuk influencer yang sempat membuat heboh publik itu. Menurut dia, uang sebesar Rp 72 miliar itu tidak hanya untuk influencer, tetapi juga untuk komponen promosi lainnya (Kompas.com, 26/2/2020).
Pengguna internet yang sering mengunggah konten dukungan ke pemerintah, Eko Kuntadhi, setuju dengan langkah pemerintah. Menurut Eko, penilaian negatif tentang Indonesia harus dilawan dengan konten positif. Itu karena di Indonesia belum ditemukan warga yang positif korona. Jika opini Indonesia tak aman terus berkembang, masyarakat yang bergantung pada dunia pariwisata akan terdampak.
”Jadi, memang harus dikomunikasikan secara positif. Kalau memang tidak ada (korona), ya, tidak ada. Kalau memang ada (korona), kita dorong pemerintah menangani secara serius. Tetapi, kalau memang tidak ada (korona), masa kita teriak-teriak ada (korona), sih,” kata pemilik akun Twitter dengan 50.000 pengikut ini.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan menilai, ada kencenderungan pemerintah untuk mempromosikan hal positif melalui influencer dan buzzer. Dua aktor terakhir itu menerima tawaran tanpa banyak berpikir dan tak melakukan verifikasi lebih lanjut.
Akan tetapi, di media massa, lanjutnya, informasi berupa iklan sekalipun harus tetap diseleksi. Akan menjadi skandal besar jika media memasang iklan yang ternyata berisi kebohongan. ”Saringan di media tentu lebih banyak meskipun ada juga segelentir media yang menutup mata terhadap hal itu,” katanya.
Terkait dengan rencana pemerintah meggunakan jasa influencer, Abdul menyarankan agar pemerintah lebih baik fokus memberikan bukti ilmiah bahwa Indonesia aman untuk dikunjungi. Buka informasi seluas mungkin. ”Kalau di kemudian hari ternyata ditemukan kasus positif korona, sementara pada saat bersamaan pemerintah telanjur berkampanye bahwa Indonesia aman, itu akan dianggap menyembunyikan masalah,” katanya.
Peneliti di Lembaga Studi dan Pemantauan Media, Remotivi, Roy Thaniago menjelaskan, pemerintah yang secara terus terang menyampaikan kepada publik akan menggunakan jasa influencer menunjukkan bahwa ada upaya untuk menormalisasi keberadaanpembawa pengaruh itu. Kehadiran pola komunikasi baru ini seolah-olah dianggap tidak bermasalah.
Padahal, lanjutnya, hal itu akan membuat ekosistem informasi publik menjadi tidak jelas. Publik bahkan belum sepenuhnya paham tentang iklan tradisional. ”Masyarakat kita belum sepenuhnya memahami ini iklan atau bukan, pesanan sponsor atau bukan. Ada banyak orang mencoba memanipulasi pesan-pesan yang sebetulnya komersial dengan berbagai macam cara,” katanya.
Karena itu, keberadaan influencer berpotensi memperdaya banyak orang. Informasi yang disampaikannya tak bisa dianggap sebagai bagian dari opini publik. ”Itu pesan komersial dan itu adalah iklan,” katanya.
Menurut dia, keberadaan influencer tak lepas dari teknologi baru. Kehadiran media sosial menggerus otoritas lama dalam menyampaikan informasi, dalam hal ini media massa. ”Media, yang dulunya menjaga sebuah informasi keluar atau tidak keluar, sekarang bisa diperankan oleh individu dengan konten sensasional, clickbait, atau konten apa pun yang bisa positif dan negatif,” katanya.
Hal ini memantik demokratisasi infomasi publik. Semua orang menjadi produsen informasi. Dalam ekosistem yang semacam itu, sangat sulit memastikan kesahihan sebuah informasi.
Berita dari media memiliki hierarki pertanggungjawaban mengenai validitas informasi. Rentangnya dimulai dari perusahaan media hingga pantauan dari dewan pers. ”Tetapi, dalam ekosistem baru (influencer) ini, kepada siapa pertanggungjawaban akan diminta?” katanya.