Ketahanan keluarga merupakan fondasi ketahanan nasional. Meskipun begitu, tidak berarti negara berhak mendikte atau mencampuri urusan keluarga.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang diinisiasi lima anggota DPR dari empat fraksi ini terlalu masuk ke ranah privat. RUU ini mengatur dan mendikte apa yang harus dilakukan keluarga (Pasal 15) dan juga anggota keluarga, mulai dari bagaimana harus beragama dan mengasihi anggota keluarga (Pasal 16,25, dan 101), bagaimana harus mencintai (Pasal 24), memperoleh keturunan (Pasal 26, 27), mendidik anak (Pasal 28), tanggung jawab keluarga (Pasal 33, 37, 41), pola asuh dalam keluarga (Pasal 45), hingga kewajiban orangtua (Pasal 98-99) dan kewajiban anak (Pasal 101 ayat 2).
Negara tidak berhak mencampuri urusan agama warganya karena agama adalah hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik. Dalam hal ini, negara hanya mempunyai kewajiban, yaitu memfasilitasi agar warganya dapat melaksanakan agamanya dengan baik tanpa gangguan.
Rancangan undang-undang ini juga mengerdilkan dan mengambil peran agama dan lembaga agama yang mempunyai peran membimbing umatnya. Bagaimana menjalankan ibadah adalah urusan umat dengan Tuhan. Setiap orang/keluarga mempunyai cara untuk menjalankan agama, bahkan pada agama yang sama bisa berbeda-beda.
Demikian pula seksualitas dan reproduksi juga merupakan hak asasi manusia. Bagaimana pola asuh dalam keluarga juga tergantung kesepakatan dalam keluarga tersebut, yang bisa berbeda satu sama lain. Pengaturan oleh negara akan mengecilkan dinamika dan kemampuan keluarga.
”RUU ini juga mengecilkan keragaman masyarakat, tidak melihat dinamika keluarga, keragaman keluarga, keragaman budaya dalam masyarakat, juga kesetaraan jender. Semua dilihat dengan satu pandangan agama, padahal dalam satu agama saja bisa berbeda-beda,” kata peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Agustina Situmorang, Selasa (25/2/2020), di Jakarta.
Dalam hal kesetaraan jender, RUU ini mereduksi dan mendomestifikasi peran perempuan hanya pada urusan rumah tangga (Pasal 15 ayat 3). Hal ini bertentangan dengan kebijakan dan program berspektif jender yang dilakukan pemerintah sejak 2000 melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional. Program ini dikuatkan lagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Penjelasan salah satu pengusung RUU Ketahanan Keluarga dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani (kompas.id, 23/2/2020), bahwa RUU ini tidak akan mereduksi peran perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga, tidak tergambar dalam pasal-pasal yang ada dalam RUU tersebut. Pasal 2 memang menyebutkan bahwa ketahanan keluarga berasaskan keadilan (huruf e) dan nondiskriminasi (huruf k). Namun, Pasal 25 justru membagi peran suami dan istri dalam keluarga.
Pembagian peran dalam keluarga merupakan kesepakatan suami istri yang tidak bisa dicampuri orang lain, bahkan negara. Tidak sedikit, dalam masyarakat modern saat ini, suami yang juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena istrinya berkarier (Kompas, 15/9/2019). Karena itu, Pasal 25 Ayat 2 yang menyebutkan bahwa suami sebagai kepala keluarga sangat tidak relevan. Apalagi, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menyebutkan, sebanyak 15,17 persen dari 131,48 juta perempuan atau sekitar 19,94 juta perempuan adalah kepala keluarga.
Tekanan terhadap keluarga
Pengaturan apa yang harus dilakukan keluarga ini, menurut pengajar Jender dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Sulistyowati Irianto, merendahkan manusia yang beraklak mulia sehingga harus diajari bagaimana berkeluarga. ”RUU ini berasumsi bahwa keluarga-keluarga berpotensi mengalami krisis karena pengaruh luar, seks bebas, narkoba, LGBT. Masalah-masalah (krisis keluarga) itu, apakah solusinya dengan RUU Ketahanan keluarga?” katanya.
