Jadi Polemik, Surat Edaran Tata Tertib Persidangan Dicabut
›
Jadi Polemik, Surat Edaran...
Iklan
Jadi Polemik, Surat Edaran Tata Tertib Persidangan Dicabut
Ketua MA Hatta Ali memerintahkan SE Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Sidang dicabut. SE itu mengatur pengambilan foto, rekaman suara, rekaman televisi harus seizin ketua pengadilan negeri bersangkutan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung mencabut Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Sidang, Jumat (28/2/2020). Surat yang mengatur tentang tata tertib menghadiri persidangan itu akan digantikan dengan surat edaran Mahkamah Agung yang mengatur tentang tata tertib persidangan di empat peradilan di bawah MA.
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung Prim Haryadi, Jumat (28/2/2020) di Jakarta, mengatakan, surat edaran tersebut dicabut karena telah menimbulkan polemik di masyarakat. Setelah surat itu diterbitkan pada awal Februari 2020, publik banyak menolak SE tersebut karena dinilai membatasi transparansi peradilan.
Dalam poin ketiga tata tertib tersebut disebutkan, pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman televisi harus seizin ketua pengadilan negeri bersangkutan. Namun, mempertimbangkan polemik di masyarakat terkait pengaturan itu, Ketua MA Hatta Ali memerintahkan Dirjen Badilum MA mencabut SE tersebut.
Prim Haryadi mengatakan, pihaknya menyadari potensi konflik yang akan terjadi akibat edaran tersebut. Apalagi, saat ini MA sedang terus berjuang mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia yang jujur dan adil. ”SE akan digantikan SE MA yang mengatur empat peradilan, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara,” kata Prim.
Prim menyampaikan tata tertib itu dibuat dengan sejumlah alasan. Persidangan kasus yang menyita perhatian publik selama ini dinilai kurang tertib sehingga mengganggu jalannya persidangan. Begitu tingginya animo media, persidangan terkadang sampai meluber hingga ke area majelis hakim. Bahkan, dalam persidangan, hakim mengeluhkan pengambilan gambar yang kurang sopan, yaitu dari belakang hakim.
Selain itu, pada Juli 2019 juga muncul kasus penganiayaan yang dilakukan pengacara Tomy Winata terhadap majelis hakim saat pembacaan putusan. Pengacara itu melepaskan ikat pinggang untuk menyerang dua anggota majelis hakim saat vonis sidang perdata. Situasi inilah, kata Prim, yang mendorong Dirjen Badilum menerbitkan SE Nomor 2 Tahun 2020.
”SE tersebut diterbitkan untuk menjaga marwah peradilan di mana segala hal yang mengganggu jalannya peradilan harus diatur untuk mengantisipasinya,” kata Prim saat dikonfirmasi.
Prim menambahkan, pihaknya merujuk pengaturan dalam SE itu dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.06-UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang Sidang. Dalam peraturan Menteri Kehakiman itu juga diatur tentang tata tertib persidangan. Jadi aturan tersebut sebenarnya bukanlah hal baru.
Menurut dia, aturan itu hanya mengembalikan apa yang sudah ada. Beberapa aturan dalam tatib itu dinilai semata-mata hanya untuk menjaga ketertiban selama persidangan. Prim juga mengatakan tata tertib tentang pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman TV harus seizin ketua pengadilan. Namun, dalam praktiknya, izin tidak harus dilakukan kepada ketua pengadilan. Ketua pengadilan biasanya akan mendelegasikan wewenang tersebut kepada pejabat humas.
”Kami juga berkaca dari pengadilan yang ada di negara-negara maju seperti di Amerika dan Inggris yang mengatur lebih ketat saat pengadilan. Sebenarnya ini bukan untuk mengekang, tetapi masalah izin saja,” kata Prim.
Penolakan
Namun, upaya Dirjen Badilum untuk menertibkan suasana persidangan itu ternyata menimbulkan polemik di masyarakat. Sejumlah kelompok masyarakat sipil yang mengadvokasi permasalahan di bidang hukum, hak asasi manusia, dan pers menentang keras rencana tersebut.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Totok Yulianto, misalnya, menilai izin pendokumentasian persidangan itu melanggar prinsip peradilan yang adil, jujur, dan terbuka. PBHI menyadari bahwa independensi serta obyektivitas hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di persidangan wajib dijunjung tinggi dengan didukung kondisi yang tertib, disiplin, dan tenang.
Namun, izin pendokumentasian itu tidak sesuai dengan UUD 1945 serta deklarasi universal hak asasi manusia (HAM), Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi lewat UU Nomor 12 Tahun 2005. Hal-hal tersebut menjamin hak setiap orang atas pemeriksaan yang adil, terbuka untuk umum oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas, dan tidak berpihak.
Hak atas peradilan yang adil dan jujur merupakan jenis hak sipil dan politik yang bersifat negatif (negative rights), di mana pemenuhan, penghormatan, dan perlindungannya semakin baik jika negara tidak melakukan intervensi (termasuk pelanggaran). Singkatnya, semakin kecil intervensi (pelanggaran, pembatasan, peran) negara dalam pengaturan hak ini, maka makin baik tugas negara.
”Dengan memberlakukan (keharusan) izin dokumentasi, artinya peradilan di Indonesia belum menjamin pendokumentasian dalam proses hukum yang dapat diakses pihak beperkara yang merupakan bentuk pelayanan publik. Jadi jangan heran kalau di Indonesia masih banyak terjadi rekayasa kasus, penghilangan bukti, serta pertimbangan hakim yang tidak berdasarkan fakta persidangan,” jelas Totok.
Lebih lanjut Totok menerangkan prinsip dasar dalam peradilan yang adil dan jujur adalah adanya pengawasan yang intensif dan terbuka, baik oleh pihak beperkara maupun publik. PBHI menilai saat ini Indonesia masih berada dalam situasi peradilan yang koruptif. PBHI mencatat, pada tahun 2012-2019, ada 20 hakim yang terlibat praktik korupsi. Di luar itu, juga masih ada panitera terlibat kasus korupsi.
Sekjen PBHI Julius Ibrani menambahkan, pengawasan dari media maupun publik tidak boleh dipandang sebagai bentuk pelanggaran ketertiban. Apalagi, dalam SE Dirjen Badilum MA No 2/2020 tidak ada indikator ketertiban sehingga dapat menimbulkan subyektivitas dan multitafsir serta ketidakpastian hukum. Pengawasan justru harus dinilai sebagai modal utama untuk menjaga nama baik dan etika profesi ketika bertugas.