Terpangkasnya laba bersih divisi grup otomotif akibat penurunan volume penjualan mobil dan meningkatnya biaya produksi membuat pertumbuhan laba bersih PT Astra International Tbk tahun 2019 cenderung stabil.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan laba bersih PT Astra International Tbk pada 2019 terbilang stabil apabila dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi itu disebabkan terpangkasnya laba bersih divisi grup otomotif akibat penurunan volume penjualan mobil dan meningkatnya biaya produksi.
Dalam keterangan resmi yang diterima Kompas, Kamis (27/2/2020), Presiden Direktur Astra Prijono Sugiarto mengatakan, di sepanjang 2019 perusahaan berhasil meraih laba bersih Rp 21,7 triliun, naik tipis dibandingkan capaian tahun sebelumnya sebesar Rp 21,6 triliun.
Secara lebih rinci, laba bersih dari segmen bisnis otomotif mengalami penurunan 1 persen dari Rp 8,51 triliun pada 2018 menjadi Rp 8,39 triliun pada 2019. Kondisi ini disebabkan penurunan volume penjualan mobil dan meningkatnya biaya-biaya produksi.
”Namun, penurunan tersebut sebagian masih diimbangi kenaikan volume penjualan sepeda motor,” ujarnya.
Adapun laba bersih untuk segmen bisnis alat berat, pertambangan, konstruksi, dan energi juga hanya mampu tumbuh tipis 1 persen dari Rp 6,63 triliun pada 2018 menjadi Rp 6,71 triliun pada 2019.
Penurunan laba bersih paling signifikan terjadi pada segmen bisnis agrobisnis yang turun 85 persen dari Rp 1,14 triliun pada 2018 menjadi Rp 168 miliar pada 2019. Situasi ini disebabkan penurunan harga dan volume penjualan minyak kelapa sawit sebagai produk hilirisasi.
Stagnansi dan penurunan laba bersih dari sejumlah segmen bisnis Astra Internasional masih dapat ditambal pertumbuhan laba bersih dari segmen jasa keuangan serta segmen infrastruktur dan logistik.
Segmen bisnis jasa keuangan mencatatkan peningkatan laba bersih sebesar 22 persen dari Rp 4,81 triliun pada 2018 menjadi Rp 5,9 triliun pada 2019. Pertumbuhan ini ditopang portofolio pembiayaan yang lebih besar dan perbaikan kredit bermasalah.
Sementara untuk infrastruktur dan logistik mencatatkan pertumbuhan laba bersih tertinggi hingga 49 persen, dari Rp 196 miliar pada 2018 menjadi Rp 292 miliar pada 2019. Sayangnya, ukuran bisnis dari segmen ini belum sebesar segmen lainnya sehingga tidak terlalu berdampak signifikan terhadap capaian laba bersih konsolidasi.
”Kinerja grup sepanjang 2019 terimbas pelemahan konsumsi domestik dan rendahnya harga-harga komoditas, tetapi diuntungkan peningkatan kinerja dari bisnis jasa keuangan dan kontribusi dari tambang emas grup yang baru diakuisisi,” kata Prijono.
Kinerja grup sepanjang 2019 terimbas pelemahan konsumsi domestik dan rendahnya harga-harga komoditas.
Utang bersih di luar grup anak perusahaan jasa keuangan mencapai Rp 22,2 triliun pada 31 Desember 2019, meningkat dibandingkan dengan akhir 2018 yang tercatat Rp 13 triliun. Prijono menilai kenaikan ini terutama disebabkan tambahan investasi perusahaan terhadap proyek jalan tol dan Gojek, serta belanja modal pada bisnis kontraktor penambangan.
Pada tahun 2019, Astra menyuntikkan investasi senilai 100 juta dollar AS terhadap Gojek sehingga total investasi Astra pada perusahaan unicorn ini menjadi 250 juta dollar AS.
Prijono menilai prospek pada 2020 masih menantang yang disebabkan ketidakpastian kondisi makro eksternal, kompetisi di pasar mobil serta harga-harga komoditas yang lemah. Namun, ia optimistis Astra Internasional berada pada posisi yang baik untuk memanfaatkan momentum dari setiap perbaikan kondisi ekonomi.