Baik Sulistyowati maupun Agustina mengakui bahwa pada era global ini, tekanan-tekanan terhadap keluarga semakin tinggi. Perceraian, misalnya, berdasarkan data peradilan agama Mahkamah Agung pada 2018, rata-rata terjadi 1.164-1.165 perceraian setiap hari. Namun, kondisi itu juga harus dilihat dari faktor meningkatnya kesadaran perempuan akan hak asasi. Dari 419.268 kasus perceraian pada 2018 tersebut, sebanyak 307.778 kasus merupakan inisiatif perempuan.
”Ini menunjukkan kesadaran hukum pada perempuan meningkat. Ini (perceraian) jalan terakhir, banyak juga (perempuan) yang tidak melakukan apa-apa ketika pernikahannya bermasalah,” kata Sulistyowati. Mengatur soal hal-hal yang berkaitan dengan perceraian, seperti hak wali atas anak, kata dia, mengambil alih wewenang pengadilan.
Menurut Agustina, RUU ini justru bisa membuat angka perceraian semakin tinggi karena perempuan tidak mau terikat dengan aturan-aturan yang ada dalam RUU yang mendomestifikasi peran mereka. ”Perempuan sekarang sudah bicara demokratisasi, kesetaraan. Di Jepang semakin banyak perempuan yang terpelajar tidak mau menikah karena tak ingin kariernya terganggu,” katanya. Hal ini juga terjadi di Korea Selatan.
Solusi untuk mengatasi tekanan-tekanan terhadap keluarga, mulai dari perceraian, kasus kekerasan dalam rumah tangga, kasus kekerasan seksual, pernikahan usia anak, kasus seks pranikah, sampai angka kematian ibu dan anak yang tinggi, bukanlah dengan membuat undang-undang. Program-program pemerintah sudah banyak untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut.
”Cukup dibuat program, tidak perlu undang-undang. Sudah ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, ada juga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),” kata Agustina.
Justru keberadaan RUU Ketahanan Keluarga ini tumpang tindih serta mengecilkan fungsi dan peran lembaga/kementerian tersebut. ”Program yang ada tinggal diperkuat, perlu kolaborasi antarsektor agar sampai ke masyarakat. Saya melihat RUU ini ingin menciptakan keluarga robot yang setipe. Semua serba diatur, kalau tidak sesuai undang-undang (RUU Ketahanan Keluarga), salah. Justru keluarga menjadi rapuh,” kata Agustina.
Sulistyowati mengatakan, ”RUU ini, dari segi substansi dan syarat pembentukan undang-undang yang baik (syarat filosofis, hukum, dan sosiologis), tidak terpenuhi. Selain itu, RUU ini justru menaruh risiko bangsa Indonesia ke jurang kehancuran,” ujarnya.
Harus dibatalkan
Karena itu, RUU Ketahanan Keluarga ini tidak perlu direvisi ataupun diperbarui, tetapi harus dibatalkan. Saat ini, RUU yang masuk Program Legislasi nasional (Prolegnas) 2020 ini masih dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Terakhir, rapat Baleg dalam rangka harmonisasi pada 13 Februari 2020 beragendakan penjelasan pengusul RUU tentang Ketahanan Keluarga.
Dalam laman dpr.go.id per 28 Februari 2020 disebutkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga diusulkan pada 17 Desember 2020 oleh Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Golkar, Sidik Mudjahid dari Fraksi Gerindra, dan Ali Taher dari Fraksi PAN.
Ketika dihubungi Kompas pada Jumat (28/2), Endang menyatakan telah menarik usulannya. Alasannya, dia belum membaca secara mendalam isi draf RUU Ketahanan Keluarga. ”Daripada saya malu juga ketika ditanya, tetapi enggak ngerti substansinya, padahal (saya) sebagai pengusul, dan daripada berpolemik panjang, makanya saya mundur,” katanya. (DEA/BOW)